Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Berburu Estetika Fotografi Analog

Di era digital, banyak anak muda menggemari fotografi dengan kamera analog. Ada kepuasan estetik dan kenikmatan dalam prosesnya.

12 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Banyak anak muda yang gemar fotografi dengan memakai kamera analog.

  • Mereka memburu estetika fotografi dengan kamera analog.

  • Mereka menikmati proses fotografi kamera analog.

DARI dalam tas selempang, John Navid mengeluarkan satu per satu koleksi kameranya. Mula-mula Nikon FM2, Leica III, lalu Minolta Prod 20’s. John kemudian meletakkan ketiga kamera analog itu berjejer di atas meja. Dia juga menunjukkan beberapa lensa kamera analog.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semua kamera analog yang dibawa John ke kafe Earhouse by Endah N Resha di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, sore itu masih berisi film 35 milimeter. Pemain perkusi grup musik White Shoes & The Couples Company itu kemudian menunjukkan satu kamera Polaroid SX-70 koleksinya yang dia dapatkan di Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

John adalah salah satu pengguna kamera dengan format film untuk pemotretan. Dia mulai tertarik memakai kamera analog pada 2015. Awalnya dia hanya menggunakan lensa analog Nikon 50 mm dan memasangnya di kamera digital. Alasannya sederhana: saat itu harga lensa kamera analog masih terbilang murah.

Koleksi kamera analog milik John Navid di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, 8 Maret 2023/Tempo/M Taufan Rengganis

Kegandrungan John terhadap lensa analog akhirnya berlanjut. “Dari situ, gua mulai ketagihan main analog. Macam-macam lensa analog sudah pernah gua cobain, dari 28 mm, 50 mm, sampai lensa Leica. Dari lensa, hobi kamera analog ini dimulai,” kata pemilik nama panggung Uncle John itu, Rabu, 8 Maret lalu.

John mengungkapkan, salah satu daya tarik kamera analog yang membuatnya kesengsem adalah foto yang dihasilkan. Dia mengaku terkesima melihat warna foto hasil penggunaan kamera analog dengan format film tersebut. 

Menurut dia, foto kamera analog yang harus melalui proses cuci dengan cairan kimia kerap tak terduga. “Gua lumayan syok awal main analog, grain-nya enak banget dan pas. Warnanya seperti sudah diedit saja,” ujar John.

Bagi John, jepretan kamera analog juga seperti melintasi zaman. “Analog itu hasilnya memang dibuat long lasting, bisa dilihat dari bahan-bahan pembuatannya. Buktinya, ini yang gua pakai. Lensanya dari dulu masih bertahan sampai sekarang. Kamera analog memang, sih, tidak instan, tapi hasilnya bikin puas,” tuturnya.

Dari bentuknya, John melanjutkan, kamera analog punya kesan yang sangat menarik. John mengibaratkan desain bentuk kamera analog seperti mobil tua. "Makin lama makin indah dipandang,” ucapnya.

Kesukaan terhadap kamera analog membawa John menjelajahi sejumlah tempat di Jakarta untuk berburu obyek jepretan, dari kawasan Pasar Baru, Glodok, hingga Kota Tua. Sebagai penganut street photography, dia biasa menangkap banyak momen di tempat-tempat tersebut dengan kamera analog ataupun polaroidnya.

John menuturkan, dia kerap menjepret orang tua sebagai obyek foto. Pernah suatu waktu John memotret bapak-bapak yang tengah berkendara dengan vespa lawas. Saat berbincang, bapak itu mengatakan pernah bermain dengan kamera analog di masa mudanya. "Ternyata bapaknya pernah main kamera Leica, eh, dia juga punya buku Kodak dan kamera polaroid,” katanya.

John menjelaskan, memotret obyek, khususnya orang tua, meninggalkan kesan yang menarik. Dia rajin mengunggah foto dengan obyek orang tua jepretannya di akun Instagram-nya. Misalnya potret lelaki tua di sebuah restoran, penjaga toko, dan dua orang tua di tempat pangkas rambut.

Saat ini tantangan dalam hobinya adalah cukup susah mendapat akses ke perangkat analog. Beberapa barang koleksi John, antara lain bodi kamera serta lensa analog dan polaroid, harus dibeli melalui lokapasar seperti eBay. John sampai harus menemui penjual kamera ketika sedang berada di Jerman. "Kalau ketersediaan alat, ya, cukup susah. Kadang bisa saja apa yang kita mau tidak sesuai,” ujarnya.

Hobi kamera analog juga digeluti Rayi Winanti Karyadi. Perempuan 30 tahun yang sehari-hari mengajar di sebuah sekolah dasar di Jakarta Utara ini mulai menggandrungi kamera analog pada 2019. Kamera analog pertama yang ia miliki adalah Fujica M1, kamera plastik yang dirilis pada 1980-an. Rayi menikmati karakteristik hasil film pertama yang ia cuci. 

"Jadi aku memilih menggunakan kamera analog karena hasilnya berbeda. Ketertarikan itu berbarengan dengan menikmati prosesnya. Ketika mau jepret sampai hasilnya jadi semua, seperti ada kepuasan tersendiri,” tutur perempuan asal Depok, Jawa Barat, tersebut.

Rayi Winanti Karyadi dengan kamera Nikon FM 2 analog miliknya, di Jakarta Utara, Jakarta/Dok Pribadi

Rayi kemudian mengganti kameranya dengan yang lebih mumpuni. Dari kenalannya yang juga menekuni hobi kamera analog, Rayi mendapatkan kamera single-lens reflex (SLR) Nikon FM2. Dengan kamera analog itu, dia kerap mencari kemungkinan lain hasil film dengan format 35 mm tersebut. Misalnya, dia memakai film yang sudah kedaluwarsa. 

Rayi juga meracik film untuk mencari warna lain. Sebelum dicuci dan dipindai, rol film direndam dengan aneka cairan, dari soda, cuka, hingga kopi. Foto hasil proses yang tak terduga itulah yang dinikmati Rayi melalui hobi tersebut. Foto-foto itu kemudian ia publikasikan di akun Instagram-nya, @rayishootfilm.

Sambil terus menekuni hobinya, Rayi membuka Toko Pilem Depok pada 2020. Selain menjual rol film, Toko Pilem Depok melayani jasa titip cuci-pindai ke laboratorium di kawasan Jabodetabek. “Saat itu di Depok mulai banyak yang menggeluti hobi kamera analog, tapi masih jarang yang menjual film. Biar aksesnya mudah, aku mulai berjualan film,” ujar Rayi.

Penggemar kamera analog yang juga membuka jasa cuci-pindai film adalah Fadli Aat. Sejak kecil, personel grup Diskoria itu tertarik pada dunia fotografi. Semasa sekolah menengah pertama pada 1989, dia sudah mempunyai kamera analog SLR untuk menyalurkan hobi fotografinya. Kegemaran itu berlanjut sampai ia masuk Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Jakarta. 

"Pas masih awal main kamera, kakak gua beliin kamera digital EOS 1000 dan analog Nikon FM2. Yang awet Nikon FM2. Gua bawa ke mana-mana, sampai naik gunung,” kata Aat, Rabu, 8 Maret lalu.

Aat meneruskan hobinya dengan membuka tempat cuci-pindai film bernama (Lab) Rana pada Juni 2018. Dia menjelaskan, pendirian (Lab) Rana di Kemang, Jakarta Selatan, berangkat dari keresahannya terhadap minimnya tempat cuci-pindai film ketika penggunaan kamera digital sudah menjamur. 

Sekalipun ada tempat cuci-pindai, tutur Aat, hasilnya kadang tidak sesuai dengan keinginan. "Walhasil, mending gua buat sendiri tempat cuci foto,” ujarnya.

Menurut Aat, dalam beberapa tahun belakangan, antusiasme terhadap kamera analog serta rol filmnya meningkat. Mereka yang melakoni hobi tersebut berasal dari beragam kalangan usia. Pada awal berdiri (Lab) Rana, orang yang datang untuk mencuci-pindai film dan membeli kamera didominasi pelanggan berusia 20 tahun ke atas. 

Setahun berselang, Aat melanjutkan, orang-orang yang datang ke (Lab) Rana mulai beragam. “Yang datang dari umur 16 sampai 35 tahun. Menariknya, ada juga orang yang kembali main analog, dalam arti sekadar beli atau nyuci film," ucapnya.

Pendiri (Lab) Rana Fadli A'at di Jakarta, 8 Maret 2023/Tempo/Subekti.

Mahalnya harga rol film beberapa waktu belakangan tidak menyurutkan antusiasme anak muda yang memiliki  hobi fotografi kamera analog. Merujuk pada informasi harga di beberapa lokapasar, harga rol film meningkat hingga dua kali lipat. Misalnya harga Kodak Gold 200 dan Kodak Color Plus 200 yang menyentuh angka Rp 185 ribu dari sebelumnya sekitar Rp 90 ribu.

Berdasarkan catatan (Lab) Rana, selama Februari lalu, ada sekitar 1.500 orang yang datang untuk sekadar mencuci-pindai atau membeli rol film. “Sebulan sekitar 1.500 orang datang untuk membeli atau nyuci film, bahkan ketika harga film lagi naik banget seperti sekarang," ujar Aat.

Melalui (Lab) Rana, Aat juga ingin membuat semacam kampanye bagi orang-orang yang masih menyimpan klise film. Menurut dia, kampanye itu menjadi semacam usaha untuk menyelamatkan dan mengemas momen masa lalu dalam bentuk klise film. Aat ingin mengajak banyak orang mengarsipkan kenangan dalam bentuk klise yang kemudian dipindai ke dalam format digital.

"Kami mau membuat kampanye, salah satunya mengembalikan klise-klise memori foto lama keluarga. Kami berusaha menyelamatkan dan mengemas pengalaman itu ke tempat yang lebih rapi,” kata Aat. “Dalam fotografi analog, klise jadi unsur penting karena itu kan memori dalam secuil sejarah hidup.”

•••

GELIAT fotografi dengan kamera analog juga terlihat dari kegiatan yang digelar sejumlah komunitas. Salah satu komunitas yang rutin berkumpul untuk menyalurkan hobi fotografi dengan kamera analog adalah Photo Walk Ramean. 

Komunitas yang terbentuk di Jakarta pada 2018 ini menggelar kegiatan pertama berupa hunting foto pada saat hari bebas kendaraan (CFD) di kawasan Senayan. “Pertama kali kami buat acara di CFD, saat itu diikuti 10 orang,” ujar Andry Dilindra, pendiri Photo Walk Ramean.

Andry mengatakan penggemar kamera analog yang mengikuti kegiatan Photo Walk Ramean belakangan ini makin banyak. Misalnya, dalam perayaan Imlek beberapa waktu lalu, ada lebih dari 90 orang yang ikut. “Pesertanya didominasi anak SMA dan mahasiswa,” kata Andry, yang menjadi pengguna kamera analog sejak 1999.

Kegiatan yang diadakan komunitas itu terus berlanjut dan pengikutnya pun kian bertambah. Mereka datang dari berbagai daerah, dari Tangerang, Banten; hingga Depok, Bogor, dan Bandung, Jawa Barat.

Tak hanya menggelar kegiatan berburu foto bareng, komunitas Photo Walk Ramean juga mengadakan lokakarya untuk menambah ilmu dalam dunia fotografi kamera analog. Andry menjelaskan, komunitas itu juga pernah membuat workshop cara mencuci dan memindai film. 

Komunitas pecinta kameran analog Photo Walk Ramean saat di Yogyakarta/Dok Pribadi

“Kami memberikan pembelajaran bagaimana rol film ini bisa berubah menjadi sebuah image. Kegiatan workshop itu perlu karena hingga kini pemain kamera analog masih eksis. Jadi bukan sekadar tren,” tutur lulusan ilmu kriminologi Universitas Indonesia tersebut. 

Geliat penggemar kamera analog di kalangan anak muda juga terlihat di toko kamera di kawasan Pasar Baru. Menurut Rudi, pemilik toko, setiap hari ada saja anak muda yang datang mencari kamera analog dengan jenis bervariasi, seperti SLR, rangefinder, dan kamera saku (point and shoot).

Namun, sejak melambungnya harga rol film belakangan ini, Rudi mengungkapkan, tren penjualan kamera analog di tokonya sedikit menurun. “Sebelumnya kenceng banget, dari kamera point and shoot sampai SLR laku keras,” kata Rudi, yang juga membuka jasa servis kamera analog.

Belakangan, Rudi menambahkan, lebih banyak yang datang untuk meminta servis kamera analog. Sebagai pengguna kamera analog, Rudi juga sering dimintai pendapat oleh para calon pembeli yang baru ingin mencoba kamera tersebut. Masukan mendasar yang kerap disampaikan Rudi kepada mereka: “Jangan yang asal hidup, asal jalan, atau asal jepret, karena harga film dan prosesnya mahal."

•••

BOLEH dibilang ada sejumlah alasan yang membuat banyak anak muda belakangan ini menggemari fotografi dengan kamera analog. Di antaranya kepuasan estetik yang diperoleh dari jepretannya dan kenikmatan proses yang dijalani, dari memotret, mencuci film, hingga mencetak foto.

Menurut fotografer senior Arbain Rambey, geliat hobi fotografi menggunakan kamera analog di kalangan anak muda adalah usaha mencari sesuatu yang lain. Dia mengatakan, bagi kebanyakan anak muda yang lahir di era setelah kamera analog, hobi ini menjadi upaya merasakan sesuatu yang belum dialami. 

“Bahwa anak muda mendapat suatu yang selama ini tidak mereka rasakan, iya. Jadi seperti senang mengalami, seperti orang naik sepeda ontel, senang koleksi barang antik," ucap Arbain melalui sambungan telepon kepada Tempo.

Oscar Motuloh, fotografer senior mantan Kepala Divisi Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara, mengatakan ada petualangan imajinatif dalam kerja kamera analog di dunia fotografi. Sebab, ketika seseorang sedang memotret, hasilnya tidak bisa langsung dilihat dan harus menempuh proses. 

Seorang fotografer yang baik, kata Oscar, akan menunggu jepretannya dengan waswas ketika proses berjalan. "Itu mungkin suatu pengalaman yang tidak begitu dialami oleh teman-teman angkatan baru, yang memotret bisa langsung melihat hasilnya,” ujar Oscar ketika ditemui Tempo di Jakarta, Kamis, 9 Maret lalu.

Oscar juga membaca gejala meningkatnya hobi fotografi menggunakan kamera analog sebagai sebuah siklus. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, geliat hobi kamera analog bisa dibaca sebagai usaha orang-orang untuk kembali pada akar. Menurut dia, kamera analog seperti mengubah cara pandang orang-orang dalam berkarya. "Tapi filosofi melihat ini, itu hanya bisa dipelajari dengan keingintahuan mereka mempelajari dunia analog,” tuturnya.

Oscar menambahkan, dunia fotografi analog hampir sama dengan pengalaman mendengarkan musik. Belakangan, banyak orang kembali mendengarkan musik analog melalui piringan hitam atau vinil karena mereka ingin merasakan pengalaman penjelajahan lain. 

Pemilik toko kamera, Rudi saat memperbaiki kamera di Pasar Baru, Jakarta, Maret 2023/Tempo/Yosea Arga

Sama halnya dengan kamera analog, tren saat ini akan menjadi sesuatu yang menarik dan menghadirkan petualangan pemikiran dalam dunia fotografi. “Ini kan pengetahuan optik dan kimiawi. Kira-kira itu yang menjadi basic semangat mereka tertarik pada analog,” katanya.

Hobi fotografi dengan kamera analog di era digital, menurut Oscar, akan terus bertahan. “Tentunya sepanjang penggiat kamera analog itu sendiri mempunyai keinginan mengubah suatu pengalaman, entah estetik entah optik,” ujarnya.

Hal itu, tutur Oscar, merujuk pada makin berkembangnya ilmu pengetahuan yang memancing rasa ingin tahu orang-orang. “Makanya mereka yang kemudian masuk untuk mempelajari niscaya akan lebih punya pengalaman dalam filosofi melihat."

YOSEA ARGA PRAMUDITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus