Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Catatan dari reportase dalam perjalanan jurnalistik.
Jurnalisme sastrawi, penangkapan indrawi, dan arus teknologi.
Menyorot reportase yang tak tertangkap algoritma.
ADA semacam iman pada jurnalisme yang tampak dalam buku ini. Arif Zulkifli memang wartawan senior Tempo, dan kini Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers. Tapi bukan jabatan atau status jurnalis itu yang benar memberi kesan bahwa ia teguh dalam semacam iman tersebut. Dalam pengantar, Arif menulis sebuah esai tentang jurnalisme dan bagaimana ia menerapkan disiplin tersebut dalam tulisan pelancongannya. Esai ini ringkas, tapi tebal oleh pengalaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kumpulan tulisan dalam buku ini menggunakan pendekatan jurnalisme “lama”: reportase. Lewat pendekatan ini, wartawan mendudukkan dirinya sebagai “si daif” yang mengamati: melihat, mendengar, menyentuh, mengecap, dan menghidu (halaman xii).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam buku ini, Arif memang melancong. Atau, jika kata "melancong" terasa berkonotasi "perjalanan bersenang-senang belaka", Arif mengunjungi tempat-tempat dan orang-orang nun di dunia "sana". Tapi, yang penting, ia berangkat dan pulang sebagai jurnalis yang menuliskan perjalanan-perjalanannya, pertama-tama, dengan disiplin jurnalistik.
Menarik bahwa pengantarnya betul-betul ingin memastikan bahwa ini memang hasil sekaligus perihal jurnalisme. Apalagi jika kita tahu bahwa judul semula manuskrip kumpulan tulisan ini adalah "Guten Morgen, Kang Genong! Catatan Perjalanan Arif Zulkifli". Bagian pertama judul tersisih itu adalah judul salah satu tulisan perjalanan Arif di Berlin berjumpa dengan eksil 1965 (halaman 233)—tulisan yang hidup, ringan, sekaligus meruapkan haru. Judul itu terasa jurnalistik, dalam pengertian terapan, yang mengesankan sebuah cerita. Sedangkan judul yang akhirnya dipilih, Jurnalisme di Luar Algoritma, adalah pernyataan serius dan mengesankan sebuah pemikiran.
Artinya, ada kesengajaan membingkai buku ini sebagai sebuah karya jurnalistik dan bukan "sekadar" catatan perjalanan. Dalam nyaris semua perangkat publikasi dan pemasaran buku ini, bingkai jurnalisme itu pula yang selalu tampil. Dalam bingkai ini, alamiahlah apabila dalam pengantar Arif menceritakan proses tulisan "Dua Jam Bersama Hasan Tiro" (halaman 3). Tulisan itu adalah salah satu capaian jurnalistik terbaik Arif. Bukan hanya tulisannya, tapi lebih lagi, prosesnya.
Secara etis saya tentu tak bisa memaksakan interviu. Tapi saya tahu ada yang lebih menarik dibanding wawancara dengan tokoh yang irit bicara akibat sakit itu: reportase (halaman xv).
Dalam baris itu, Arif menyentuh persoalan etika jurnalistik dan juga pengetahuan tentang perkakas jurnalistik yang bisa dipakai dalam keadaan tertentu. Disiplin jurnalisme dalam kisah di balik tulisan tentang Tiro itu adalah sesuatu yang hidup dan menubuh dalam sang jurnalis, Arif. Ini memunculkan sebuah daya tambeng dalam upaya menembus sumber cerita sekaligus ketangkasan dalam menanggapi situasi yang kadang kecil dan tak kasatmata. Dua jam bersama Tiro, di saat ia masih serupa mitos perlawanan di Indonesia, adalah dua jam penuh keputusan jurnalistik.
Saya mengajukan pertanyaan, membacakan buku sesuai dengan permintaannya, dan sesekali mendebat. Saya merekam semua kejadian dalam ingatan karena menyadari satu goresan saja di buku catatan akan merusak suasana pertemuan langka tersebut (halaman xvi).
Mengapa bingkai itu yang dipilih? Mengapa sebuah buku tentang "catatan perjalanan" saja terkesan dianggap tak memadai? Melihat posisi Arif dan pengalamannya bertungkus lumus di dunia jurnalistik selama seperempat abad, lantas melihat selintas lanskap media kita saat ini, wajar bingkai itu dipilih. Itu adalah sebuah tanggapan terhadap dunia yang didera keserbacepatan informasi dan data. Dunia yang terasa mengancam watak hati-hati dan telaten disiplin jurnalisme. Disiplin yang kadang mengharuskan proses lebih perlahan, jauh dari kesegeraan klik dan umpan-umpannya, juga dari desakan mendapat tatapan halaman daring yang mega-masif dalam ekonomi perhatian kini.
Arif tak terlalu mendalami mengapa disiplin yang sering dianggap kura-kura di masa kini patut dipertahankan. Di buku ini, ia bersikap secara terberi: bahwa ia, atau tulisan-tulisannya ini, berada di luar "algoritma".
Segi ini memang menarik, dan rupanya penting. Buku ini pun memberi pengalaman membaca yang bisa membenarkan bahwa tulisan-tulisan jurnalistik yang berdisiplin bisa memberi kenikmatan lebih dari sekadar "berita" yang diterbitkan secepat kilat. Ada cerita, walau kesucian fakta tetap dijaga. Atau justru disiplin menjaga kesucian fakta itulah yang membuat tulisan jurnalistik bisa punya nilai yang mengendap.
Jurnalisme di Luar Algoritma: Reportase dalam Catatan Perjalanan
Penulis:
Arif Zulkifli
Penerbit:
Tempo Inti Media
Tahun:
2023
Jumlah halaman:
350
Tapi saya tertarik pada segi lain buku ini. Segi susastranya. Saya berani bilang, kebanyakan tulisan di buku ini mengandung kepekaan penyair. Chairil Anwar dalam suratnya kepada H.B. Jassin (8 Maret 1944) menyatakan bahwa penyair "mengorek kata hingga ke intinya". Sedangkan seorang jurnalis diharapkan "mengorek fakta hingga ke intinya". Keduanya dapat kita jumpai dalam buku ini. Cobalah baca petikan ini:
Hutan-hutan itu tak terpermanai nilainya. Kayu besi, gaharu, dan merbau tumbuh silang-menyilang. Daunnya mumbul seperti kapas hijau yang disusun bertumpuk-tumpuk. Dini hari, kabut turun. Mega-mega menyelinap di lekuk-lekuk atap rimba. Sejauh pengamatan mata telanjang, tak ada kerusakan lingkungan di kawasan itu ("Suatu Malam di Napan Yaur", halaman 157).
Ada keterampilan dalam diksi, seperti penggunaan kata "terpermanai" (sebuah terjemahan Goenawan Mohamad untuk kata bahasa Inggris, "immense"), "merbau", "mumbul", "mega-mega". Ada simile: "seperti kapas hijau...". Ada metafora: "atap rimba". Ada struktur naratif yang mengesankan kisah mengulir ke simpulan kecil hanya di satu paragraf itu. Maka jelas belaka: ada kesadaran menggapai sesuatu yang melampaui akurasi dalam berbahasa. Sesuatu yang secara gampangan disebut "keindahan".
Baca misalnya petikan lain:
Di kota ini, saya hanyalah liliput: seorang pendatang di antara pencakar langit, jembatan raksasa, beton, dan gunung gemunung ("Gergasi di Pusat Dunia", halaman 183).
Bicara susastra, saya hendak melepaskannya dari kata "sastra" dan "sastrawi". Arif merasa tak nyaman dengan istilah "jurnalisme sastrawi". Sependek yang saya tangkap dari sebuah diskusi dengan Arif, ada keliru kaprah dalam istilah ini. Dalam praktik, istilah ini seolah-olah memberi ruang lebih besar pada majas, gaya, dan licentia poetica penulis dibanding pada kesetiaan terhadap fakta. Gaya bahasa hanya demi gaya itu sendiri bukan lagi untuk mencapai daya ungkap.
Watak susastra adalah berhasrat pada capaian bahasa dan capaian bentuk. Kesadaran akan susastra ini tampak pada Arif di pengantar:
Deskripsi bisa diperkaya dengan metafora dan alegori. Tapi hal itu dilakukan bukan untuk mengaburkan fakta dan menjauhkan pembaca dari cerita.... Kedua majas hendaknya dipakai sebagai “alat ucap” untuk mendeskripsikan obyek hingga serat dan teksturnya setelah noun, adjektiva, dan adverbia, sekadar contoh, tak lagi cukup untuk mendeskripsikan persoalan (halaman xvi).
Capaian bentuk tampak dalam tulisan-tulisan yang disajikan berbentuk surat: "Surat untuk Aixin Jue Luo" (halaman 195) dan "Surat Buat N" (halaman 289). Tak hanya menjadikan sudut pandang tulisan lebih personal, bentuk tersebut juga menjadi perluasan disiplin jurnalistik ke ruang kemungkinan naratif dalam menemukan daya ucap paling tepat dan kuat.
Dalam hal capaian bahasa, terasa lirisisme sebagai hasrat di buku ini. Banyak kamus menerjemahkan "liris" ("lyrical") sebagai, kurang-lebih, upaya mengungkapkan pikiran dan perasaan personal secara indah. Kata "indah" kini memancing perdebatan. Tapi saya memandang "indah" dalam teks liris mengandung unsur perhitungan bunyi, di samping unsur makna.
Bunyi kata yang laras lewat rancang rima (mensyaratkan kekayaan diksi dan kelenturan majas), dan kalau perlu metrum, mengimbau rasa dan sekaligus menguatkan makna. Setelah beres dalam urusan mengorek fakta dalam pelancongan ke Stokholm, Wales, Cambridge, Aceh, Papua, Pulau Buru, San Francisco, Iowa, hingga rumah Goenawan Mohamad di Jakarta yang akan disita, rangkaian kata seperti berikut ini terasa nikmat:
Malam itu, hutan telah berubah menjadi siluet raksasa. Bulan lima watt saja. Di langit, ribuan bintang lebih berkuasa.
Lirisisme demikian terasa perlu, sebuah oasis, dalam dunia hiruk-pikuk serba cepat penuh kikuk dan teruk kini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo