Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ROBOT C-3PO (dibaca See-Threepio) itu persis seperti aslinya. Warnanya kuning keemasan, seukuran tubuh manusia, berdiri di salah satu sudut. Di samping kirinya ada R2-D2 (Artoo-Detoo), robot kecil yang memiliki kepala bundar setengah lingkaran. Keduanya menghiasi salah satu lemari kaca yang ada di Café Droids, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Bagi penggemar Star Wars, mereka bukan sosok yang asing. Mereka sahabat atau pendukung dua tokoh sentral Star Wars: Anakin Skywalker atau Darth Vader dan Obi-Wan Kenobi. Kehadiran kedua robot yang bertugas melayani manusia ini menambah bumbu lucu-lucuan dalam film soal kapal luar angkasa itu. ”Harga kedua robot itu lebih dari Rp 130 juta,” kata Riza Satyagraha, pemilik kafe itu.
Riza adalah penggemar sekaligus kolektor aneka mainan dan miniatur Star Wars. Namanya dikenal di antara kolektor action figure di Jakarta, bahkan Indonesia. ”Saya juga mengoleksi yang lain, tapi terutama tetap Star Wars,” kata pria 35 tahun ini. Di Café Droids sendiri, berbagai ukuran miniatur dari berbagai tokoh dalam Star Wars menghiasi lemari koleksinya.
Dan kegandrungan yang bermula sejak 1970-an itu tetap berlangsung sampai kini. ”Hebat. Bisa menggambarkan luar angkasa seperti itu ketika itu,” begitu komentarnya tentang Star Wars. ”Imajinasinya gila.” Dan tiga dasawarsa berselang, Riza tidak hanya mengagumi film pujaannya itu, tapi juga membeli dan mengoleksi mainan atau miniatur tokoh-tokoh dalam film.
Sejak 2000, Riza mulai mengoleksi action figure kesukaannya. Ketika kuliah S-2 di Melbourne, Australia, ia membeli miniatur pertamanya: Darth Maul berukuran sekitar 15 sentimeter, lengkap dengan jubah dan sepeda motornya. ”Ketika itu harganya sekitar Rp 150 ribu,” ujarnya. Berawal dari situ, ia seperti tak bisa berhenti membeli mainan miniatur tokoh kesukaannya. ”Saya mulai ngumpulin dan ketagihan,” ujarnya.
Tak cuma action figure Star Wars, kini ia juga sibuk mengumpulkan tokoh jagoan dalam komik Superman, Batman, Ultraman, Hellboy, Terminator, 16 tokoh Street Fighter, dan seterusnya. Semuanya kini dipajang di lima lemari kaca yang ada di tokonya tersebut.
”Semacam nostalgia saja,” katanya menjelaskan kegilaannya mengoleksi action figure itu. Pria yang kini bekerja di bagian legal sebuah perusahaan konstruksi itu total sudah menghabiskan lebih dari Rp 1 miliar hanya untuk koleksi mainan miniatur tokoh fiksi. ”Waktu saya balik dari Australia, lima koper isinya hanya mainan,” katanya sembari tertawa. ”Duit paling banyak saya habiskan di Australia justru buat mainan.”
Harga action figure memang bisa tak masuk akal. Miniatur Superman berukuran setelapak tangan saja berharga Rp 200 ribu. Atau Robocop berukuran 30 sentimeter mencapai Rp 6 juta, yang pada 2007 harganya ”hanya” Rp 1,5 juta. Belum lagi yang berukuran asli, seperti C-3PO dan R2-D2 tadi. Termasuk endoskeleton seukuran manusia yang dibeli Riza di Amerika Serikat seharga Rp 70 juta.
Kegilaan yang sama juga merasuki Mulyatno Arifin, 39 tahun. Pencinta tokoh-tokoh X-Men ini mengoleksi action figure dari berbagai cerita komik. ”Totalnya kalau dipajang, ada seisi rumah,” ujarnya terbahak. Ia terutama menyukai tokoh Wolverine. ”Karena karakter dan kemampuannya sebagai jagoan,” ujar Mulyatno.
Berbeda dengan Riza, kegemaran Mulyatno mengoleksi action figure justru bermula dari film horor, seperti Friday the 13th dan Seed of Chucky. Freddy Krueger, Jason Voorhees, dan Chucky merupakan miniatur dan tokoh koleksi awalnya. ”Seru aja,” katanya soal alasan memilih karakter itu.
Seperti Riza, Mulyatno akhirnya melebarkan variasi tokoh jagoan yang disimpannya. Kini koleksinya meliputi tokoh yang diproduksi Marvel Comics, DC Comics, dan tokoh komik Jepang. ”Gatal pengin punya setelah lihat-lihat superheroes lainnya,” kata Mulyatno, yang juga berprofesi sebagai wiraswasta ini. Salah satu koleksi termahalnya adalah patung-patung tokoh X-Men dari bahan resin seharga Rp 20 juta.
Mulyatno berburu action figure kesukaannya hingga ke kawasan Mong Kok di Hong Kong, China Square di Singapura, dan beberapa kota di Amerika. ”Di Amerika lebih banyak dan gampang menemukan toko-toko komik lokal,” kata Mulyatno. Ia tidak pernah menghitung uang yang sudah dihabiskan untuk koleksinya. ”Ngeri membayangkannya,” ujarnya.
Kegemaran atau hobi kadang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Para kolektor mainan ini mengakui uang yang dihabiskan untuk membeli koleksi mainan itu bisa buat membeli rumah kelas menengah di kawasan Jakarta Selatan. Mereka lebih memilih membeli action figure karena kegilaan tadi. ”Emang gila sih kalau dipikir-pikir,” ujar Riza, yang juga Ketua Komunitas Star Wars Indonesian Troopers.
Gila bagi orang lain, tapi tidak bagi Waraney Rawung. Kolektor ini justru mengatakan koleksi action figure yang dipajang di meja kerjanya melahirkan efek positif. ”Action figure dapat memancing kreativitas dan imajinasi yang sangat penting saat harus menulis proposal dan rekomendasi untuk klien,” dia menulis dalam blog pribadinya. ”Saat sedang bosan dan suntuk, action figure juga bisa buat bermain-main sejenak,” kata pria yang bekerja di bidang kehumasan ini.
Selain itu, action figure bisa menjadi hiasan atau aksesori untuk menghias rumah. Menyimpan sekaligus memamerkan barang koleksi bisa dilakukan bersamaan seperti prinsip memajang aksesori di ruangan. Pada dinding kosong di rumah bisa ditambahkan partisi buat meletakkan miniatur jagoan masing-masing. ”Saya juga melakukan hal itu di rumah,” kata Riza. Selain di rumah, Riza memajang sebagian koleksinya di kafe dan toko sebagai hiasan.
Riza dan Mulyatno boleh dibilang kolektor sukses. Riza membuka toko action figure dari berbagai komik yang merupakan merchandise asli atau resmi (official merchandise). Ia membaurkan barang koleksi dan jualannya. Namun barang koleksi dibubuhi tanda ”Not for sale”. Termasuk diorama berukuran 2 x 3 meter yang berisi lebih dari 100 miniatur Star Wars. Toko itu berada di lantai dua, sedangkan lantai satu difungsikan sebagai kafe. ”Lumayan menghasilkanlah,” ujar Riza.
Mulyatno melakukan hal serupa. Lebih dari seribu item miniatur Wolverine tak akan dijualnya karena merupakan koleksi pribadi. Bahkan beberapa di antaranya edisi terbatas yang kini sudah tak lagi diproduksi. Mulyatno juga membuka sebuah gerai toko di Senayan Trade Centre, Jakarta Selatan. ”Tapi bagi saya ini tetap hobi, bukan penghasilan,” ujar ayah satu putri ini.
Hobi mengoleksi action figure bisa berlangsung selamanya, bisa berhenti di satu titik jenuh. Nugroho, 36 tahun, adalah salah satu contoh. Ia tadinya mengoleksi tokoh idolanya, Flash Gordon, tokoh komik dengan kecepatan super. ”Saya sudah menjual semua koleksi saya,” kata pegawai swasta itu. Alasannya, ”Sedikit bosan.” Kini ia beralih mengoleksi mobil-mobilan. Dan kumpulan action figure-nya?
Nugroho menjual koleksinya dan meraup untung banyak. ”Beberapa item harganya naik. Soalnya sudah susah dicari,” katanya. Passion itu telah berakhir. Tokoh-tokoh superhero tak lagi melahirkan inspirasi, tapi mereka mendatangkan uang.
Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo