Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Misteri AIDS di Otak Ferry

Diduga Ferry Ramba, 35, asal Manado meninggal akibat AIDS. Setelah ditemukan kelainan otak, serta tes darah dengan metode Elisa & Western Blot. Tapi keluarganya tak mengijinkan otopsi untuk menguji kebenaran.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FERRY Ramba, pemuda 35 tahun asal Manado, meninggal di Bali karena AIDS. Pemeriksaan darah di laboratorium menunjukkan tanda positif, sementara gejala klinis memperkuat perkiraan itu. Namun, kematian Ferry masih meninggalkan tanda tanya. Ada kejanggalan yang tidak terungkap pada kematian Ferry. Pelacakan lebih jauh, sayangnya, tak bisa dilakukan. Keluarganya tak mengizinkan otopsi. "Kita kehilangan peluang mengamati gejala yang mungkin sangat penting bagi penelitian AIDS," ujar dr. Dwi Sutanegara yang merawat Ferry. Yang dimaksud Dwi, adanya tanda-tanda serangan virus ke otak. Gejala ini justru sedang dipermasalahkan dalam penelitian AIDS di seluruh dunia. Menurut Dwi, 22 Juni lalu Ferry mendadak pingsan sesudah dirawat hampir sebulan. Keesokan harinya 23 Juni, penderita itu meninggal. Kejadian ini mengejutkan para dokter yang merawat. "Pada hari dia pingsan pasien masih bisa sikat gigi," kata Dwi. "Dan kami sebenarnya sudah akan mcmbolehkan dia pulang." Lagi pula, kondisi badannya pada 22 Juni cukup baik, dan grafik kesehatannya justru sedang naik. Ini kemajuan. Padahal, kondisi fisik penderita sangat buruk ketika masuk RS Surya Husada, Denpasar, 29 Mei berselang. Kondisi buruk itulah yang membuat para dokter curiga, jangan-jangan Ferry menderita AIDS (Aquird Immunodefiaency Syndrome) yang merontokkan daya tahan tubuh itu. Dan benar. "Pemeriksaan darah dengan metode Elisa menunjukkan ada antibodi khas melawan virus penyebab AIDS," ujar Dwi. Tes konfirnnasi dengan metode Western Blot yang diusahakan Panitia Penanggulangan AIDS Departemen Kesehatan di Jakarta, mengukuhkan kesimpulan para dokter di Bali. Dari sisi klinis, gejalanya menurut Dwi cukup meyakinkan. Pemeriksaan ronsen menunjukkan adanya radang paru-paru pneumocystis carinii. Pemeriksaan laboratorium menyimpulkan terjadi pula peradangan hati -- hepatitis. Gejala lain, terdapat tanda-tanda kanker pada kulit, yaitu sarcoma kaposi, dan jamur candidiasis di sekitar mulut. Semua ini manifestasi klinis AIDS, yang dikenal sebagai infeksi oportunistis. "Namun, sebenarnya, masih harus ditentukan apakah infeksi-infeksi itu berulang secara tetap dan tak bisa disembuhkan," kata Dwi. "Ini termasuk salah satu faktor penting dalam memastikan diagnosa AIDS." Sampai sekarang, standar diagnosa, menurut Dwi, masih diperbarui terus. Data-data juga dikumpulkan terus, karena gejala klinis di berbagai negara ditemukan berbeda-beda. Salah satu faktor penyulit pada kasus Ferry ia mempunyai pacar homoseks berkebangsaan Swiss, dan sering ke luar negeri. "Maka sulit memastikan apakah ia tertular di Bali atau di negeri orang," ujar Dwi lagi. Ketika gejala klinis masih diamati dan kesimpulan belum bisa ditarik, Ferry tiba-tiba meninggal. Pertanyaan yang segera muncul dan harusnya mendapat jawaban infeksi manakah yang mengakibatkan kematian. Jawaban sebenarnya akan diburu karena itu otopsi di RS Umum Sanglah disiapkan. Tapi rencana itu batal karena otopsi tidak diizinkan. "Hilangnya kesadaran pasien sangat mungkin menandakan ada kelainan pada otak, atau lesion cerebral," kata Dwi. Center for Infection Diseases, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat -- pusat penelitian AIDS AS -- dalam standarnya yang paling baru, menetapkan kelainan otak -- seperti yang disebutkan Dwi -- sebagai salah satu gejala AIDS. Namun, dasar bagi penggarisan dampak AIDS pada otak ini terbatas pada penemuan klinis. Pemeriksaan dengan pelarik otak (Computed Tomography Scanning) menunjukkan, ada perubahan otak pada hampil semua penderita AIDS. Bagaimana terjadinya proses sampai sejauh ini, masih belum jelas. Titik-titik terang hubungan otak dengar AIDS baru muncul awal Juni lalu, pada pertemuan pakar AIDS di Cancer Research Institute, New York, AS. Berdasarkan penemuan-penemuan baru, para ahli sepakat untuk meneliti kembali bagaimana HIV (Human Immunodeficiency Virus) -- virus penyebab AIDS -- menyerang sistem pertahanan tubuh. Teori yang paling banyak dipercaya hingga kini ialah, HIV diyakini menyerang jajaran sel-sel T-4, yaitu sel yang berperan paling besar dalam sistem pertahanan tubuh. Namun, belakangan ditemukan tanda-tanda, serangan utama HIV bukan sel-sel T-4, melainkan sel-sel macrophage -- sel-sel yang membantu pembentukan butir-butir darah putih di seluruh tubuh. Beberapa pakar -- di antaranya Dr. Robert C. Galo salah seorang penemu HIV sebenarnya sudah lama memperkirakan HIV juga menyerang macrophage. Namun pendapat ini hilang, karena selsel T-4 secara teoretis lebit masuk akal menjadi penyebat runtuhnya pertahanan tubuh Macrophage ditoleh kembali setelah ditemukan kasus dengan gejala AIDS tapi tidak bisa dilacak melalui semua tes konvensional, sementara sel-sel macrophage positif terinfeksi HIV. Dari penemuan mutakhir itu diskusi pakar AIDS di New York akhirnya melahirkan pandangan baru. Sel-sel yang paling awal mendapat serangan HIV jauh sebelum manifestasi AIDS muncul -- adalah sel-sel macrophage. Dalam keadaan normal macrophage berfungsi membantu pertahanan di sel-sel sumsum tulang tempat darah dibentuk, sel-sel endothellial salah satu sel pembentuk pernbuluh darah, sel-sel B pembentuk antibodi, dan sel-sel T penyusun strategi pertahanan tubuh. Terganggunya fungsi macrophage dengan sendirinya merusakkan kerja kelompokkelompok sel ini. Selain itu, macrophage yang terinfeksi HIV ditemukan mengeluarkan sejumlah senyawa kimia yang menghancurkan sel-sel otak. Terungkap pula sel-sel otak sudah mulai rusak, jauh sebelum gejala infeksi lain muncul. Kemungkinan besar, inilah yang terjadi pada Ferry Ramba. Tubuh Ferry sebenarnya masih bisa bertahan walau dalam keadaan parah, sedangkan otaknya tidak. Jim S. (Jakarta), Joko Daryanto (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus