Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agung Y. Achmad
Wartawan
DALAM sebuah diskusi serial Lautan Wahyu bertajuk Ummah di Goethe, Desember lalu, seorang peserta mengemukakan pandangannya tentang sebab-sebab konflik antarumat beragama, khususnya antara umat muslim dan kristiani (Katolik dan Protestan) di negeri ini. Salah satu argumennya, konflik terjadi akibat ”perebutan” istilah Allah. Agama-agama tersebut memang memiliki nomenklatur Tuhan yang sama: Allah.
Dalam Islam, Allah adalah nama diri Tuhan. Allah dan kata yang merujuk pada makna Tuhan serta berbagai sifat-Nya disebut ribuan kali dalam Al-Quran, seperti al-Rabb, al-Rahman, dan al-Rahim. Ditulis dalam bahasa Arab, Allah berasal dari akar kata alif, lam, ha.
Umat kristiani, sebelum mengenal kata Allah seperti yang kini tertulis di Perjanjian Baru, meyakini El (Eloah, Elohim, bahasa Ibrani) sebagai nama diri Tuhan. Disebutkan, Yesus Kristus pernah mengucapkan istilah tersebut di tiang salib. El adalah nama diri Tuhan yang diimani orang-orang Yahudi, meskipun lingua franca di era Yesus Kristus adalah bahasa Aram. Kala itu, bahasa Ibrani digunakan secara terbatas oleh umat Yahudi. Selain menyebut El, umat Yahudi memanggil Tuhan mereka YHWH (Yahweh). Oleh umat Kristen Arab dan Suriah pra-Islam, El dilafalkan Allaha atau Alloho.
Allah sebagai nama diri Tuhan adalah sebutan yang tidak memiliki arti. Orang Inggris menyebut God untuk kata yang bermakna Tuhan seperti Yazdan atau Khoda dalam bahasa Persi. Pengetahuan manusia tentang sifat-sifat Allah, melalui bantuan wahyu, melahirkan istilah al-Rahman, al-Rahim, El Roi (Allah Mahatahu), El Olam (Allah yang Kekal), El Shadday (Allah Mahatinggi), dan masih banyak lagi sifat Allah.
Sebagai produk bahasa (peradaban), Yahweh dan El lebih tua daripada istilah Allah, sebab Al-Quran, meskipun menginformasikan terminologi Allah dalam kisah para nabi sejak Nabi Adam, turun pada beberapa abad setelah era Nasrani dan Yahudi. Dengan kata lain, istilah Allah, sebagai cermin dinamika sosiolinguistik, merujuk pada kata Yahweh dan El. Ini merupakan suatu pembacaan filologis—melibatkan tata bahasa, kebudayaan, pranata, serta sejarah Arab—Al-Quran ketika menceritakan kembali sejarah teologi agama-agama samawi. Islam lantas mengenalkan ilah atau al-Lah, bahwa penyembahan didedikasikan untuk memuliakan dzat yang adikodrati, Allah subhanahu wata’alaa, dan tidak menyembah nama.
Kemiripan Eloah, Yahweh, Allah, misalnya, bisa dimengerti lantaran bahasa Arab, Aram, dan Ibrani adalah satu rumpun, yakni Semitik—berjaya selama 3.000 tahun (http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sejarah_Aram&action=edit&redlink=1Wikipedia). Lebih dari itu, ketiga agama samawi tersebut memiliki akar sejarah monoteisme yang sama. Bahwa bahasa Arab paling sedikit mengalami problem teks (jauh) ketimbang bahasa lain dalam menuliskan dokumen-dokumen keagamaan adalah nilai lebih Al-Quran, hal yang diakui para sarjana di dunia.
Di Indonesia, pengucapan kata Allah cukup beragam. Masyarakat Melayu lazim melafalkan Allah (tebal) tanpa ada campuran vokal ”o”. Umat kristiani menyebut Allah seperti bunyi alah. Logat Jawa, demikian Syu’bah Asa pernah berspekulasi, menghasilkan bunyi alloh atau aloh seperti sering dilafalkan Aa Gym. Kultur Jawa juga mengenal Gusti Allah dan Gusti Pangeran untuk merujuk pada makna Tuhan.
Tuhan selalu ditemukan manusia di muka bumi mana pun, seperti diwakili semua aliran filsafat yang mengakui eksistensi sang causa prima itu. Masyarakat Quraisy yang tidak monoteistik itu pun mengenal benar Allah, seperti dikisahkan: ”… pasti mereka akan mengatakan: Allah” (QS Luqman: 25).
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan Allah sebagai nama Tuhan dalam bahasa Arab; pencipta alam semesta yang mahasempurna; Tuhan Yang Maha Esa yang disembah orang yang beriman. Kaum kristiani, andai tidak menyepakati definisi yang cenderung ”islami” tersebut, toh lazim menggunakan istilah Allah dan beberapa kata serapan bahasa Arab: rasul, injil, alkitab, umat, atau berkat. Para pastor (teolog) yang pada umumnya mendalami islamologi (juga bahasa Arab, linguistik) mengerti benar terhadap keniscayaan penggunaan beberapa terminologi ”islami” tersebut: Islam telah menyebar di Nusantara pada beberapa abad sebelum Katolik datang.
Lalu apa benar argumen tentang konflik Kristen-Islam dipicu perebutan istilah Allah? Masykuri Abdillah (anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar-Agama), narasumber di diskusi Lautan Wahyu, menyebutkan bahwa 50 persen lebih faktor penyebab konflik antarumat beragama atau internal umat tertentu adalah persoalan ekonomi atau proyek politik elite, dan para bos kecil di internal umat agama-agama diduga ikut terlibat.
Catatan sosiolinguistik tentang Allah di atas tidak menampakkan citra primordialisme agama-agama, sebaliknya mengesankan dinamika bahasa yang hidup. Ini merupakan modal sosial positif bagi kehidupan toleransi beragama dan demokrasi Indonesia. Karena itu, pengalaman pemerintah Malaysia yang pernah melarang umat nonmuslim menggunakan kosakata Allah itu tidak boleh terjadi di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo