Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULU, jenis wayang ini adalah mainan anak-anak di perdesaan Jawa. Di saat senggang, di pekarangan, sembari menyabit rumput untuk pakan ternak, anak-anak membuat boneka dari rumput liar: rumput gajah, jerami, dan sebagainya. Rumput itu diikat sederhana dan dijadikan “sesosok” tokoh. Lalu, sembari tangan menggerak-gerakan ikatan rumput itu, mulut mereka gremang-gremeng—mengeluarkan bunyi-bunyian gamelan atau apa pun—berceloteh mengeluarkan khayalan tentang perkelahian dan sebagainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tak tahu mana yang lebih dulu ada, wayang suket atau wayang kulit. Di Purbalingga, Jawa Tengah, misalnya, yang disebut wayang suket sekarang adalah suket yang dirajut secara halus membentuk wanda atau rupa tokoh-tokoh wayang purwa. Ada sosok Wisanggeni, Gatotkaca, Sengkuni, dan sebagainya. Rumput yang digunakan adalah jenis kasuran yang teksturnya liat dan tidak mudah patah. Disebut kasuran karena rumput berwarna kuning kecokelatan ini hanya tumbuh dan dipanen saat bulan Sura. Rumput ini direndam sampai layu lalu digepuk-gepuk (dipukul) sampai pipih hingga mudah dianyam. Dibutuhkan ketelitian dan keterampilan untuk menjalin rumput itu membentuk tokoh-tokoh Mahabharata atau Ramayana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pentas Bandung Bondowoso yang disajikan Komunitas Wayang Suket Indonesia di Teater Salihara, Jakarta, pada 2-3 Maret lalu tidak mendesain rumput menjadi tokoh-tokoh dengan karakter rupa yang berbeda satu sama lain. Sosok Bandung Bondowoso, Raja Pengging—musuh Bandung, dan Rara Jonggrang hampir tidak ada bedanya. Wayang terbuat dari gabungan rumput mendong (yang memang sering digunakan sebagai bahan kerajinan), pandan, dan serai. Kesan rumput kering panjang dan jerami yang diikat masih kuat pada setiap tokoh. Pentas ditampilkan melalui layar kelir dengan diiringi ilustrasi musik gitar-kendang dengan citra rasa folk. Vokalis perempuan Cintya Berlianisa Smaranada, yang juga memainkan ukulele, memiliki suara liris. Dalang dan sutradara Gaga Rizky menarasikan kisah dengan bahasa Indonesia. Ia berusaha membanyol ke sana-kemari.
Tampak komunitas ini menampilkan bayang-bayang dengan penghitungan komposisi yang rapi. Eksplorasi visual bayang-bayang rerumputan atau jerami kering berukuran panjang sesungguhnya memiliki banyak kemungkinan. Ia, misalnya, bisa menciptakan suasana chaos yang liar. Saat Gaga menampilkan iring-iringan pasukan hantu, di layar tampak seperti garis-garis berjajar yang berjalan sendiri. Impresif. Namun adegan perkelahian Bandung dengan Raja Pengging jauh dari terampil dan kurang menyodok, sebagaimana adegan pembangunan seribu candi yang semestinya menjadi inti visual.
Kelompok Wayang Suket Indonesia menghadirkan Bandung Bondowoso dalam program Helateater di Galeri Komunitas Salihara Jakarta, 1 Maret 2023. Witjak Widhi Cahya
Kita tahu, dalam dunia seni kontemporer, wayang suket identik dengan almarhum Slamet Gundono. Dialah yang mempopulerkan wayang suket. Cara dia membawakan kebanyakan tidak menggunakan layar. Ia yang bertubuh tambun bersila, lalu mendalang dengan bahasa Tegalan. Kemampuan dramatiknya menghanyutkan. Gundono sering dibantu Komunitas Wayang Suket. Mereka memainkan berbagai alat musik, dari rebana hingga kentrung. Gundono sebagai pusat cerita juga memainkan ukulele. Gundono memunculkan wayang suket pada 1997 dengan cerita Kelingan lamun Kelangan (Ingat kalau Kehilangan) yang menceritakan riwayat Karna dari lahir sampai mati.
Kekuatan Gundono adalah, dengan materi apa adanya, ia mampu membangun ruang imajinasi penonton. Bersamanya, kita menikmati kebebasan teater kontemporer serta nuansa-nuansa suluk tarekat dan Kejawen. Pertunjukannya cair, menghibur, tapi juga menyentuh kedalaman. Masih ingat beberapa tahun lalu di Salihara ia mementaskan Cebolang Minggat. Imajinasi kita dibawa pada Cebolang yang mengembara mencari Sang Khalik dan bertemu dengan banyak tokoh aneh. Aktor Hanindawan keluar-masuk panggung memerankan beberapa karakter.
Suasana sugestif demikian yang tak ada dalam pertunjukan malam itu. Namun tidak adil membandingkan pentas Gundono dengan Komunitas Wayang Suket Indonesia. Komunitas ini berdiri di Solo pada 2018 dan banyak berkegiatan di Tuban, Jawa Timur. Mereka pernah berkolaborasi dengan seniman Amerika Serikat, Larry Reed, di Padepokan Bagong Kussudiarjo. Komunitas ini aktif memberikan pelatihan-pelatihan wayang suket. Bila malam itu suasana yang terasa hanya “bioskop-bioskopan”, belum sampai menggedor, mungkin karena masalah jam terbang.
Toh, saat wayang suket Rara Jonggrang berukuran raksasa dimunculkan dibawa menari ke depan layar, adegan cukup mengentak. Saya membayangkan adegan perang juga ditampilkan demikian. Perang ganas yang membuat dua tubuh jerami raksasa yang bertarung koyak-moyak bahkan hancur, mengandaikan fisik wayang suket yang memang tidak tahan lama. Pertunjukan selama satu jam malam itu memang tak membawa penonton ke dalam perenungan, sebagaimana Gundono membawa kita ke dimensi “transenden” sosok kontroversial Karna atau Amongraga. Malam itu hanya semacam pengenalan wayang suket dan kisah Bandung Bondowoso dengan kemasan pop.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo