Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Eksodus Kaum Kusta

Puluhan penderita kusta minggat dari penampungan di desa pandu, Manado. Mereka protes, penduduk tak ramah disamping itu Depsos kurang perhatian karena dananya seret. Kusta bukan kutukan tuhan.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDULRACHMAN Suma meninggal. Dalam seminggu, tubuhnya sedikit demi sedikit digerogoti belatung. "Badannya membusuk dan bagai," kata kawannya Inyo Kawatak, menceritakan musibah itu dalam dialek Manado (bagai artinya berulat -- Red.). Suma yang malang adalah warga permukiman konservasi kusta di Desa Pandu, Kecamatan Wori, Minahasa, Sulawesi Utara. Dan ia mati bukan karena kusta, tapi komplikasi infeksi. Beberapa yang lain cukup parah kondisinya. Mereka ditelantarkan. Sebagai protes atas kelalaian Dinas Sosial setempat, mereka lari. Eksodus itu terjadi menjelang tengah malam, Senin 4 Juli lalu. Tidak kurang dari 202 bekas penderita kusta -- mereka sudah sembuh dari penyakit laknat itu bergerak bersama keluarganya menuju Manado, 6 km dari konservasi. Tujuan mereka satu: kembali ke permukiman lama di pantai Malalayang, sekitar 4 km dari batas utara Kota Manado. Di sana mereka pernah menjalani hidup yang tenang, aman, dan nyaman. Rute sepanjang 10 kilometer mereka selesaikan dinihari. Namun, Malalayang mengecewakan. Di tepi pantai itu, rumah mereka yang dua tahun lalu masih kukuh berdiri kini tinggal puing-puing memang dalam proses penghancuran. Di sana akan dibangun Rumah Sakit Umum Manado. Akhir pekan lalu, hanya 36 bekas penderita dan keluarga mereka yang kembali ke puing-puing: 17 pria, 11 wanita, dan 8 anak-anak. Sebuah pipa yang masih meneteskan air jadi gantungan hidup mereka. "Makanan kami dapat dari penduduk di sini yang sudah lama mengenal kami," ujar seorang kakek kepada Phill Sulu dari TEMPO. Kakek yang tampak kekar itu baru tiba dengan sekarung ubi, sumbangan penduduk. Apa yang terjadi? "Sudah enam bulan bantuan tak datang dan kami tak punya sumber lain, tak ada tanah garapan untuk hidup," ujar Ronny Sanger, pemimpin eksodus itu. Ketika persediaan makanan habis akhir Juni, korban pun mulai jatuh. Beberapa di antaranya -- termasuk Suma digerogoti penyakit. Mereka tak bisa bertahan, hingga akhirnya tewas. Masalahnya tidak selesai di sini. Bekas penderita kusta di konservasi Pandu itu yang terletak 200 meter dari batas Desa Pandu -- cemas, jangan-jangan kematian Suma akan menimbulkan kemarahan penduduk. Mengapa? Kematian itu pasti dianggap sebagai bukti nyata bahwa kusta sudah kembali menjalar di kalangan bekas penderita, yang oleh Departemen Kesehatan resmi dinyatakan sembuh. Memang, sejak konservasi kusta dibangun dua tahun lalu, penduduk sekitar memperlihatkan sikap tak ramah. Mereka tidak cuma takut tertular. Penderita kusta, kata penduduk, mencemarkan nama desa. Juga karena mereka pula, hasil bumi penduduk tidak laku di pasar-pasar Manado. Sebuah insiden akhirnya terjadi Agustus 1986. Penduduk Desa menyerbu permukiman kaum kusta, dan menghancurkan balai-balai penampungan, serta memusnahkan harta milik mereka. Untung, tak ada korban jiwa. Karena terus-menerus didesak, orang-orang malang itu akhirnya kalap. Puncaknya meledak pada eksodus Senin malam itu. Mereka berniat menyerbu Manado. Gerombolan kusta mengancam -- bila nasib mereka tidak diperhatikan -- akan memasuki kota dan menyebar sebagai pengemis. Mendengar ini penduduk balik merasa terancam. Pantai Malalayang, yang dalam dua tahun terakhir menjadi daerah pariwisata, tiba-tiba sepi. Kegiatan di obyek wisata bahari Pulau Bunaken -- beberapa ratus meter dari puing-puing konservasi Malalayang -- dua minggu terakhir mati total. Rencana penyerangan itu batal, akhirnya. Kantor Wilayah Departeman Sosial, yang memang ditugasi mengurus mereka, dengan cepat turun tangan. Mereka mengulurkan bantuan, tapi jalan keluar rupanya belum disepakati. "Apa pun yang terjadi kami mau mati di tempat ini saja," uJar Ronny. "Kami tidak mau kembali ke Desa Pandu." Daniel Papayungan, Kakanwil Departemen Sosial, mengemukakan bahwa sudah lama ada rasa tidak puas. Jatah makanan mereka setengah tahun terakhir ini terlambat. "Karena anggarannya belum cair," kata Papayungan, "sekarang ini pun kami terpaksa mengambil dari pos lain." Menurut pejabat itu, dana bantuan yang diturunkan pemerintah selama ini Rp 10.000 per kepala tiap bulannya. Tapi dalam anggaran tahun ini, jumlah itu disusutkan menjadi Rp 7.000. Akibatnya, bantuan lauk-pauk terpaksa ditiadakan Inilah, menurut Daniel, yang jadi pokok pangkal ketidakpuasan. "Bekas penderita kusta itu diharapkan bisa mandiri," ujar Papayungan pula. Karena itu, bantuan dikurangi. Gantinya, sudah disediakan tanah seluas 16 hektar untuk digarap. "Tapi prosesnya terhambat, karena tidak ada dana untuk pembuatan kapling," kata Papayungan lebih lanjut. "Tapi proses pengaplingan ini belakangan dipercepat, sesudah ditangani pemerintah daerah." Kakanwil Departemen Kesehatan, dr. Kawatu, M.P.H., ikut membenarkan keterangan itu. Katanya, konservasi di Desa Pandu sebenarnya dipersiapkan untuk memasyarakatkan bekas penderita kusta. "Kami sudah memeriksa mereka dengan teliti. Mereka sudah sembuh walau masih perlu menghabiskan sisa pengobatan," katanya. Departemen Kesehatan, kata Kawatu, tidak pernah menyetop atau menunda pengiriman obat-obatan. "Buruknya kondisi mereka lebih banyak karena turunnya daya tahan tubuh, akibat kekurangan gizi," katanya. Penyakit pun mudah tumbuh, khususnya pada kulit, yang umumnya mati rasa. "Karena itu, infeksi sering tidak disadari walaupun sudah merambat," kata Kawatu lagi. Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman Departemen Kesehatan dr. Gandung Hartono tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Tahap penyembuhan rasanya sudah dilalui Departemen Kesehatan dengan baik," katanya. Sekarang ini tinggal tahap terakhir, memasyarakatkan mereka. Ini tanggung jawab Departemcn Dalam Negeri dan Departemen Sosial. Gandung mengakui, kesulitan resosialisasi terutama datang dari ketakutan masyarakat. Mereka salah paham tentang bahaya kusta. "Ancaman kusta menular sebenarnya sangat kecil," katanya. Kepala Sub-Direktorat Kusta, dr. M.R. Teterissa, M.P.H., yang mendampingi Gandung dalam wawancara, menjelaskan bahwa kusta baru menular bila terjadi kontak dekat dalam jangka lama. Misalnya antara ibu dan anak. "Penularan terjadi karena ibu biasanya 'kan memandikan anak, menggendong, dan tidur bersama anaknya," katanya. "Karena itu, tidak benar Mycobacterium Leprae yakni penyebab kusta, bisa menyebar ke mana-mana melalui udara dan air, kemudian mcngakibatkan penjangkitan." Kedua pejabat itu menegaskan, penderita kusta, apalagi bekas penderita kusta, sama sekali tidak menularkan penyakitnya. "Saya sangat berharap masyarakat mau mengerti," ujar Gandung. "Tidak benar dan tidak adil untuk menyebutkan bahwa penyakit itu kutukan Tuhan." Jim Supangkat, Sri Indryati (Jakarta), Phill M. Sulu (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus