Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran lukisan di Museum Tumurun, Solo.
Lukisan cantik yang dikenal sebagai Mooi Indie.
Sebanyak 30 lukisan dipamerkan.
MAZHAB seni lukis Mooi Indie semarak pada akhir abad ke-19 sampai sekitar 1950. Mazhab ini menganut gaya naturalis dan realis dengan tema pemandangan alam Nusantara yang molek dan subur. Karena itu, yang muncul dalam lukisan adalah potret keindahan yang membentang di segala penjuru. Pencipta utama seni mazhab ini adalah pelukis Belanda (dan Eropa), pengikut gaya Den Haag yang mewarisi semangat mazhab Barbizon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kurun itu, lukisan Mooi Indie (Indonesia Molek) dilahirkan dengan antusias dan produktif. Antusiasme ini adalah keniscayaan karena para pelukis memang sangat terpesona oleh keindahan kontur dan profil Nusantara yang tak pernah mereka temukan di negeri sendiri. Istilah Rudolf Bonnet: artistieke verwondering (ketakjuban artistik). Keterpesonaan yang menenggelamkan seniman ke ekstase tersebut membuahkan lukisan yang memikat rasa dan mata sehingga punya pasar yang bagus. Pembelinya adalah para pendatang dari Eropa yang bekerja di semua bidang, dari ambtenaren, komandan serdadu, sampai pengusaha di perkotaan dan perkebunan. Kemolekan Nusantara dalam lukisan ditangkap sebagai representasi tanah dan langit yang hendak mereka cintai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan GP Adolfs berjudul Menjelang Upacara di Pura, Bali. Dok. Agus Darmawan T
Namun tidak berarti mazhab ini lantas terjunjung sebagai mazhab seni yang mujur. Justru dalam sejarah seni lukis Indonesia—yang kadang congkak dan kurang jujur—Mooi Indie terposisikan sebagai mazhab tersial. Bayangkan, selama lebih dari 90 tahun, mazhab seni ini dianiaya dengan berbagai kritik oleh para pengamat seni di Tanah Air. Bahkan juga oleh sebagian praktisi seni lukis.
Aniaya atas Mooi Indie adalah siksa seni yang unik dan tiada duanya di dunia. Bayangkan, terhadap Mooi Indie, sejarah seni Indonesia selalu berusaha membunuhnya. Padahal sejarah budaya di negeri mana pun selalu menotasi bahwa “aliran seni baru” hanya menyalip “aliran seni lama”, dan meletakkan “aliran seni lampau” itu sebagai bagian dari perjalanan yang (bahkan) boleh berulang.
Sementara itu, jelas diketahui percobaan pembunuhan tersebut diberangkatkan dari berbagai motif. Misalnya politik kebangsaan, yang menganggap Mooi Indie sebagai warisan kolonial; kemurnian penciptaan seni, yang menganggap Mooi Indie digubah dengan spirit sepele: naluri komersial; serta invensi dan inovasi, yang mendepak Mooi Indie sebagai gaya seni yang kuno dan klasikal.
Mari kita mengingat bagaimana tokoh seni lukis modern Indonesia, Sudjojono, pada 1937 mengecam mazhab Mooi Indie :
“.... Lukisan-lukisan tadi tidak lain hanya mengandung arti Mooi Indie bagi si turis yang telah jemu melihat skyscrapers, dan mencari hawa segar serta pemandangan baru.... Karya ini jelas mengembuskan isi pikiran pelukisnya yang hanya bergambar mata uang.... Andai ada pelukis yang keluar dari jalur Mooi Indie, penjual lukisan akan menolak dengan berkata: Dat is niet de toeristenbof de gepensioneerde Hollander, Meneer! (Ini bukan untuk turis atau pensiunan Belanda, Tuan!). Dan para pelukis itu menurut.”
Memasuki zaman Jepang, para seniman eks anggota Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia yang terlibat dalam Keimin Bunka Shidōsho juga berusaha menyingkirkan jejak-jejak Mooi Indie dengan terus menggemakan jiwo ketok (jiwa tampak). Mooi Indie dianggap tidak berjiwa lantaran dinilai melayani selera banyak orang saja.
Ketika akademi seni berdiri di Bandung dan Yogyakarta, Mooi Indie juga menjadi “aliran terlarang”. Srihadi Soedarsono, tokoh seni Institut Teknologi Bandung yang sangat menyukai lukisan pemandangan, mengatakan Mooi Indie boleh dipahami, tapi disarankan tidak diikuti, untuk kemudian digulung oleh modernisme Eropa Barat dengan kelindan kubisme dan semacamnya. SAdapun di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, Mooi Indie tak pernah diapresiasi lantaran dianggap ketinggalan zaman. Sudarmaji, dosen kritik seni di kampus itu, menyebut para pelukis Mooi Indie sebagai seniman kelas dua atau kelas tiga.
Seni kontemporer Indonesia, yang konon juga mengadopsi prinsip-prinsip pascamodernisme, diduga akan menghargai Mooi Indie. Tapi ternyata tidak juga. Pada 2000-an, tak sedikit seni instalasi yang melecehkan Mooi Indie. Di antaranya menggambarkan perahu yang sedang melarung lukisan Mooi Indie ke tengah samudra karena sudah mati-tua!
Meski demikian, nadi Mooi Indie terus berdenyut. Para pelukis penganut mazhab ini diam-diam terus berkarya, walau tak mendapat tempat dalam perhelatan seni rupa utama. Peminat seni lukis aliran ini juga tumbuh diam-diam, bersamaan dengan munculnya para penyimpan seni kontemporer yang selalu heboh.
Lukisan Raden Saleh berjudul Kapal Inggris dalam Gelombang, 1840. Dok. Agus Darmawan T
Di tengah kesenyapan denyut nadi itu, mendadak tergelar pameran “Rayuan Pulau Kelapa” (meminjam judul lagu Ismail Marzuki) di Museum Tumurun, Solo, Jawa Tengah. Yang dipajang adalah lukisan Mooi Indie koleksi pemilik museum tersebut, Iwan Kurniawan Lukminto. Pameran yang dikuratori Hendra Himawan ini berlangsung sampai 8 April 2023.
Pameran ini memikat. Sebab, yang dipertontonkan adalah lukisan Mooi Indie pilihan karya para seniman yang telah diseleksi secara alami oleh sejarah. Seperti Frans Lebret, Van der Does, Leo Eland, J.D. van Herwerden, Willem Dooijewaard, Ernest Dezentje, G.P. Adolfs, C.L. Dake Jr., dan Bleckmann. Sejumlah pelukis yang jelas tenggelam dalam ekstase artistieke verwondering. Juga Theo Meier dan Arie Smit, pengusung tema pemandangan yang selalu bergembira tatkala “diganggu” modernisme.
Pameran juga menampilkan karya pelukis Indonesia yang dari sononya memang berjiwa Mooi Indie, seperti Raden Saleh, Abdullah Suriosubroto, Wakidi, Basoeki Abdullah, Henk Ngantung, dan Dullah. Juga Sudjojono sang musuh sejati Mooi Indie, yang diwakili lukisan bagus sekali, Pura di Bali (1979). Ditampilkan juga karya Sudjojono tahun 1937 yang menggambarkan tafril (Belanda: tafereel, panorama jarak dekat) Pemandangan di Belakang Javasche Bank, Batavia, lukisan yang 43 tahun disembunyikan dan baru terus terang dimunculkan pada 1980.
Pada satu dinding, tergantung lukisan tafril Maurits van den Kerkhoff, Desa di Jawa (1872). Lukisan berukuran 40 x 30 sentimeter ini mengajari para seniman sekarang bagaimana menangkap atmosfer alam perdesaan di negeri tropis dengan segenap mata dan rasa. Juga bagaimana menggarap rinci flora secara luar biasa dengan keterampilan tangan. Detail yang tergarap bisa dibandingkan dengan karya maestro lukisan mini abad ke-18, Canaletto, yang gemar melukis selisik Venesia. Muncul juga karya Leo Eland, pelukis yang merekam 210 desa dalam 6.000 lukisan. Reputasi tamasya yang belum ada duanya sampai saat ini di Indonesia!
Pameran bertajuk Rayuan Pulau Kelapa di Museum Tumurun, Solo, Jawa Tengah, 7 Maret 2023. Dok. Agus Darmawan T
Tak jauh dari situ, kurator Hendra Himawan menghamparkan wall text ucapan pelukis H.M. Lange pada 1855: “Orang Belanda bermartabat manakah sekarang ini yang masih belum menaruh perhatian kepada wilayah kita yang terbentang luas di Samudera Hindia Timur”. Jika Lange menyebut Nusantara sebagai “wilayah kita”, mengapa bangsa Indonesia sendiri tidak mau peduli terhadap Mooi Indie-nya?
Pada dinding lain terpapar kutipan dari Rob Niewenhuys (1988): "Elke tijd heeft zijn eigen tempo doeloe", setiap waktu memiliki tempo doeloe sendiri. Maknanya tentu, yang disombongkan sebagai seni tempo sekarang, pada saatnya akan menjadi tempo doeloe juga. Meski teraniaya 90 tahun, Mooi Indie tampil segar di Tumurun. Sayangnya, pameran ini hanya menampilkan 30-an lukisan. Semestinya seratus.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo