JANGAN kaget kalau suatu ketika di pengadilan muncul pengacara berseragam batik Korps Pegawai Negeri (Korpri). Sebab, sejak Rabu pekan lalu, 50 sarjana hukum barisan pegawai negeri mengikuti "Kursus Pengacara Korpri Angkatan I Tingkat Pusat". Para peserta kursus berasal dari berbagai departemen, lembaga pemerintah nondepartemen, bank milik negara, dan badan usaha milik negara. Semua peserta, yang tentunya bergelar S.H., sebenarnya sudah tak asing lagi dengan soal hukum. Sebab, selama ini mereka bekerja sebagai konsultan hukum atau biro hukum. Kendati begitu, di tempat kursus itu mereka akan ditempa lagi oleh enam orang tenaga pengajar dalam 11 mata pelajaran, antara lain Hukum Perburuhan, Hukum Perkawinan, dan Peradilan Agama. "Saya tak mengecilkan arti lulusan perguruan tinggi. Tapi umumnya mereka hanya kenal teori, tapi kurang praktek," ujar pimpinan kursus, A.B. Astrawinata. Banyak S.H., katanya, yang tak paham membuat gugatan, eksepsi, termasuk penjelasan ongkos perkara. Semua lulusan kursus ini nanti akan bergabung di Biro Bantuan Hukum (BBH). Menurut Ketua Dewan Pembina Korpri, Rudini, yang memprakarsai kursus itu, sebenarnya keinginan untuk membentuk lembaga itu tercetus sejak Munas II Korpri, 1983. "Selain untuk konsultasi dan penyuluhan hukum, lembaga itu juga akan memberi bantuan hukum cuma-cuma bagi anggotanya di depan pengadilan," ujar Rudini. Pada 1985, BBH Korpri itu sudah berkantor di Jalan Kramat VI. Hanya saja selama ini lembaga itu cuma dilayani seorang pengacara, R. Soemantri W.S., yang juga kepala biro bantuan hukum di Korpri Pusat. Padahal, di lembaga itu banyak perkara yang harus ditangani. "Terutama menyangkut PP 10 soal perkawinan, atau PP 30 soal disiplin kepegawaian, dan kasus PHK di perusahaan negara," ujar Soemantri. Soemantri tak bersedia menjelaskan kedudukan pengacara negeri ini dalam jajaran penegak hukum. Pihaknya, katanya, hanya akan menangani kasus yang menyangkut pribadi anggota Korpri. "Sebab, tidak semua pegawai negeri mampu membayar pengacara," ujarnya. BBH direncanakan akan memperluas jaringannya sampai ke daerah-daerah. Kehadiran BBH itu cukup mengagetkan pengacara profesional. Sekretaris Ikadin, Djohan Djauhari, misalnya, serta-merta mempertanyakan dasar keberadaannya. "Relevansinya apa pegawai negeri menladl pengacara?" tanyanya. Padahal, katanya, Surat Edaran Mahkamah Agung, 1971, tegas-tegas melarang pegawai negeri menjadi pengacara. Pengacara kawakan Adnan Buyung Nasution menduga akan muncul konflik kepentingan dalam tubuh pengacara bila ia merangkap pegawai neeri. Umpamanya, suatu ketika, advokat nonswasta itu perlu membela seorang pegawai negeri melawan menterinya. "Kepentingan siapa yang mesti dibelanya?" katanya. Ketua Pengadilan Jakarta Pusat, Gde Sudharta, juga sependapat pegawai negeri tak bisa merangkap pengacara. "Kalau pengacara merangkap pegawai negeri, ya jelas nggak boleh, dong," katanya. Kecuali, katanya, bila pengacara itu ex officio, dalam arti hanya membela perkara instansinya. Sebenarnya, empat tahun lalu, soal larangan pegawai negeri merangkap pengacara itu pernah pula ditegaskan di perguruan tinggi. Dirjen Pendidikan Tinggi, Sukadji Ranuwihardjo, ketika itu, mengeluarkan instruksi yang melarang dosen-dosen berpangkat IV A ke atas menjadi pengacara. Sementara itu, dosen berpangkat III D ke bawah dibenarkan berpraktek bila mendapat izin atasannya. Itu pula sebabnya, ketika itu, Mulya Lubis, direktur LBH, terpaksa mengundurkan diri dari jabatan dosen FH UI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini