DI seluruh dunia saban hari 300.000 wanita melahirkan. Tapi pada
saat yang sama pula 120.000 menggugurkan kandungan.
Permintaan untuk menggugurkan yang cukup ramai itu membuka
kesempatan bagi para dokter mencari teknik teknik baru yang
lebih aman. Untuk menunjang keluarga berencana, di sini misalnya
sudah dikenal kuret dan sedot (menstrual regulation) untuk
menanggulangi haid yang terlambat. Terakhir dunia kedokteran
ramai memperbincangkan prostagland ini.
Obat ini terbuat dari suatu hormon yang diambil dari prostat
(kelenjar yang hanya terdapat pada kaum pria dan terletak di
dalam rongga pinggul di antara kandung kencing dan ujung usus).
Khasiatnya mempengaruhi kegarakan rahim dan menggugurkan
kandungannya. Pilihan yang tersedia dengan prostaglandin ini pun
lebih beragam. Bisa dimakan dalam bentuk tablet, bisa dimasukkan
ke dalam liang rahim dan dalam bentuk cairan yang siap
diinjeksikan.
Prostaglandin bisa "mengganggu" kehamilan sudah diketahui sejak
1935. Tapi baru tahun 1960 penggunaannya secara klinis
diselidiki. Salah seorang ahli yang melibatkan diri dalam
penelitian obat pengguguran ini adalah Sultan M M. Karim, dokter
dari Uganda. Hasil pcnelitian sementara ketika itu memberi
harapan prostaglandin akan dapat menggantikan teknik-teknik
konvensional yang dianggap masih mengandung bahaya, antara lain
kematian.
Efek Samping
Tetapi akhir-akhir ini harapan itu tidaklah sebesar yang
dibayangkan. Para peneliti di Center for Disease Control (CDC)
di Amerika Serikat dalam laporannya yang dimuat dalam berkala
Family Planning Perspectives terbitan November/Desember 1979
menyebutkan efek samping prostaglandin ternyata masih besar.
Antara lain muntah-muntah, perdarahan dan keguguran yang tidak
sempurna. Menurut CDC kematian akibat pengguguran dengan
prostaglandin bahkan lebih besar dibandingkan dengan sedot.
Di Amerika Serikat teknik pengguguran yang digemari dokter
adalah pemuaian dan pengangkatan. Kandungan digembungkan lantas
janin yang sudah mati dikeluarkan hati-hati supaya tak melukai
rahim. Teknik ini ternyata jauh lebih aman dari prostaglandin,
terutama dalam mengatasi kehamilan yang sudah berusia 3 sampai 6
bulan. Prostaglandin malahan masih lebih berbahaya dibandingkan
dengan metode penyemprotan air garam ke dalam rahim setelah
seluruh cairan yang membalut janin disedot keluar.
Dari penelitian yang dilaksanakan dari tahun 1972 sampai 1977
ternyata teknik pemuaian dan pengangkatan mengakibatkan kematian
8,3 per 100.000. 8edangkan teknik semprol air garam 15,5 dan
prostaglandin sampai 20,6.
Namun laporan orang-orang CDC tali dibantah Dr. Marc Bygdeman
dari Swedia. "Bahaya prostaglandin telah dilebihlebihkan,"
jawabnya. Ia adalah peneliti pertama prostaglandin untuk
pengguguran. Menurut pengalamannya obat ini lebih aman dari
cara-cara yang lain.
Khasiat prostaglandin yang merangsang gerakan rahim dapat pula
dimanfaatkan untuk hal-hal yang bukan bersifat pengguguran.
Misalnya untuk menolong melahirkan bayi yang sudah menemukan
ajal dalam kandungan. Menolong kehamilan anggur (mola).
Perdarahan sehabis melahirkan dan menormalkan rahim setelah
bersalin. Sebaliknya pengetahuan tentang efek prostaglandin
terhadap rahim memungkinkan para ahli untuk membuat lawannya,
prostaglandin inhibitor. Bisa dipakai untuk menghilangkan rasa
sakit sewaktu haid.
Sementara perdebatan sekitar prostaglandin di kalangan ahli
masih berlanjut, obat ini sudih dipasarkan di Amerika Serikat,
Inggris, Australia, Jepang dan Korea. Melihat mudahnya orang
mencapai negara itu, siapa tahu di Indonesia sudah ada pula yang
menggunakannya, meskipun masih tergolong pelanggaran hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini