Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Derita titho, derita hati

Atresia bilier (pengerasan liver) karena organ hati tak berfungsi. pada bayi disebabkan pengaruh bilirubin indirect dan bilirubin direct. penyebuhannya melalui transplantasi liver.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TITHO Rizki Utama kini berusia enam bulan. Tampak normal dan lincah. Ia malah sudah tengkurap dan mulai merangkak. Namun sejak ia lahir, mata si mungil ini kuning. Orang tuanya, Neneng Tiny Herowati dan Antho M. Massardi, membawa buah hatinya ini ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Dokter bilang Titho mengidap atresia bilier alias pengerasan liver. Karena organ hati tak berfungsi, si penderita biasanya akan meninggal sebelum berusia setahun. Hingga kini penyakit ini belum ada obatnya. ''Penyembuhannya baru ada satu cara, yaitu melalui transplantasi liver,'' kata Dokter Adnan S. Wiharta, ahli liver dan Kepala Bagian Hepatologi Anak di FK Universitas Indonesia, yang ikut menangani kasus Titho. Penderita kolestasis yang dirawat di RSCM ada 10% dari bayi yang lahir (2.500). Dan 50% di antaranya mengidap atresia bilier. ''Angka ini termasuk besar,'' kata Adnan kepada TEMPO. Lebih jauh dijelaskannya, penyebab atresia bilier mungkin karena pengaruh bilirubin indirect dan bilirubin direct. Munculnya bilirubin indirek, karena hasil pemecahan sel darah merah. Ini bisa disembuhkan dengan menjemur bayi itu tiap pagi. Jika warna kuning pada kulit bayi tidak hilang, maka si ibu haruslah waspada. ''Berarti bayinya dalam keadaan sakit, terutama pada livernya,'' kata Adnan yang pernah memperdalam ilmu hepatologi di Jepang dan Kanada itu. Peningkatan bilirubin direk sering sebagai pertanda adanya kolestasis atau menurunnya fungsi hati. Padahal organ ini terutama berperan membuang sampah ke saluran cerna. Bahan-bahan itu berupa kolesterol, bilirubin, dan asam litokolat, berasal dari asam empedu yang bersifat racun. Karena saluran pembuangan macet, bahan beracun dari liver itu lalu menumpuk. Akibatnya timbul jaringan ikat di tepi liver, dan lama-kelamaan menyerang semua organ liver, sehingga hati pun lumpuh. Kolestasis itu bisa muncul di dalam atau di luar jaringan hati. Kalau di luar jaringan hati, maka yang paling sering ditemukan adalah tidak tumbuhnya saluran empedu, sehingga terjadi atresia bilier, seperti yang dialami Titho. Penyebab tidak tumbuhnya saluran pembuangan itu memang masih misterius. ''Ini adalah cacat sejak lahir,'' kata Adnan. Jadi penyakit ini bukan bawaan keturunan. Ada teori yang menyebutkan penyakit itu disebabkan virus Rheo. Dari mana asal virus tersebut belum diketahui. Hanya ada penelitian yang menunjukkan bahwa anti-bodi terhadap Rheo memang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang normal. Semula ada cara menolong penderita atresia bilier. Yakni melalui operasi Kasai. Saluran pembuangan (saluran empedu) yang tidak tumbuh diganti dengan menarik usus setempat. Meski operasi ini mampu membebaskan kuning, menurut Adnan, dalam waktu lima tahun mungkin terjadi lagi sirosis atau pengerasan. Sebab usus yang disambungkan tak mampu mengganti fungsi saluran empedu. Usus tidak punya klep seperti saluran pembuangan asli. Apalagi usus mengandung enzim protease, penghancur protein. Bahan itu bisa berbalik kembali masuk ke liver. Kini beberapa rumah sakit di Australia, Amerika, Kanada, dan Denmark sudah mengembangkan unsur pengganti hati. Di Kanada, misalnya, liver yang ditransplantasikan itu diambil dari sebagian liver ibunya. Di Australia biasanya digunakan liver dari kadafer. Di RSCM transplantasi semacam itu belum bisa dilakukan. Biaya transplantasinya di sana kini sekitar Rp 200 juta. Dan, jika mampu melewati masa kritis dua tahun pertama, penderita bisa bertahan hidup sampai 20 tahun. Menurut Neneng, 25 tahun, selama mengandung Titho seingatnya ia tidak merasakan sesuatu yang aneh. ''Hanya saya sering stres, suka menangis sendirian, dan mudah tersinggung,'' kata guru matematika di SMA ini. Cuma waktu remaja ia ingat pernah mengidap penyakit kuning. Ternyata ini tidak ada pengaruhnya, seperti dikatakan Dokter Adnan. Meski dokter mengatakan Titho hanya bertahan satu tahun, orang tuanya punya keyakinan bahwa ikhtiar wajib hukumnya. ''Umur itu di tangan Tuhan,'' kata Antho M. Massardi, 35 tahun. Wartawan majalah Sportif ini sudah berupaya mengobati anak pertama ini, yang kelahirannya ditunggu selama empat tahun sejak mereka menikah. Tapi untuk membawa ke Australia, misalnya, Antho mengaku tak mampu membiayainya. Gatot Triyanto dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus