Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Childfree ikut menyumbang krisis demografi penduduk di Jepang.
Fenomena childfree sudah merebak di Jepang sejak sekitar 30 tahun lalu.
Pemerintah Jepang mendanai program perjodohan untuk membantu warganya yang jomlo.
NYARIS tak terdengar suara anak-anak di Nagano. Prefektur yang berjarak dua ratusan kilometer dari Tokyo itu tampak hanya milik para orang tua. Mereka terlihat berseliweran di jalan-jalan raya, memenuhi restoran-restoran, atau toko serba ada. Kursi-kursi di kafe pun dipenuhi para tamu yang usianya sepuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kedai es krim atau panekuk di tepi jalan juga tak terlihat bocah mengantre. Suara tawa atau tangis anak-anak tak terdengar dari rumah-rumah penduduk, seperti di Desa Hakuba, ketika Tempo menyusuri desa berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat Kota Nagano, pada 17-20 Februari lalu, itu. Pun tidak ada kaki-kaki kecil mencakah di beranda atau tangan-tangan mungil bermain bulir-bulir es di pekarangan rumah yang bersalju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang warga Nagano, Takehana, mengakui pemandangan jarang anak-anak itu mulai lazim di Jepang dalam beberapa tahun terakhir. Menurut dia, kondisi itu tak lepas dari banyaknya anak muda di sana, bahkan yang tinggal di desa-desa, memilih tidak memiliki anak atau childfree. “Orang tua tidak lagi memaksa anaknya untuk menikah dan punya anak seperti dulu,” ucap Takehana kepada Tempo, Rabu, 22 Februari lalu.
Takehana mengungkapkan, fenomena childfree berhubungan dengan bergesernya prioritas pilihan hidup anak-anak muda di negaranya. Setelah menikah, banyak pasangan di Jepang tak lagi memprioritaskan untuk punya keturunan. Para puan yang sudah memiliki pekerjaan lebih berfokus pada karier.
Jumlah perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga pun, Takehana menambahkan, makin sedikit. Para suami juga tak memaksa istrinya untuk mengandung dan melahirkan. Pilihan-pilihan itu direstui oleh keluarga besar mereka. “Masyarakat Jepang menghormati pilihan-pilihan hidup orang lain,” tutur Takehana.
Situasi itu, Takehana mengimbuhkan, berbeda dengan sekitar 30 tahun lalu, sebelum childfree marak di Jepang. Di era orang tua Takehana muda, menikah dan memiliki anak boleh dibilang sebagai kewajiban. Para orang tua mendesak anak yang sudah menikah segera memiliki keturunan. “Mereka yang belum menikah diminta untuk menikah oleh kerabat dan kenalan,” ujar Takehana, yang masih melajang.
Seperti halnya di lingkungan Takehana, Nakagome Kota yang telah menikah lima tahun lalu juga memilih tidak punya anak. Nakagome dan istrinya sama-sama sibuk bekerja. Saat ini mereka memilih tak punya anak karena ingin membangun karier yang lebih moncer. Istri Nakagome baru membuka bisnis. Dia sendiri tengah meniti karier sebagai pegawai negeri sipil di Kementerian Luar Negeri Jepang yang sedang bertugas di Jakarta sejak empat tahun lalu. “Sangat sulit menuntaskan pekerjaan di kantor sambil membesarkan anak,” kata pria 28 tahun itu saat ditemui Tempo di Plaza Indonesia, Jakarta, Senin, 27 Februari lalu.
Nakagome menjelaskan, pengasuhan anak bagi masyarakat Jepang tak bisa ditangani oleh pengasuh atau baby sitter. Mereka tak terbiasa menyewa pekerja rumah tangga untuk mengasuh anak-anaknya. Mereka juga umumnya tidak menitipkan anak-anak kepada orang tua atau mertua. Akibatnya, pasangan yang bekerja kesulitan membagi waktu antara mengasuh anak dan bekerja.
Lalu, saat memiliki anak, tutur Nakagome, pengembangan karier orang Jepang yang bekerja di sektor formal akan sedikit terhambat. Sebab, kantor-kantor di negara itu mewajibkan pekerja perempuan mengambil cuti panjang selama tiga tahun untuk melahirkan dan mengasuh anak. Pekerja laki-laki yang istrinya baru melahirkan pun harus mengambil cuti dalam rentang waktu yang sama untuk membesarkan anak.
Cuti panjang itu dianggap bisa memperlama masa kenaikan pangkat. “Setelah kembali ke kantor selepas cuti panjang, apakah mereka bisa mempertahankan kemampuan untuk bersaing dengan yang lain? Itu cukup sulit, ya,” ucapnya.
Fenomena childfree di Jepang juga didorong oleh kian mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan serta harga properti. Pasangan muda tak lagi leluasa membiayai kehidupan rumah tangganya untuk lebih dari dua orang.
Wakabayashi Takahiro, orang tua asli Jepang yang memiliki satu anak, mengatakan biaya jaminan sosial yang dikeluarkan pekerja di Jepang tiap bulan telah mengikis pendapatan rumah tangga. Kenaikan biaya kesehatan, pensiun, dan perawatan orang tua tiap tahun bahkan melebihi pajak.
“Jadi pendapatan bersih yang diterima orang Jepang sekarang lebih kecil dibandingkan dengan orang tua saya dulu,” kata konselor Kedutaan Besar Jepang tersebut.
Di tengah kebutuhan hidup yang kian bertambah mahal, orang tua di Jepang yang memiliki anak harus mengeluarkan ongkos lebih banyak untuk biaya sekolah. Para orang tua ingin berlomba-lomba menyekolahkan anak di lembaga pendidikan berfasilitas lengkap. Subsidi pendidikan yang diberikan pemerintah dianggap tidak cukup.
Wakabayashi, misalnya, menyekolahkan anak semata wayangnya yang berusia 16 tahun di sekolah internasional untuk mengasah kemampuan berbahasa Inggris. Pertimbangan biaya yang makin tinggi ini akhirnya membuat Wakabayashi membebaskan anaknya nanti untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Termasuk bila anaknya kelak memilih childfree.
“Ada nilai-nilai yang tidak bisa diintervensi,” katanya.
Budaya childfree di Jepang ikut berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk yang kian melambat di negara itu. Data Departemen Ekonomi dan Sosial Bagian Kependudukan Persatuan Bangsa-Bangsa menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Jepang merosot tiap tahun, bahkan sejak 1980-an. Pada 2020, laju pertumbuhan penduduk tahunan Jepang minus 0,3 persen.
Jumlah kelahiran di Negeri Sakura juga menyusut menjadi di bawah 865 ribu orang per tahun. Masalah demografi ini membuat rasio penduduk bekerja usia muda pun makin kecil. Sebaliknya, angka pekerja usia tua kian berjibun. Badan Pusat Statistik Jepang mencatat rasio penduduk bekerja berusia 65-69 tahun terhadap jumlah total pekerja berusia 15 tahun ke atas meningkat 13,6 persen pada 2020. Ini rekor tertinggi dalam sembilan-sepuluh tahun terakhir.
Krisis pekerja usia muda tampak di Desa Hakuba, Nagano, desa wisata pusat ski di Jepang. Pemandu-pemandu wisata di desa itu diisi para imigran. Tempo menjumpai dua imigran dari Hong Kong dan Taiwan saat menyusuri pusat ski di Hakuba pada Sabtu, 18 Februari lalu. Adapun anak-anak muda setempat memilih keluar dari desa untuk bekerja di pusat Kota Nagano atau merantau ke Tokyo dan kota-kota industri lain.
Pasangan Toshiaki dan Miyuki, misalnya, memiliki anak yang kini tak lagi tinggal di kampung halamannya di Hakuba. Toshiaki, 65 tahun, bercerita masalah rasio tenaga kerja itu membuat pemerintah Jepang memperpanjang usia pensiun. “Pekerja yang semula pensiun di usia 60 tahun kini diperpanjang menjadi 65 tahun,” ujarnya saat ditemui Tempo di rumahnya di dekat Stasiun Kamishiro, Hakuba, Ahad, 19 Februari lalu.
Wakabayashi Takahiro, warga Jepang yang bekerja di pemerintahan, mengatakan krisis demografi menjadi agenda paling penting yang dibahas oleh pemerintah. Pemerintah berupaya mencari berbagai jalan keluar agar negara itu tetap memiliki generasi penerus.
Bahkan pada 2020 pemerintah Jepang berniat mendanai program perjodohan menggunakan teknologi digital untuk membantu warganya yang jomlo menemukan pasangan. “Tanpa menyelesaikan masalah ini, Jepang tidak akan bertahan hidup,” ucap Wakabayashi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo