THE BLOOD OF THE PEOPLE -- REVOLUTION AND THE END OF TRADITIONAL
RULE IN NORTHERN SUMATERA
Oleh: Anthony Reid
Penerbit: Oxford University Press, Malaysia, 1979.
Tebal: 265 halaman.
KETIKA revolusi '45 meletus para pemimpin nasional seperti
Soekarno, Hatta dan lain-lain menekankan bahwa sifat revolusi
Indonesia adalah nasional dan bukan sosial Aspek sosial dapat
membahayakan persatuan nasional, kata mereka.
Namun pemerintah pusat pada waktu itu lemah dan tidak selalu
dapat menahan terjadinya konflik sosial berdarah pada tahun
1945/46 dan berikutnya. Bahan peledak sosial ini tertimbun
selama zaman kolonialisme Belanda, yang secara artifisial
menekan mobilitas dan konflik sosial -- khususnya pada 10 tahun
terakhir zaman tersebut.
Selama pendudukan Jepang terjadi pemiskinan dan mobilisasi
berbagai kekuatan masyarakat Itu akhirnya menyebabkan meletusnya
konflik sosial pada tahun 1945/46.
Buku Dr. A. Reid ini khusus mengenai perkembangan revolusi
sosial di Sumatera Utara. Ia, sejarawan yang teliti dan memiliki
visi profokatif mengenai perkembangan masyarakat, memulai
studinya mengenai revolusi sosial di Sum-Ut: keadaan politiknya
sebelum kolonialisme Belanda masuk (lebih kurang 1850), dan
menarik konsekuensi keadaan tersebut sampai di masa kini.
Ada tiga dunia di Sum-Ut: kesultanan Melayu, para suku Batak dan
Aceh. Kesultanan Melayu memiliki struktur yang paling cocok
untuk dipergunakan Belanda. Sultan Melayu sedikit sekali
mempersoalkan kontrol politik.
Belanda, yang memerlukan tanah subur daerah Sumatera Timur,
dengan mudah dan murah mendapatkannya, dengan imbalan: menjamin
kewibawaan dan kemewahan para sultan Melayu. Akibatnya kas
negara para sultan tetap miskin, pajak harus dinaikkan.
Sementara kekayaan pribadi para sultan meningkat secara
berlimpah. Hal ini tetap terlihat pada zaman depresi ekonomi
1930-an.
Sementara itu ujung Utara Sumatera, Aceh, merupakan daerah yang
demikian sukar dikuasai Belanda seperti Aceh. Lembaga monarki di
Aceh lemah. Sejak lebih dari 200 tahun kekuasaan ada di tangan
aristokrasi. Dan sejak ratusan tahun Aceh memakai dalil Islam
untuk memerangi Portugis dan Belanda atau siapa pun. Setiap kali
sultan Aceh menandatangani suatu kontrak dengan kekuasaan asing,
terpaksa harus dibatalkan karena tekanan aristokrasi, ialah para
ulebalang yang menguasai perdagangan dan menjaga kepentingan
golongan.
Belanda memulai agresinya ke Aceh tahun 1870, tetapi tidak
pernah dapat menundukkannya 100%. Zaman Belanda di Aceh dapat
dikatakan suatu pendudukan militer yang sejenis denggan
pendudukan milited Jepang di Indonesia.
Konflik rakyat Aceh dan penjajah Belanda lebih dipertajam karena
Belanda memaksakan pajak dan kerja rodi. Hal itu dikenal di
Jawa, tetapi tidak di Aceh Karena itu timbul aksi jihad,
Aceh-moord (pembunuhan secara Aceh). Dengan sendirinya soal
ko-operasi dan non-kooperasi menjadi sesuatu yang memecah
masyarakat Aceh secara lebih tajam, dibanding dengan daerah lain
di Indonesia.
Dalam mempertahankan diri di Aceh, Belanda mendasarkan
politiknya pada golongan ulebalang, yang mempunyai kedudukan
sebagai raja kecil. Ketergantungan Belanda ini menempatkan para
penguasa pribumi di Aceh lebih sebagai sekutu daripada alat
kolonial. Belanda tepaksa menutup mata terhadap segala
kesewenangan ulebalang yang sering menyita tanah, menarik pajak
lebih tinggi dan lain-lain.
Di bawah pengaruh pergerakan nasional yang dimulai di Jawa,
terjadi semacam kebangkitan agama di Aceh. Khususnya karena
pengaruh Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Ini adalah semacam
absorpsi dari perlawanan lokal ke dalam gerakan yang lebih luas.
Orang Aceh merasa mereka tidak lagi berdiri sendiri melawan
Belanda, tetapi mempunyai teman seperjuangan di Indonesia. Pada
akhir zaman Belanda gerakan Islam ini terpusat pada PUSA (Pusat
Ulama Seluruh Aceh) yang mendirikan sekolahsekolah agama di
seluruh Aceh. Akhirnya terjadi saingan pengaruh antara PUSA dan
para ulebalang, juga karena sikap kritis golongan pertama
terhadap yang kedua.
Polarisasi antar golongan juga terlihat di bagian lain Sum- Ut.
Kristianisasi KaroBatak yang sebelumnya memeluk animisme,
menyukarkan pengintegrasian mereka dengan kesultanan Melayu,
khususnya di Deli. Dengan masuknya pergerakan nasional
berkembanglah berbagai macam aliran di masyarakat. Hal ini
terlihat pada pemogokan dan kritik terhadap kemewahan para
sultan yang tetap hidup berlebih-lebihan di zaman depresi
ekonomi.
Gerakan Aron
Untuk sementara, di tahun 1930-an itu, semuanya masih kelihatan
tenang, karena politik represif yang paling ketat selama sejarah
pemerintah Hindia Belanda. Tapi ketenangan itu hanya di
permukaan saja. Di bawah, keresahan meningkat. Tanah subur
semakin sempit karena pertambahan dan imigrasi penduduk. Orang
Batak merasa terancam hak pemilikan tanah mereka. Pada akhir
zaman Belanda, konflik tanah ini akhirnya terungkap dalam
gerakan menanami tanah perkebunan yang tidak dipakai, dengan
padi dan lain-lain, tanpa izin resmi. Gerakan ini dikenal
sebagai gerakan Aron.
Tapi konflik sosial dibiarkan meningkat oleh golongan mapan,
yang mengira rezim Belanda masih dapat bertahan untuk waktu yang
lama. Ilusi ini hilang dalam sekejap mata dengan kemenangan
Jepang atas Sekutu. Para tokoh pergerakan menyambut kemenangan
Jepang ini dengan baik. Tidak karena bersimpati dengan Jepang
namun untuk mempergunakan keadaan politik yang baru.
Bagaimanapun pendudukan Jepang ini juga menyebabkan perubahan.
Jepang memobilisasi penduduk untuk menghadapi serangan Sekutu.
Rapat raksasa dengan pengibaran bendera diadakan, semangat anti
Sekutu dikobarkan. Untuk pertama kali sejak kolonialisme di
Sum-Ut secara resmi didirikan organisasi pemuda dan diadakan
militarisasi (PETA di Jawa dan Giguyun di Aceh). Dalam tahun
terakhir zaman Jepang terjadi pemiskinan dan keadaan yang serba
kurang di masyarakat.
Sekali lagi keadaan politik berubah dengan tiba-tiba, di Sum-Ut.
Jepang menyerah pada sekutu, Agustus 1945. Padahal semua lapisan
masyarakat, para sultan/ulebalang (pihak kerajaan), para tokoh
pergerakan dan pemuda terlibat dalam ko-operasi dengan Jepang.
Pihak kerajaan, mungkin karena hubungan masa lalu, membuka
inisiatif pertama berhubungan kembali dengan Nica. Para tokoh
pergerakan, sedikit banyak mau mencuci tangan dari tanggungjawab
kooperasi dengan Jepang. Para pemudalah yang akan paling banyak
dirugikan dengan restorasi penguasa Belanda.
Maka kekhawatiran mengenai masa depan, kehendak untuk
mempertahankan kedudukan, adanya mobilisasi di zaman Jepang dan
akhirnya hasrat balas dendam terhadap golongan mapan,
menyebabkan revolusi sosial berdarah di Sum-Ut. Hal ini
terungkap dalam desas-desus mengenai suatu Comite van Onvangst
(komite penyambutan) di antara kalangan sultan.
Pendaratan Sekutu atau dropping perwira Belanda menyebabkan
mobilisasi pemuda pro-republik dan anti Sekutu serta anti
kerajaan di Medan. Dari kota ini mobilisasi menjalar ke tanah
Batak dan Aceh. Akhirnya di Aceh terjadi konflik sosial yang
pertama dalam revolusi Sum-Ut.
Perang saudara antara para ulebalan dan ulama yang terjadi di
Aceh pada 1945/46 berakar pada konflik selama pendudukan
Belanda, mendapat senjata pada zaman Jepang, dan meletus pada
zaman revolusi. Seorang ulebalang T. Nyak Arif dari Cumbok di
Pidie menjadi penyebab utama bagi perang saudara atau Perang
Cumbok di Aceh. Ulebalang ini adalah wakil khas dari
golongannya. Dia seorang pemberani agresif dan sombong. Selalu
tidak melewatkan kesempatan menyinggung para ulama dan pemuda.
Dia dengan terus terang memihak Belanda. Akhirnya Cumbok dan
keluarganya dihabiskan kekuasaan dan nyawanya. Dan kemudian
gerakan anti ulebalang menjalar ke mana-mana, dengan akibat
sama.
Tidak Terwujud
Di tanah Batak revolusi sosial terbatas pada penyingkiran para
raja Batak, tanpa mencabut nyawa mereka. Di daerah kesultanan
Melayu terjadi gerakan anti raja, yang berakhir dengan
perampokan dan pembunuhan tidak saja terbatas pada keluarga para
sultan, tetapi juga meminta korban besar para bangsawan Melayu.
Dengan singkat, di seluruh Sum-Ut berakhirlah pemerintahan
tradisional para raja dan para bangsawan, secara fisik maupun
dalam segi lainnya.
Menurut A. Reid, hasil paling besar revolusi yang meminta
demikian banyak korban dan berlangsung dengan banyak kekerasan
itu, terlihat di Aceh dan tanah Batak. Di Aceh, selama zaman
revolusi fisik (1945-50) terlihat munculnya suatu Orde Baru.
Orde itu melahirkan pemerintahan yang teratur, menguntungkan
para petani karena mereka membagi tanah-tanah ulebalang. Juga
diberikan peringanan pajak.
Akan tetapi sikap elite baru di Aceh itu bertentangan dengan
aspirasi nasional Republik Indonesia. Akhirnya terjadi konflik
berdarah antara pusat dan daerah Aceh.
Dan akibat penghapusan pemerintahan tradisional, adalah semangat
penyesuaian secara nasional. Karena tekanan dari bawah, Sum-Tim
dibagi secara administratif seperti di Jawa: karesidenan,
kabupaten, kawedanan dan kecamatan, lalu desa. Terlihat bahwa
pergerakan dan revolusi tidak sedikit sumbangannya terhadap
aspirasi nasional, dan ikut serta membentuk Negara Kesatuan
Indonesia.
Namun apa hasil revolusi sosial berdarah itu bagi rakyat petani?
Di tanah Batak ancaman para sultan terhadap tanah marga Batak
berakhir. Di sana-sini terjadi pembagian tanah.
Tapi di daerah kesultanan Melayu, hasil sosial dan politis
terasa yang paling sedikit. Menurut A. Reid revolusi sosial
diikuti zaman reaksi. Pemerintahan Orde Baru yang teratur
seperti di Aceh tidak terlaksana, sedangkan gagasan hasilbagi
untuk rakyat petani tidak terwujud.
Onghokham
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini