SEORANG nasabah menguji Pasal pidana Undang-Undang Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992), pekan lalu. Nasabah itu, dr. Glenn Sherwin Dunda, melaporkan Lanny, kepala Panin Bank cabang pembantu Dharmahusada, Surabaya, ke Kepolisian Surabaya. Tuduhannya, membocorkan rahasia nasabah (melanggar Pasal 40 UU Perbankan). Hubungan Glenn dengan Panin Bank berawal dari dikabulkannya permohonan kredit profesi sebesar Rp 20 juta, pada 10 Mei 1991. Jangka pinjaman satu tahun, dengan bunga 2,75% per bulan. Kredit ini digunakan untuk menyelesaikan pendidikan spesialisasinya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Kredit profesi memang bisa diperoleh dengan mudah. Pemohon tak dibebani persyaratan agunan. Kredibilitas debitur (agun-an immateriil) dianggap cukup. Syarat lain hanya menyerahkan ijazah dokter dan rekomendasi organisasi profesi, dalam hal Glenn, dari IDI. Ternyata pengembalian kredit Glenn sendat. Bahkan sesudah Glenn meraih brevet spesialis jantung. Ketika pengembalian kredit jatuh tempo pada 10 Mei 1992, tunggakan Glenn (ditambah bunga) tercatat Rp 21.675.329. Dua hari menjelang jatuh tempo, 8 Mei 1992, Panin mengirim surat peringatan (somasi) kepada Glenn, yang ditandatangani oleh Lanny dan Wahyuni. Isinya, minta Glenn melunasi utangnya dalam waktu 7 hari. Dan, ''Apabila Saudara belum juga melunasinya, persoalan Saudara terpaksa kami serahkan kepada pengacara. Tembusan somasi dikirim ke IDI cabang Surabaya. Kendati mendapat peringatan keras, Glenn tetap bergeming. Maka, ia dianggap tak berniat membayar utangnya. ''Kenya-taannya, dia dokter kaya,'' kata Arief Handoyo, pemimpin Panin Surabaya. Glenn tersinggung. Khususnya karena tembusan somasi ke IDI cabang Surabaya menyebut secara gamblang jumlah utangnya. ''Perbuatan Panin jelas membocorkan rahasia keuangan saya kepada IDI,'' ujar Glenn, yang kini bertugas di Rumah Sakit Palu, Sulawesi. Pasal 40 UU Perbankan memang melarang bank memberi keterangan tentang keadaan keuangan nasabahnya yang wajib dirahasiakan menurut kelaziman perbankan. Pelanggarannya diancam hukuman penjara 2 tahun dan denda maksimum Rp 2 milyar (Pasal 47 ayat 2). Menurut Glenn, IDI bukan lembaga yang terkait pada persolan utangnya dengan Panin, walau memberi rekomendasi. ''Kalau Panin menganggap IDI terkait dalam urusan utang, mestinya Panin menggugat IDI juga dalam kasus gugatan perdata tempo hari,'' katanya. Panin memang sudah berperkara dengan Glenn dalam gugatan perdata sebelumnya. Glenn salah satu dari 11 penerima kredit profesi (dokter dan apoteker) yang digugat Panin, karena kredit profesi yang macet ternyata membengkak di Panin (TEMPO, 19 September 1992). Panin memenangkan gugatan itu 8 Oktober lalu. Para tergugat diwajibkan mengembalikan kredit dengan cara menyerahkan agunan yang nilai jualnya bisa digunakan untuk menutup pinjaman mereka. Para tergugat banding. Di tengah proses banding itu, Glenn balik memperkarakan Panin. Kredit macet memang dilema bank yang sekarang ini semakin muncul ke permukaan. Penagihan secara kasar mengundang tuduhan main hakim sendiri. Menempuh jalur hukum ternyata kesandung juga. UU Perbankan sendiri memang tak mengatur bagaimana cara mengatasi kredit macet itu. Seorang pengamat perbankan di Surabaya mengakui kasus Glenn-Panin memang dilematis. Namun, ia berpendapat, tindakan Panin tergolong pelanggaran hukum. Karena, ''Panin memberikan keterangan tentang nasabahnya pada lembaga lain (IDI) yang tidak ditetapkan dalam undang-undang.'' Pimpinan Panin cabang Surabaya, Arief Handoyo, tentu tak sependapat. Menurut dia, kedudukan IDI penting. ''Tanpa rekomendasi IDI, kami tak akan memberikan kredit pada Glenn,'' katanya. Rekomendasi itu terkategori agunan yang bersifat immateriil (menyangkut integritas profesi dan nama baik). Pendapat lain datang dari Dr. Siti Ismijati Jeni, Ketua Jurusan Kekhususan Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Kepada Faried Cahyono dari TEMPO, ia menegaskan tindakan Panin tak melanggar Pasal 40 UU Perbankan. Dalam penafsirannya, yang dimaksud membocorkan rahasia nasabah adalah membocorkannya kepada pihak ketiga yang tak ada sangkut pautnya dengan transaksi. Dalam kasus Glenn, IDI Surabaya adalah pihak pemberi rekomendasi. ''Maka, ia tidak termasuk pihak yang tidak boleh mengetahui kondisi utang Glenn, sebagaimana disebut dalam UU Perbankan,'' katanya. Menanggapi kasus Glenn-Panin, ahli hukum perbankan Fakultas Pascasarjana Universitas Airlangga, Dr. Rudhi Prasetyo, melontarkan dua saran. Pertama, somasi sebaiknya tak menyebutkan jumlah utang nasabah, menjaga-jaga apabila surat somasi itu sampai pada pihak ketiga. Kedua, bank dapat mengajukan permohonan ke pengadilan, agar nasabah bersangkutan diproses melalui pengadilan. Di luar prosedur somasi, sejumlah pengamat perbankan di Jakarta menawarkan gagasan menghidupkan kembali Lembaga Penyanderaan seperti pada zaman kolonial dulu. Pengutang bisa disandera secara resmi, sementara agunan diproses. Sekarang ini praktek penyanderaan sering ditempuh juga, tapi di luar jalur hukum, dengan memanfaatkan jasa ''tukang pukul''. Aries Margono dan Biro Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini