Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fenomena childfree atau memilih tak punya anak kembali mencuat belakangan ini.
Beragam alasan orang memilih childfree, dari faktor ekonomi, sosial, hingga kekhawatiran tak bisa merawat anak dengan baik.
Mereka yang memilih childfree masih kerap mendapat label negatif.
SEJAK menikah sekitar sembilan tahun lalu, Yendi Amalia dan suaminya sudah memutuskan tidak punya anak. Yendi, Chief Executive Officer Wordsmith Group, perusahaan penerjemah dan penulis Indonesia, memang menganut childfree—sebutan bagi individu dan pasangan yang memilih tak punya anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama pasangannya, perempuan 43 tahun ini berprinsip memiliki anak bukanlah tujuan utama berumah tangga. Namun keduanya ingin menjalani hidup sebagai partner yang setara dalam lembaga pernikahan. “Jadi memiliki anak bukan kebutuhan mendesak dan tidak ada dorongan kuat,” kata Yendi kepada Tempo, Kamis, 2 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Yendi, suaminya sangat memahami bahwa dia sibuk mengejar karier dan menjalani hobi jalan-jalan. Jadi, bila punya anak, ia akan butuh pengorbanan waktu yang luar biasa. Suaminya khawatir merawat anak justru akan membuat mundur jalan yang sudah ditempuhnya selama ini. Bagi Yendi, dukungan dari pasangan atas pilihannya tidak punya anak itu sangat penting. “Ada kesepakatan dan kompromi dalam hubungan yang setara,” tuturnya.
Pertimbangan lain Yendi dan suaminya memilih childfree adalah beratnya menanggung beban moral. “Menjadi orang tua harus punya kesadaran penuh bahwa punya anak itu perlu tanggung jawab besar, pengorbanan waktu, dan menyiapkan uang dalam jumlah tak sedikit,” ujar perempuan yang tinggal di Tangerang Selatan, Banten, ini.
Orang tua, Yendi menambahkan, harus memastikan anak mendapatkan hak dasar secara baik, misalnya hidup yang sejahtera dan pendidikan yang layak. Selain itu, dia harus memastikan anak bisa berperan baik di masyarakat. “Nambah bayi atau ngeluarin duit ratusan juta demi bisa punya anak bukan solusi,” ucapnya.
Keputusan tidak memiliki anak juga dijalani Devi Asmarini, pendiri Magdelene, media massa yang fokus pada isu perempuan dan gender. Sejak masih bocah, Devi tak pernah membayangkan atau punya keinginan untuk punya anak.
Menikah selama 19 tahun, Devi dan suami, Budiman, setiap tahun membahas kehidupan mereka tanpa anak. Hasilnya, mereka tak pernah merasa ada yang hilang dan kurang. Mereka justru menjalani hidup dengan bahagia. “Makin tua, kami tak menginginkan anak,” kata perempuan 50 tahun ini.
Yendi Amalia, Juli 2022/Dokumentasi Pribadi
Menurut Devi, keputusan childfree di Indonesia belum lazim diterima dan sedikit orang yang bisa bebas menunjukkan pilihan itu. Stigma negatif dan tekanan kerap dialami Devi. Tekanan itu datang dari saudara dan teman, misalnya pertanyaan tentang kapan punya anak. Suatu hari bahkan ada temannya yang memberikan nomor telepon seluler dokter kandungan dan menyarankan Devi agar memeriksakan diri.
Devi bersyukur memiliki orang tua, terutama ibu, yang terbuka. Di awal masa menikah, Devi dan suaminya berterus terang kepada ibunya bahwa punya anak bukan prioritas mereka. “Ibu tidak mencecar, tapi dia menghargai pilihan kami,” tutur Devi, yang juga mendapat dukungan dari kakaknya.
Devi menambahkan, tekanan justru datang dari saudara jauh. Tapi Devi menghadapinya dengan santai. Untuk menjaga hubungan, dia menjawab, “mungkin Tuhan belum memberikan” bila mendapatkan pertanyaan kenapa dirinya belum punya anak. Pelan-pelan, orang-orang yang mencecar pertanyaan serupa menyerah karena melihat hidup Devi baik-baik saja tanpa anak. Dia dan suaminya hanya ingin menjalani hidup secara tenang.
Sama halnya dengan Yendi, Devi juga menyebutkan memiliki anak itu perlu tanggung jawab besar dan orang tua harus memastikan semua kebutuhan anak tercukupi. “Perlu biaya besar untuk membesarkan anak,” ucapnya.
•••
LAIN lagi kisah aktivis Wardah Hafidz. Perempuan yang lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 28 Oktober 1952 ini memutuskan childfree setelah dua tahun menikah dengan Wiladi Budiharga, 79 tahun. Keduanya menikah pada 1988. Kiprah Wardah di dunia aktivisme yang penuh risiko membuat dia dan Wiladi memutuskan untuk tak punya anak.
Menurut Wardah, keputusan itu diambil saat dia dan rekan-rekannya aktif mengadvokasi masyarakat miskin kota di Jakarta. Sejak 1993, dia gencar mendampingi warga yang terancam digusur di daerah Jelambar, Jakarta Barat. Tak sedikit dia menerima ancaman dan teror.
Adapun Wiladi sibuk dengan aktivitas penelitiannya bersama teman-temannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang kini berubah menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional. Keduanya sempat berencana punya seorang anak. Namun kesibukan Wardah dan Wiladi membuat rencana itu batal. Mereka bersepakat untuk berfokus pada aktivitas masing-masing secara total.
Saat itu, pendiri Urban Poor Consortium ini memilih bergerilya total dalam kegiatan aktivisme bersama masyarakat akar rumput. Dia khawatir, jika pergerakan dia di dunia aktivis dan merawat anak berjalan seiring, justru dua hal itu tidak akan berjalan maksimal. “Akhirnya kami memilih satu saja, pekerjaan aktivisme,” ucap Wardah kepada Tempo di rumahnya di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Senin, 27 Februari lalu.
Wardah bercerita, keputusannya memilih childfree itu sempat dipertanyakan oleh ibunya. Namun, setelah dia menjelaskan detail alasannya memilih tak punya anak, ibunya bisa memahami. Sementara itu, di keluarga Wiladi, pilihan childfree bukan persoalan besar. “Keluarga suami saya lebih terbuka menerima keputusan bebas anak,” ujarnya.
Salah satu alasan yang membuat Wardah akhirnya kukuh memutuskan childfree adalah ketakutan bahwa anak yang dilahirkan nanti tidak terawat dengan baik. Menurut dia, punya anak itu sama seperti manusia menanam pohon. Biar pohon itu tumbuh, manusia harus memberi pupuk, menyiram, dan merawatnya. “Ini tumbuhan, apalagi manusia, kan,” tuturnya.
Wardah menjelaskan, melahirkan dan menghadirkan manusia perlu persiapan secara matang. Dari mengandung, melahirkan, dan merawatnya hingga tumbuh dewasa. “Sehingga memiliki anak bukan sekadar menunjukkan laki-laki itu jantan atau perempuan subur,” kata lulusan magister sosiologi di Ball State University, Muncie, Amerika Serikat, itu.
Jika punya anak bertujuan meneruskan keturunan, tutur Wardah, manusia harus menjadikan anak itu sebagai generasi yang bisa melanjutkan kehidupan dan kemanusiaan manusia. Mereka perlu menjadi generasi yang akan memelihara bumi sebagai tempat hidup bersama, sekaligus memelihara kehidupan yang adil secara sosial serta merawat lingkungan dan gender.
Menurut dia, perspektif itu perlu ditanamkan dalam diri seseorang saat memutuskan punya anak. Anak yang dilahirkan itu perlu dirawat menjadi kekuatan bagi kehidupan bersama manusia di bumi agar lebih baik, bermanfaat, dan berguna. “Jadi bukan untuk kepentingan pribadi kita,” ucap penerima Gwangju Prize for Human Rights pada Oktober 2006 tersebut.
Keputusan memilih childfree setelah menikah juga diambil oleh Anastasia. Perempuan 37 tahun ini dan suaminya memutuskan memilih tak punya anak setelah pernikahan mereka berjalan sekitar lima tahun. “Sebelumnya kami tidak pernah membicarakan, lho,” ucapnya kepada Tempo di Jakarta, Selasa, 28 Februari lalu.
Anastasia menyadari pilihan yang dijalaninya itu bukan sesuatu yang mudah di tengah stigma masyarakat yang belum bisa menerimanya. “Rasanya aku tidak perlu membuka diri tentang pilihanku ini ke banyak orang,” tuturnya.
Devi Asmarini bersama suaminya/Dokumentasi Pribadi
Anastasia mengungkapkan, dia dan suaminya menjalani pilihan itu secara bertahap. Pada tahun pertama dan kedua, dia masih belum benar-benar mantap. Hingga akhirnya, dia dan suami sama-sama berpikir pilihannya itu membuat keduanya lebih bahagia. “Rasanya kayak enggak ada beban. Aku enggak mesti buru-buru dalam melakukan banyak hal. Aku bisa menjalani keinginan dan juga mimpi-mimpi aku,” ujarnya.
Bila Wardah dan Anastasia memilih childfree setelah menikah, artis dan presenter Rina Nose justru memutuskannya ketika masih berpacaran. Pada masa pacaran, Rina dan suaminya, Josscy Fallazza Aartsen, telah membicarakan rencana menikah tanpa anak.
Menurut Rina, pilihan childfree itu didasari keputusan dia dan suaminya. “Jadi bukan salah satu dari kami yang menyatakan tidak mau punya anak,” kata perempuan bernama lengkap Nurina Permata Putri itu melalui pesan WhatsApp, Jumat, 24 Februari lalu.
Aktris 39 tahun itu menuturkan, keputusan tidak punya anak itu tentu mengecewakan bagi orang tuanya. Meski begitu, dia dan Josscy yang menikah di Lelystad, Belanda, pada 22 Oktober 2019 itu tidak pernah dipaksa mengubah keputusan supaya punya anak oleh orang tuanya. Itu karena pilihan tersebut kerap diperbincangkan dengan keluarganya.
Keputusan tak melanjutkan keturunan itu, tutur Rina, bukan tanpa alasan. Dia mengungkapkan, banyak peristiwa yang membuatnya memutuskan tidak memiliki anak. Dia mengalami sejumlah peristiwa yang tidak mengenakkan. “Tapi tidak mungkin saya sampaikan ke publik,” ucapnya.
Ihwal pandangan yang menyebutkan punya anak akan membawa kebahagiaan, Rina mengatakan, setiap orang punya cara yang berbeda-beda. “Kebahagiaan itu bisa tentang berbagai hal, tak sekadar punya anak,” ujarnya. Lalu, ihwal pandangan yang menyatakan tak punya anak akan berefek pada kesepian di hari tua, Rina berpendapat, “Kesepian adalah keadaan pikiran, ya.”
•••
FENOMENA childfree, memilih untuk tak memiliki anak, baik anak biologis maupun adopsi, belakangan mencuat menjadi kontroversi. Awalnya Gita Savitri, seorang selebgram, berkomentar di akun media sosialnya bahwa resep anti-penuaannya adalah childfree—sebuah pilihan yang dia pegang sejak 2021.
Omongan yang menurut Gita adalah candaan itu kemudian memicu pro dan kontra. Ada yang mendukung, tapi lebih banyak yang menentang, menghujat, dan menghakimi Gita.
Pro-kontra itu sampai mengundang Wakil Presiden Ma’ruf Amin bersuara. Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu mengatakan pernikahan bertujuan agar manusia berkembang biak. “Dan terus mengelola bumi sampai batas waktu terakhirnya,” katanya.
Kepada Tempo, Gita Savitri mengatakan tak menduga percakapan tentang childfree dalam kolom komentar di akun media sosial itu menjadi kontroversi. Menurut dia, komentar tentang awet muda itu pun semestinya tidak ditanggapi serius. Sebab, yang dia tulis di kolom komentar itu tentang dirinya sendiri.
Menurut penulis buku Rentang Kisah ini, awet muda yang dia maksud memiliki banyak arti, seperti energetik dan muda karena punya mental bagus. Energetik, tutur Gita, bukan tentang punya anak atau tidak, melainkan gaya hidup sehat serta rajin berolahraga dan merawat kulit. “Mau dia tua atau muda, punya anak atau enggak punya anak, kalau mentalnya asyik, masih suka having fun, ya, dia akan terlihat awet muda,” ujar Gita yang menetap di Jerman itu melalui aplikasi Zoom, Rabu, 22 Februari lalu.
Wardah Hafidz/TEMPO/ Subekti
Gita dan suaminya, Paul Andreas Partohap, seorang kreator konten, mengakui sebagai pasangan penganut childfree. Keputusan tanpa anak itu diambil sejak keduanya berpacaran. Hubungan Gita dan Paul terjalin sejak 2012 dan menikah pada 2018.
Gita mengungkapkan, salah satu alasannya memutuskan tak punya anak adalah sempat takut menjadi ibu yang gagal. Menurut dia, anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Sementara itu, orang tua harus memberikan perawatan terbaik kepada anaknya.
Faktor lain, Gita menambahkan, adalah masalah politik, ekonomi, serta aspek di luar kontrol dirinya sendiri. Termasuk kemungkinan adanya perlakuan diskriminatif terhadap anaknya. “Menurut aku pribadi, kasihan. Daripada anak mengalami ini di dunia, mendingan enggak usah,” kata perempuan 30 tahun ini. “Sementara secara alami dalam hidup anak harus mendapatkan kenyamanan sehingga ia bahagia, bisa mengekspresikan kasih sayang dan cinta.”
Pengamat sosial Devie Rahmawati mengatakan childfree bukanlah fenomena baru. Pilihan pasangan tidak memiliki anak merupakan bagian dari kehidupan manusia yang sudah ada sejak abad ke-15. Pola orang memilih childfree pun bisa berubah sesuai dengan kondisi sosial.
Di fase tertentu, tren pasangan memilih tak punya anak naik dan bisa kembali berubah sesuai dengan kondisi sosial tersebut. “Kadang ada tren peningkatan childfree. Tapi ketika komunitas menghadapi satu kondisi sosial-politik tertentu, itu bisa berubah,” tutur dosen Universitas Indonesia ini ketika dihubungi Tempo, Rabu, 1 Maret lalu.
Sebagai contoh, tutur Devie, Perang Dunia II berpengaruh terhadap penurunan tren childfree. Tren itu menurun karena banyak individu meninggal saat perang berkecamuk. Setelah perang usai, semangat orang untuk berkeluarga kembali muncul dan tren childfree berubah. Beberapa negara, termasuk Jepang dan Cina, bahkan merespons childfree dengan kebijakan politik supaya penganut bebas anak kembali ke dalam institusi pernikahan dan memiliki anak. “Tergantung kepentingan masing-masing society,” ujarnya.
Devie menambahkan, data di Amerika pada 2018 menunjukkan bahwa 26 persen pasangan memilih childfree. Namun pilihan itu pun tidak terlepas dari stigma yang dibangun kelompok konservatif. Menurut dia, bahkan di Negeri Abang Sam banyak kelompok konservatif merasa bahwa childfree menjadi pilihan yang tidak dapat diterima secara sosial.
Ihwal tanggapan Wakil Presiden Ma’ruf Amin terhadap childfree, menurut Devie, itu hal wajar. Karena pilihan itu memiliki nilai tertentu yang dianut kelompok tertentu. “Ini bukan soal saya memilih enggak punya anak, tapi ada satu hal yang kemudian menentang value yang dianut kelompok lain,” katanya. “Sehingga pilihan itu mendapat penolakan dari kelompok pronatalis atau kelompok yang mendukung kelahiran anak melalui institusi resmi seperti pernikahan.”
Merujuk pada sebuah penelitian, Devie mengatakan, ada 23 pandangan yang dipersepsikan kepada kelompok atau individu yang memilih childfree. “Dan itu kayaknya di seluruh dunia akan punya alasan-alasan sama seperti itu,” ujarnya. “Yang perlu dipahami bahwa childfree itu bukan soal siapa menang, siapa benar, ini pilihan pribadi.”
Senada dengan Devie, peneliti isu perempuan, Anita Dhewy, mengatakan childfree adalah pilihan individu atau pasangan. Keputusan tidak punya anak diambil berdasarkan aspek psikologis, biologis, atau ideologis. Namun, di lingkungan masyarakat, penganut bebas anak ini kerap mendapat label negatif.
Gita Savitri bersama suaminya, di Hamburg, Jerman, Mei 2022/instagram/@gitasav
Misalnya, pandangan masyarakat bahwa menikah harus punya anak. Menurut Anita, pernikahan selalu dikaitkan dengan aspek prokreasi atau pasangan yang memiliki anak. “Punya anak jadi sesuatu yang seharusnya dalam pernikahan. Padahal enggak mesti begitu juga,” kata lulusan Magister Kajian Gender UI ini saat dihubungi pada Kamis, 1 Maret lalu.
Dosen program studi kajian gender Universitas Indonesia, Shelly Adelina, mengatakan pilihan childfree menjadi pertentangan karena kita masih terikat pada konstruksi sosial. Konstruksi ini memandang semua individu harus sama. Baik dalam pandangan hidup, pilihan hidup, maupun orientasi yang seolah-olah tidak boleh berbeda. “Padahal kita hidup sebagai makhluk yang memiliki beragam kehendak, beragam cara, beragam tujuan,” kata Shelly melalui pesan WhatsApp, Kamis, 2 Maret lalu.
Childfree adalah pilihan bagi siapa pun, terutama perempuan yang punya otoritas penuh atas tubuhnya. Perempuan berhak menentukan hak asasinya sebagai perempuan. Menurut Shelly, tidak perlu mempersoalkan pasangan yang memilih tidak punya anak. “Tidak semua orang menikah dengan orientasi mempunyai anak. Mengapa mempersoalkan orang yang memilih tidak memiliki anak? Toh, masih banyak orang yang memilih mempunyai anak,” tuturnya. “Tidak semua perempuan mempunyai pilihan sama dalam hidup. Mereka bebas berbeda.”
SHINTA MAHARANI, ECKA PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo