Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sepeda perlu masuk dalam strategi besar penurunan emisi karbon karena terbukti efektif mengurangi produksi gas rumah kaca.
Pemerintah perlu berinvestasi, baik pada infrastruktur maupun insentif, untuk mendorong peralihan penggunaan kendaraan bermotor ke sepeda, seperti di Paris.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyusun skema insentif bagi pesepeda yang akan diluncurkan pada Hari Sepeda Dunia atau World Bicycle Day, Senin, 3 Juni 2024.
DI satu grup WhatsApp, dua pekan lalu, berlangsung percakapan sarat antusiasme tentang kontribusi pesepeda harian dalam menurunkan emisi karbon. Saya terkesan. Sebab, di grup lain yang justru menghimpun para penggerak organisasi yang memang berfokus mempromosikan sepeda sebagai sarana transportasi dan mobilitas, saya bahkan tak pernah mendapati topik yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya ada dalam grup Pekerja Bersepeda IDN tersebut. Setahu saya, percakapan timbul tersebab oleh penggunaan Strava. Aplikasi populer yang merekam aktivitas fisik luar ruang—jalan kaki, lari, dan bersepeda—ini memungkinkan pesepeda mencatat besaran emisi karbon (gas karbon dioksida atau CO2) yang dihindarkannya dengan bersepeda. Emisi itulah yang disemburkan ke atmosfer kalau pesepeda, alih-alih mengayuh kereta anginnya, memilih menggunakan kendaraan bermotor pribadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota grup itu ramai bertukar pendapat dan berbagi pengalaman ihwal jarak tempuh dan besaran emisi yang bisa dicegah, serta perihal harapan agar kegiatan mereka di-“formal”-kan, bahkan dinaikkan ke level nasional. Dalam hal ini, “formal” tidak lain berarti pembuat kebijakan memberi dukungan.
Ada yang tak diketahui para pelaju (commuter) bersepeda itu. Melalui lobi dan relasi yang ada, diam-diam Bike to Work (B2W) Indonesia berhasil merangkul Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara (PPU). Para pejabat di direktorat ini memang aktif menjajaki peluang-peluang untuk menurunkan emisi seraya melibatkan masyarakat. Sebuah skema pemberian insentif disepakati untuk dijalankan. Ringkasnya, para pesepeda harian yang mengaktifkan Strava-nya dapat mengikuti semacam kompetisi: mengumpulkan sebanyak mungkin angka carbon saved untuk mendapatkan ganjaran insentif.
Skema itu masih baru dan dimulai bersamaan dengan momen hari sepeda sedunia atau World Bicycle Day, yang diperingati setiap 3 Juni. Namun gairah para pesepeda dalam grup tersebut untuk mengikutinya sama tingginya dengan antusiasme diskusi di antara mereka.
Peringatan World Bicycle Day di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 2023. Dok.TEMPO/Magang/Andre Lasarus Benny
Sepeda Diabaikan dalam Skema Penurunan Emisi Karbon
Sejauh ini, bersepeda sebagai cara untuk menurunkan emisi karbon (dan gas rumah kaca lainnya, tentu saja) memang cenderung dinafikan. Pejabat-pejabat pemerintah, para pembuat kebijakan, di Indonesia termasuk di antara mereka yang menutup mata. Delegasi kita dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-13 November 2021 pun tak merespons surat terbuka yang diinisiasi European Cyclists’ Federation (ECF). Surat ini mendesak pemerintah negara-negara peserta berkomitmen “mendorong penggunaan sepeda dalam upaya menurunkan emisi karbon lebih cepat dan efektif untuk mencapai target global terkait dengan iklim”.
Sektor transportasi memang berkontribusi signifikan terhadap total emisi gas rumah kaca, terutama karbon (yang proporsinya lebih dari 70 persen). Besar emisinya bervariasi antarnegara. Namun paling tidak ia mencapai seperlima dari total emisi. Data International Energy Agency menunjukkan tiga perempat dari angka itu muasalnya adalah subsektor transportasi darat: mobil penumpang (45 persen) serta truk pengangkut barang (29 persen).
Di Indonesia, menurut data yang dipublikasikan Institute for Essential Services Reform, sektor transportasi merupakan penghasil emisi terbesar kedua (23 persen). Dari angka ini, 90 persen di antaranya berasal dari transportasi darat.
Secara global, penurunan emisi dari sektor transportasi sebetulnya sempat terjadi pada masa pandemi Covid-19. Kala itu, sebagai konsekuensi dari pembatasan kegiatan sosial, penggunaan kendaraan bermotor praktis terhenti. Namun, manakala pandemi berlalu, kegiatan transportasi kembali “normal”, bahkan terus naik. Sebagai akibatnya, pada 2022, emisi meningkat 3 persen.
Fenomena pada masa pandemi menunjukkan bahwa mengurangi atau membatasi pemakaian kendaraan bermotor (mobil penumpang atau sepeda motor pribadi, khususnya) adalah cara yang efektif untuk memangkas emisi. Alternatifnya, selain angkutan umum massal (bus dan kereta), adalah sepeda. Wahana yang sejak dua abad silam digunakan sebagai sarana transportasi ini pas untuk melayani perjalanan jarak pendek di perkotaan.
Pengurangan Emisi Karbon dengan Bersepeda
Seberapa besar potensi sepeda dapat mengurangi emisi? Capaian para pesepeda dalam grup WhatsApp yang saya sebut di awal bisa dijadikan ilustrasi. Sebagai catatan: Strava menggunakan The 2023 EPA Automotive Trends Report dari Environmental Protection Agency sebagai rujukan pembuatan perkiraan carbon saved dari kegiatan bersepeda untuk tujuan melaju (commuting).
Dalam praktiknya, setiap pesepeda bisa mencegah emisi dengan kuantitas yang berlainan, terutama tergantung jarak tempuh. Sampai Jumat lalu, ada 253 pesepeda yang berpartisipasi. Selama 13 hari, dengan bersepeda sejauh 40.787 kilometer dalam durasi 2.271 jam, mereka dapat membukukan carbon saved sebanyak 8.892 kilogram. Jika direratakan, setiap pesepeda menempuh jarak 12,4 kilometer per hari dan menangkal emisi 717 kilogram setiap kilometernya.
Angka jarak itu jauh melampaui jarak rata-rata yang dilalui seorang pesepeda harian di Denmark atau di Belanda. Pesepeda Denmark per hari menjangkau 1,6 kilometer, sedangkan pesepeda Belanda bisa sampai 2,6 kilometer. Namun anggota grup Pekerja Bersepeda IDN kebanyakan memang pesepeda “gila”. Mungkin juga trip untuk berakhir pekan atau bahkan sport ditandai sebagai trip untuk melaju.
Hal yang sesungguhnya menarik adalah apa yang dapat dicapai kalau kedua negara itu menjadi model. Riset oleh tim dari University of Southern Denmark yang laporannya diterbitkan dalam Nature Communications: Earth and Environment pada April lalu menyimpulkan penduduk dunia bakal bisa menurunkan emisi hingga 414 juta ton per tahun kalau menjalani pola bersepeda seperti warga Denmark. Pengurangan bisa lebih besar, 686 juta ton, kalau yang diadopsi pola bersepeda warga Belanda. Sebagai perbandingan, 414 juta ton emisi karbon itu setara dengan emisi total Inggris pada 2015.
Tentu saja, tidak mungkin semua orang di dunia bersepeda setiap hari. Di Belanda, negara yang warganya paling aktif bersepeda, hanya 25 persen dari total perjalanan harian yang dilakukan dengan sepeda. Namun Belanda telah memperlihatkan apa yang dianggap mustahil, yakni mengubah ketergantungan pada mobil menjadi kecintaan terhadap sepeda, tidak sepenuhnya benar. Contoh mutakhir adalah Paris. Ibu kota Prancis ini sukses menjadikan sepeda sebagai sarana transportasi dan mobilitas praktis baru sejak masa pandemi.
Ada banyak kota lain yang, dalam batas tertentu, sanggup merealisasi hal serupa, sebenarnya. Tapi, di mana pun, pelajaran ringkasnya adalah ini: pentingnya kemauan pemerintah dalam berinvestasi untuk memungkinkan orang bersepeda dengan mudah, aman, selamat, dan nyaman. Investasi itu tidak hanya untuk membangun prasarana fisik, tapi juga prasarana sosial, termasuk menyediakan insentif. Inilah yang, antara lain, ditekankan dalam Cycling Delivers on the Global Goals, brosur yang disusun dan diterbitkan bersama pada 2015 oleh World Cycling Alliance serta ECF.
Paris, sebagai contoh terkini, membuktikan hal itu. Penggelontoran dana US$ 2 miliar selama empat tahun sejak 2023, misalnya, bukanlah pengeluaran yang sia-sia. Penelitian oleh Paris Région Institute menemukan kini 11,2 persen perjalanan di dalam kota dilakukan dengan sepeda, sedangkan penggunaan mobil hanya 4,3 persen.
Pesepeda beristirahat di kolong Semanggi, Jakarta, Juni 2023. Dok.TEMPO/Magang/Andre Lasarus Benny
Dukungan PBB lewat World Bicycle Day
Kesediaan untuk membiayai langkah seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Paris itulah yang harus ada di Indonesia. Paling tidak di level kota. Ini berlaku kalau komitmen untuk ikut mengurangi emisi, demi menanggulangi ancaman krisis iklim dan memastikan terlaksananya pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan Perjanjian Paris ataupun Sustainable Development Goals (SDGs) memang nyata.
Tidak ada dalih yang bisa diterima sebagai dasar untuk mengabaikan sepeda dalam skema apa pun yang terkait dengan sektor transportasi. Investasi yang bertujuan memudahkan makin banyak orang menggunakan sepeda dalam kegiatan sehari-hari malah membawa dampak positif ke dalam tujuan-tujuan global, persisnya 11 dari 17 tujuan SDGs, yang meliputi segala aspek kehidupan.
Mengenai hal itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah meneguhkannya. Dalam resolusi penetapan hari sepeda internasional enam tahun lalu, Majelis mendorong “pemangku kepentingan menekankan dan memajukan penggunaan sepeda sebagai sarana memelihara pembangunan berkelanjutan; menguatkan pendidikan, termasuk pendidikan fisik, bagi anak-anak dan remaja; mempromosikan kesehatan; mencegah penyakit; mempromosikan toleransi, saling pengertian, serta saling hormat; dan memfasilitasi ketercakupan sosial serta budaya damai”.
Pemerintah yang bijak akan memanfaatkan kesempatan dan pengalokasian dana untuk memastikan hal itu tercapai. Pemerintah yang bervisi jauh ke depan akan berupaya sekuatnya demi menjamin kegembiraan para pesepeda, seperti suasana percakapan dalam grup WhatsApp Pekerja Bersepeda IDN, tetap hidup. Misalnya dengan mengadopsi skema insentif seperti yang dijalankan Direktorat PPU atau mengimplementasikan skema lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo