Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Runtuhnya ulebalang, raja dan sultan

Pengarang: anthony reid malaysia: oxford univ. press, 1979 resensi oleh: onghokham. (bk)

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Runtuhnya ulebalang, raja dan sultan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
THE BLOOD OF THE PEOPLE -- REVOLUTION AND THE END OF TRADITIONAL RULE IN NORTHERN SUMATERA Oleh: Anthony Reid Penerbit: Oxford University Press, Malaysia, 1979. Tebal: 265 halaman. KETIKA revolusi '45 meletus para pemimpin nasional seperti Soekarno, Hatta dan lain-lain menekankan bahwa sifat revolusi Indonesia adalah nasional dan bukan sosial Aspek sosial dapat membahayakan persatuan nasional, kata mereka. Namun pemerintah pusat pada waktu itu lemah dan tidak selalu dapat menahan terjadinya konflik sosial berdarah pada tahun 1945/46 dan berikutnya. Bahan peledak sosial ini tertimbun selama zaman kolonialisme Belanda, yang secara artifisial menekan mobilitas dan konflik sosial -- khususnya pada 10 tahun terakhir zaman tersebut. Selama pendudukan Jepang terjadi pemiskinan dan mobilisasi berbagai kekuatan masyarakat Itu akhirnya menyebabkan meletusnya konflik sosial pada tahun 1945/46. Buku Dr. A. Reid ini khusus mengenai perkembangan revolusi sosial di Sumatera Utara. Ia, sejarawan yang teliti dan memiliki visi profokatif mengenai perkembangan masyarakat, memulai studinya mengenai revolusi sosial di Sum-Ut: keadaan politiknya sebelum kolonialisme Belanda masuk (lebih kurang 1850), dan menarik konsekuensi keadaan tersebut sampai di masa kini. Ada tiga dunia di Sum-Ut: kesultanan Melayu, para suku Batak dan Aceh. Kesultanan Melayu memiliki struktur yang paling cocok untuk dipergunakan Belanda. Sultan Melayu sedikit sekali mempersoalkan kontrol politik. Belanda, yang memerlukan tanah subur daerah Sumatera Timur, dengan mudah dan murah mendapatkannya, dengan imbalan: menjamin kewibawaan dan kemewahan para sultan Melayu. Akibatnya kas negara para sultan tetap miskin, pajak harus dinaikkan. Sementara kekayaan pribadi para sultan meningkat secara berlimpah. Hal ini tetap terlihat pada zaman depresi ekonomi 1930-an. Sementara itu ujung Utara Sumatera, Aceh, merupakan daerah yang demikian sukar dikuasai Belanda seperti Aceh. Lembaga monarki di Aceh lemah. Sejak lebih dari 200 tahun kekuasaan ada di tangan aristokrasi. Dan sejak ratusan tahun Aceh memakai dalil Islam untuk memerangi Portugis dan Belanda atau siapa pun. Setiap kali sultan Aceh menandatangani suatu kontrak dengan kekuasaan asing, terpaksa harus dibatalkan karena tekanan aristokrasi, ialah para ulebalang yang menguasai perdagangan dan menjaga kepentingan golongan. Belanda memulai agresinya ke Aceh tahun 1870, tetapi tidak pernah dapat menundukkannya 100%. Zaman Belanda di Aceh dapat dikatakan suatu pendudukan militer yang sejenis denggan pendudukan milited Jepang di Indonesia. Konflik rakyat Aceh dan penjajah Belanda lebih dipertajam karena Belanda memaksakan pajak dan kerja rodi. Hal itu dikenal di Jawa, tetapi tidak di Aceh Karena itu timbul aksi jihad, Aceh-moord (pembunuhan secara Aceh). Dengan sendirinya soal ko-operasi dan non-kooperasi menjadi sesuatu yang memecah masyarakat Aceh secara lebih tajam, dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Dalam mempertahankan diri di Aceh, Belanda mendasarkan politiknya pada golongan ulebalang, yang mempunyai kedudukan sebagai raja kecil. Ketergantungan Belanda ini menempatkan para penguasa pribumi di Aceh lebih sebagai sekutu daripada alat kolonial. Belanda tepaksa menutup mata terhadap segala kesewenangan ulebalang yang sering menyita tanah, menarik pajak lebih tinggi dan lain-lain. Di bawah pengaruh pergerakan nasional yang dimulai di Jawa, terjadi semacam kebangkitan agama di Aceh. Khususnya karena pengaruh Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Ini adalah semacam absorpsi dari perlawanan lokal ke dalam gerakan yang lebih luas. Orang Aceh merasa mereka tidak lagi berdiri sendiri melawan Belanda, tetapi mempunyai teman seperjuangan di Indonesia. Pada akhir zaman Belanda gerakan Islam ini terpusat pada PUSA (Pusat Ulama Seluruh Aceh) yang mendirikan sekolahsekolah agama di seluruh Aceh. Akhirnya terjadi saingan pengaruh antara PUSA dan para ulebalang, juga karena sikap kritis golongan pertama terhadap yang kedua. Polarisasi antar golongan juga terlihat di bagian lain Sum- Ut. Kristianisasi KaroBatak yang sebelumnya memeluk animisme, menyukarkan pengintegrasian mereka dengan kesultanan Melayu, khususnya di Deli. Dengan masuknya pergerakan nasional berkembanglah berbagai macam aliran di masyarakat. Hal ini terlihat pada pemogokan dan kritik terhadap kemewahan para sultan yang tetap hidup berlebih-lebihan di zaman depresi ekonomi. Gerakan Aron Untuk sementara, di tahun 1930-an itu, semuanya masih kelihatan tenang, karena politik represif yang paling ketat selama sejarah pemerintah Hindia Belanda. Tapi ketenangan itu hanya di permukaan saja. Di bawah, keresahan meningkat. Tanah subur semakin sempit karena pertambahan dan imigrasi penduduk. Orang Batak merasa terancam hak pemilikan tanah mereka. Pada akhir zaman Belanda, konflik tanah ini akhirnya terungkap dalam gerakan menanami tanah perkebunan yang tidak dipakai, dengan padi dan lain-lain, tanpa izin resmi. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan Aron. Tapi konflik sosial dibiarkan meningkat oleh golongan mapan, yang mengira rezim Belanda masih dapat bertahan untuk waktu yang lama. Ilusi ini hilang dalam sekejap mata dengan kemenangan Jepang atas Sekutu. Para tokoh pergerakan menyambut kemenangan Jepang ini dengan baik. Tidak karena bersimpati dengan Jepang namun untuk mempergunakan keadaan politik yang baru. Bagaimanapun pendudukan Jepang ini juga menyebabkan perubahan. Jepang memobilisasi penduduk untuk menghadapi serangan Sekutu. Rapat raksasa dengan pengibaran bendera diadakan, semangat anti Sekutu dikobarkan. Untuk pertama kali sejak kolonialisme di Sum-Ut secara resmi didirikan organisasi pemuda dan diadakan militarisasi (PETA di Jawa dan Giguyun di Aceh). Dalam tahun terakhir zaman Jepang terjadi pemiskinan dan keadaan yang serba kurang di masyarakat. Sekali lagi keadaan politik berubah dengan tiba-tiba, di Sum-Ut. Jepang menyerah pada sekutu, Agustus 1945. Padahal semua lapisan masyarakat, para sultan/ulebalang (pihak kerajaan), para tokoh pergerakan dan pemuda terlibat dalam ko-operasi dengan Jepang. Pihak kerajaan, mungkin karena hubungan masa lalu, membuka inisiatif pertama berhubungan kembali dengan Nica. Para tokoh pergerakan, sedikit banyak mau mencuci tangan dari tanggungjawab kooperasi dengan Jepang. Para pemudalah yang akan paling banyak dirugikan dengan restorasi penguasa Belanda. Maka kekhawatiran mengenai masa depan, kehendak untuk mempertahankan kedudukan, adanya mobilisasi di zaman Jepang dan akhirnya hasrat balas dendam terhadap golongan mapan, menyebabkan revolusi sosial berdarah di Sum-Ut. Hal ini terungkap dalam desas-desus mengenai suatu Comite van Onvangst (komite penyambutan) di antara kalangan sultan. Pendaratan Sekutu atau dropping perwira Belanda menyebabkan mobilisasi pemuda pro-republik dan anti Sekutu serta anti kerajaan di Medan. Dari kota ini mobilisasi menjalar ke tanah Batak dan Aceh. Akhirnya di Aceh terjadi konflik sosial yang pertama dalam revolusi Sum-Ut. Perang saudara antara para ulebalan dan ulama yang terjadi di Aceh pada 1945/46 berakar pada konflik selama pendudukan Belanda, mendapat senjata pada zaman Jepang, dan meletus pada zaman revolusi. Seorang ulebalang T. Nyak Arif dari Cumbok di Pidie menjadi penyebab utama bagi perang saudara atau Perang Cumbok di Aceh. Ulebalang ini adalah wakil khas dari golongannya. Dia seorang pemberani agresif dan sombong. Selalu tidak melewatkan kesempatan menyinggung para ulama dan pemuda. Dia dengan terus terang memihak Belanda. Akhirnya Cumbok dan keluarganya dihabiskan kekuasaan dan nyawanya. Dan kemudian gerakan anti ulebalang menjalar ke mana-mana, dengan akibat sama. Tidak Terwujud Di tanah Batak revolusi sosial terbatas pada penyingkiran para raja Batak, tanpa mencabut nyawa mereka. Di daerah kesultanan Melayu terjadi gerakan anti raja, yang berakhir dengan perampokan dan pembunuhan tidak saja terbatas pada keluarga para sultan, tetapi juga meminta korban besar para bangsawan Melayu. Dengan singkat, di seluruh Sum-Ut berakhirlah pemerintahan tradisional para raja dan para bangsawan, secara fisik maupun dalam segi lainnya. Menurut A. Reid, hasil paling besar revolusi yang meminta demikian banyak korban dan berlangsung dengan banyak kekerasan itu, terlihat di Aceh dan tanah Batak. Di Aceh, selama zaman revolusi fisik (1945-50) terlihat munculnya suatu Orde Baru. Orde itu melahirkan pemerintahan yang teratur, menguntungkan para petani karena mereka membagi tanah-tanah ulebalang. Juga diberikan peringanan pajak. Akan tetapi sikap elite baru di Aceh itu bertentangan dengan aspirasi nasional Republik Indonesia. Akhirnya terjadi konflik berdarah antara pusat dan daerah Aceh. Dan akibat penghapusan pemerintahan tradisional, adalah semangat penyesuaian secara nasional. Karena tekanan dari bawah, Sum-Tim dibagi secara administratif seperti di Jawa: karesidenan, kabupaten, kawedanan dan kecamatan, lalu desa. Terlihat bahwa pergerakan dan revolusi tidak sedikit sumbangannya terhadap aspirasi nasional, dan ikut serta membentuk Negara Kesatuan Indonesia. Namun apa hasil revolusi sosial berdarah itu bagi rakyat petani? Di tanah Batak ancaman para sultan terhadap tanah marga Batak berakhir. Di sana-sini terjadi pembagian tanah. Tapi di daerah kesultanan Melayu, hasil sosial dan politis terasa yang paling sedikit. Menurut A. Reid revolusi sosial diikuti zaman reaksi. Pemerintahan Orde Baru yang teratur seperti di Aceh tidak terlaksana, sedangkan gagasan hasilbagi untuk rakyat petani tidak terwujud. Onghokham

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus