DESA Plaeng, Kecamatan Jatinom, Klaten (Jawa Tengah) hidup
kembali setelah 3 pekan lamanya bagaikan desa mati dengan
burung-burung gagak hitam beterbangan mengincar bangkai hewan.
Penduduk desa yang diperkirakan berjumlah 250 orang itu -
kembali lagi ke desanya dari tempat-tempat pengungsian yang
berpencaran, berpuluh kilometer jauhnya. Mereka meninggalkan
desa untuk menghindari "wabah" yang menurut anggapan mereka
merupakan penyakit yang ditebarkan danyang (mahluk halus) yang
mengganas karena manusia merusak tempat tinggalnya.
Exodus gaya desa itu terjadi setelah tahlilan yang
diselenggarakan Nyonya Somopawiro untuk memperingati hari ke-40
meninggalnya suaminya, akhir Agustus yang lalu. Kala santri
sedang khusuk mengaji, tiba-tiba Ciptosuarjo seorang tamu
tahlilan, menggeliat. Perutnya terasa melilit. Tubuhnya panas.
Disusul kejang-kejang. Muntah dan, langsung meninggal.
Suasana menjadi tak keruan, setelah 3 orang lainnya mengalami
gejala yang sama dan meninggal seketika. Keesokan harinya
beberapa orang lagi meninggal dengan tanda-tanda serangan yang
serupa. Ada penderita yang dilarikan ke rumah sakit Klaten, tapi
meninggal juga. Seluruhnya 12 orang mati.
"Mereka mati karena keracunan DDT. Ada 17 jenis makanan yang
tercemar DDT dari 21 jenis yang menjadi hidangan dan dimakan
para tamu dalam upacara tahlilan itu," kata dr. S. Cunawan,
staf yang mengurusi bagian pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular di Kanwil Departemen Kesehatan Jawa Tengah di Semarang.
Dia mengemukakan kesimpulan tersebut setelah contoh makanan
dalam tahlilan itu diperiksa di laboratorium.
Pihak kepolisian berkesimpulan peristiwa keracunan ini terjadi
karena keteledoran. Tukang masak salah comot. Dia mengambil dan
menaburkan DDT yang disangkanya garam. Karena letak kedua bahan
yang tujuan kegunaannya berbeda itu berdekatan.
Selain merenggut selusin nyawa manusia, tahlilan yang tercemar
itu juga mengakibatkan ternak yang memakan sisa makanan ikut
terbunuh. Bangkai-bangkai itulah yang jadi rebutan burung-burung
gagak. Yang masih tersisa dikumpulkan Nugroho, dokter yang
berdinas di Puslesmas Jatinom, yang datang untuk mengatasi
keadaan. Bangkai tadi dimasukkannya ke lubang, dibakar dan
ditimbun.
Tidak semua tamu mati dalam upacara peringatan 40 hari
meninggalnya seorang kerabat di desa itu. "Karena daya tahan
berbeda-beda," Gunawan menjelaskan.
Tetapi orang desa yang sebagian besar hidup sebagai buruh di
perkebunan tebu itu tidak percaya pada omongan dokter tadi.
"Mengapa yang tidak ikut makan juga mati?" tanya mereka.
Mereka yakin penderitaan itu turun karena mahluk halus penunggu
jembatan di desa itu marah. Karena rumah 'mereka" dibongkar.
Bukan hanya penduduk Desa Plaeng yang punya kepercayaan seperti
itu. Penduduk - desa lain yang bertetangga juga berpikiran
begitu. Malam-malam mereka mendekati Desa Plaeng dan
mengitarinya dengan obor di tangan. Untuk melokalisasi kemarahan
mahluk halus itu sampai di perbatasan desa itu saja. Di Desa
Plaeng memang waktu itu sedang dibangun sebuah jembatan dengan
merobohkan jembatan lama.
Mendengar kepercayaan penduduk desa itu, kontan Lurah, Camat,
Dansek dan para pejabat lain jadi curiga. Jangan-jangan ada
oknum yang sengaja mau menghambat pembangunan.
UNTUK memanggil para pengungsi tadi kembali ke desanya,
dipanggil Cah Cokroraharjo, 65 tahun, yang menjadi ketua RT di
Desa Plaeng. Atas anjuan Cokro, penduduk yang cemas pada mahluk
halus dan takut dicurigai menghambat pembangunan, akhirnya mau
kembali. Tapi dengan syarat. "Supaya jembatan pembantu ditutup,"
kata Cokroraharjo.
Sebuah jembatan pembantu memang sengaja dibuatkan dekat jembatan
yang sedang dibangun baru itu, supaya memudahkan kendaraan roda
dua lewat.
Tetapi mengapa jembatan darurat itu harus dibongkar sebagai
syarat? "Beberapa penduduk percaya, para danyang tidaklah senang
jika tempat itu digunakan sebagai jembatan pembantu," cerita
Cokro dari Desa Plaeng itu.
Permintaan penduduk desa itu akhirnya disetujui. "Kalau yang
dikehendaki pnduduk hanya meminta supaya jembatan pembantu yang
terbuat dari bambu yang ditutup, itu gampang. Asal tidak meminta
jembatan yang sedang dibangun itu," kata Cokro. Ia rupanya
bertindak sebagai perantara antara penduduk dan pejabat
setempat.
Setelah jembatan itu ditutup, barulah penduduk yang mengungsi
berpencar-pencar di berbagai tempat itu, merubung kembali ke
Desa Plaeng. Jembatan yang sedang dibangun itu sekarang harum
nian. Kemenyan dan air mawar ditebarkan penduduk ke situ sebagai
upaya mereka menenteramkan sang danyang. Doa pun tak
henti-hentinya dikirimkan. Dan penduduk yang masih ketakutan itu
baru tidur setelah dinihari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini