ERICK Wong, bayi yang baru berusia empat bulan, telah meninggal karena kelalaian karyawan apotek. Obat yang seharusnya untuk orang lain yang sudah dewasa tertukar denan obat yang seharusnya diterima bayi itu. Akibatnya, sang bayi meninggal dunia 27 Februari tahun lalu. Orangtua Erick menuntut ke pengadilan. Pengadilannya sudah dibuka 19 Juni lalu dan masih akan dilanjutkan 16 Juli mendatang. Kisah kemalangan itu sendiri berlangsung ketika orangtua Erick Wong, yang bernama Wong Ing Hwa, malam 11 Februari 1983 memutuskan berangkat mencari dokter, karena sudah dua hari anaknya batuk pilek. Dia menyerahkan pemeriksaan Erick Wong kepada Indrajana Soediono, dokter yang berpraktek di Jalan Batuceper, Jakarta Pusat. Dari dokter itu dia berangkat ke Apotek Jakarta diJalan Mangga Besar untuk menukarkan resep. Waktu itu sudah pukul 23.00. Seorang karyawan di apotek itu lantas membubuhkan nomor 168 untuk resep Erick. Kemudian muncul pula resep atas nama Nona Tan Ay Tjoe yang entah kenapa juga mendapat nomor 168. Sesampai di rumah, Wong Ing Hwa menyerahkan obat yang dia terima kepada istrinya. Si istri kemudian memberikan obat itu kepada Erick Wong. Kapsul dibuka, isinya diaduk ke dalam sesenduk air dan ditenggakkan ke mulut Erick yang kecil. Tak lama setelah pemberian obat itu wajah anak tersebut membiru. Tengah malam itu juga Erick dilarikan kembali ke praktek dr. Indrajana. Gagal menemui dokter itu akhirnya Erick dibawa ke Rumah Sakit Harapan Kita di tengah malam menjelang dinihari itu. "Anak saya habis makan obat ini, Dok," cerita sang ayah kepada dokter jaga di rumah sakit itu. Setelah bayi itu diperiksa, dokter jaga meminta anak itu dibawa kembali keesokan harinya. Waktu itu sudah pukul 3 subuh dan Erick Wong merengek terus. Pukul 06.30 Erick lantas dibawa ke dr. Indrajana. Begitu pintu dibuka, Wong Ing Hwa langsung saja masuk ke ruangan praktek Indrajana, dengan sikap agak marah. Rupanya, dia beranggapan, kerepotan yang dia alami itu bermula dari dokter itu. Penasaran, Indrajana langsung meminta obat yang telah diberikan kepada Erick Wong. Begitu melihat kapsul dalam bungkus obat itu, mendadak dokter itu kaget. "Saya tidak memberikan kapsul. Salah obat!" katanya memutuskan. Indrajana kemudian menuliskan surat pengantar. Dengan surat pengantar itu sang ayah dan Erick Wong, yang keadaannya semakin parah, berangkat kembali ke Harapan Kita. Bayi itu langsung dimasukkan ke ruangan perawatan gawat. Dia mendapat bantuan pernapasan. Setelah beberapa belas hari mendekam di rumah sakit itu, 27 Februari pagi-pagi sekali Won Ing Hwa dipanggil seorang pembantu dokter yang menyampaikan kabar bahwa anaknya sedang gawat. Dari luar, Wong Ing Hwa melihat slang oksigen dan infus sudah dilepas. Dua orang suster mencoba menolong pernapasan Erick Wong. Tetapi usaha itu gagal. Dan Erick Wong, anak Fertama, yang dalam usia empat bulan mencapai bobot 8 kg, kemudian meninggal di bawah isak tangis kedua orangtuanya. Menurut penelitian Laboratorium Mabak, obat yang diminum bayi yang malang itu ialah Paracetemol (untuk menurunkan panas), Stimetil (antimuntah), Artane (obat kejang), dan Mentalium (penenang). Sedangkan resep yang dituliskan dr. Indrajana terdiri dari sirup obat batuk dan obat racikan penurun panas. Tetapi apa yang menyebabkan kematian Erick barangkali akan menjadi pusat pemblcaraan pada sidang pengadilan yang akan dilanjutkan pertengahan bulan Juli nanti. Sebab, menurut visum yang dikeluarkan Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia "Sebab kematian korban adalah penyakit infeksi virus pada paru-paru yang menyebabkan mati lemas." Pada visum yang ada dalam tuntutan jaksa itu, juga disebutkan, pada tubuh korban ditemukan sebagian bahan obat yang ada dalam kapsul benda bukti. Dan timbul tanda tanya bagaimana Erick Wong bisa bertahan dari keracunan obat sampai 16 hari. Indrajana, yang menghadapi anak itu untuk pertama kali, mengatakan kepada TEMPO, ketika dia memeriksanya untuk kedua kalinya, dia menemukan Erick Wong sudah membiru. "Dia keracunan obat. Diagnosa saya ini sama dengan diagnosa Rumah Sakit Harapan Kita. Dia bisa bertahan sampai dua minggu seperti itu saya kira sudah termasuk luar biasa," katanya. Irawan H., 43, yang menjadi terdakwa dalam perkara salah obat ini, ketika dihubungi wartawan TEMPO, tidak berkenan memberikan keterangan. "Semua persoalan akan dijawab oleh Ibu Untari, apoteker apotek ini yang bertanggung jawab untuk semuanya," katanya menyambung. Ketika ditemui di kantornya, di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Dra. Untari Takain, kelihatan kurang senang dengan pemberitaan pers yang, selagi sidang pengadilan berjalan, sudah menghukum Irawan H. Menurut Untari, karena peristiwa ini Irawan merasa tertekan terus-menerus. Ia malahan sudah sempat menyatakan mengundurkan diri dari perusahaan, padahal vonis belum dijatuhkan. "Padahal, kita belum tahu apakah kematian itu karena obat atau sebab lain," katanya. "Dokter Indrajana dalam kesaksiannya juga mengakui bahwa anak itu memiliki kelemahan," tambahnya pula. Namun, Untari membenarkan kekeliruan yang terjadi di apotek yang dipimpinnya itu. Irawan sebenarnya bekerja sebagai kasir yang merangkap sebagai penerima resep. Sedangkan, ketika kejadian salah memberi obat itu ada dua asisten apoteker yang sedang bertugas jaga. Yang dilakukan asisten apoteker sendiri sudah benar. Mereka menerima resep dari Irawan dan meramunya. Kebetulan dua resep yang diramu hampir bersamaan dan diletakkan tidak berjauhan satu dengan yang lain. Nomornya pun sama-sama 168. Irawan hanya melihat nomor. Dia menyatukan salah satu obat untuk Erick Wong, yari sirup, dengan salah satu obat untuk orang lain, yang kapsul. Dan menyerahkannya kepada orangtua Erick. Kekeliruan yang kemudian berakibat fatal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini