Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum
Cessie Bank Bali

Berita Tempo Plus

Permata Bertambah Tenaga

Setelah Mahkamah Agung menolak gugatan PT EGP, posisi Bank Permata dalam perebutan dana cessie Bank Bali menguat.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Permata Bertambah Tenaga
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

AGUS Martowardojo bagaikan mendapat tenaga baru. Bos Bank Permata ini kian bersikeras menolak eksekusi kejaksaan terhadap duit Rp 546,4 miliar, warisan skandal Bank Bali (kini dilebur menjadi Bank Permata). Pil penambah tenaga itu datang dari Mahkamah Agung. Selasa pekan lalu majelis kasasi menolak gugatan perdata PT Era Giat Prima (EGP) terhadap Bank Bali dan Bank Indonesia tentang pencairan dana cessie.

Putusan itu mendorong Agus untuk mati-matian mempertahankan dana warisan. "Jangan sentuh uang itu. Saya siap pasang badan karena percaya uang tersebut milik Bank Bali (Bank Permata)," ujar Direktur Utama Bank Permata tersebut. Kejaksaan nekat hendak mengeksekusi dana itu dengan dalih Joko S. Tjandra (dari EGP), salah satu terdakwa skandal Bank Bali, telah dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung.

Bersama dengan sejumlah pejabat, Joko diseret ke pengadilan karena dianggap terlibat dalam persekongkolan yang merugikan negara. Perkara ini bermula dari piutang Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Rp 598 miliar dan ke Bank Umum Nasional (BUN) Rp 200 miliar yang tidak bisa ditagih. Lalu, PT EGP bersedia menagih piutang itu kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)—lembaga yang mengelola dua bank terakhir setelah krisis ekonomi—dengan fee 50 persen. Komisi inilah, sebesar Rp 546,4 miliar, yang sekarang akan dieksekusi oleh kejaksaan.

Gugatan perdata Joko S. Tjandra sendiri dilayangkan pada Agustus 1999, sebelum skandal itu terbongkar dan ia dijadikan terdakwa. Gara-garanya, ia tidak bisa mencairkan fee yang disimpan dalam rekening penampungan (escrow account). Padahal, selain Bank Bali, PT EGP juga tercantum sebagai pemegang rekening ini. Joko lantas menggugat Bank Bali dan Bank Indonesia. Selain meminta agar duit itu segera dicairkan, ia juga menuntut ganti rugi karena pihak Bank Bali dianggapnya ingkar janji.

Dalam persidangan, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan PT EGP. Begitu juga majelis hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta. Tak mau menerima putusan itu, akhirnya pihak Bank Bali dan BI mengajukan kasasi. Hasilnya menggembirakan karena majelis kasasi menolak gugatan PT EGP. "Itu berarti pihak yang menguasai uang itu tidak mempunyai wewenang untuk membayar (cessie)," kata Ketua MA, Bagir Manan, kepada Sukma dari Koran Tempo.

Sebelum putusan perdata itu keluar, sebetulnya posisi Bank Permata pun sudah cukup kuat. Sebab, sebelumnya MA juga telah menganggap sah pembatalan perjanjian antara BPPN dan PT EGP ihwal pengalihan tagihan. Pembatalan ini dikeluarkan Ketua BPPN lewat Surat Keputusan No. 423 pada Oktober 1999.

Lagi pula, menurut pengacara Bank Bali, Luhut Pangaribuan, sebenarnya dana di escrow account itu tak ada. "Cuma di atas kertas, semuanya omong kosong," katanya. Kenapa? Perjanjian itu otomatis batal demi hukum gara-gara PT EGP tidak menepati salah satu klausul di dalamnya. "Seharusnya ada surat berharga yang diserahkan EGP, tapi nyatanya tidak," ujar bekas Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu.

Dari sisi perdata, BPPN dan Bank Permata memang di atas angin. Hanya, pihak kejaksaan merasa pula telah mengambil langkah yang benar dengan berpijak pada proses hukum pidana. Karena Joko Tjandra telah bebas pada Juni 2001, menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Himawan Kaskawa, dana pengalihan penagihan (cessie) itu adalah hak milik Joko. Ia juga berpegang pada fatwa MA 25 Juni 2003, yang menyatakan lembaga peradilan tertinggi ini tak dapat ikut campur atas eksekusi kejaksaan. Itu sebabnya, "Kejaksaan akan tetap mengeksekusi," kata Himawan.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Deddy Suwardy, memperkuat pendapat atasannya. Menurut dia, putusan perdata perkara cessie tidak mempengaruhi putusan pidana. "Kejaksaan hanya mengeksekusi putusan pidana, bukan perdata," ujarnya kepada Tempo News Room. Suara yang lebih lunak datang dari juru bicara Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman. Katanya, "Kami akan mempelajari dan melihat dulu bunyi putusan MA."

Mesti hati-hati memang. Banyak orang akan mempertanyakan jika duit negara yang dibobol lewat skandal itu diberikan begitu saja kepada si bekas terdakwa. Apalagi terdakwa yang lain, Pande Lubis (bekas Deputi Ketua BPPN), telah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung.

Ahmad Taufik, Setri Yasra, dan Metta Dharmasputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus