Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Exodus Untuk Sebuah Jembatan

12 penduduk desa plaeng, meninggal dunia karena keracunan DDT, akibat keteledoran dari seorang tukang masak, DDT disangka garam. penduduk setempat beranggapan bahwa hal tersebut karena kemarahan danyang.(ksh)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Plaeng, Kecamatan Jatinom, Klaten (Jawa Tengah) hidup kembali setelah 3 pekan lamanya bagaikan desa mati dengan burung-burung gagak hitam beterbangan mengincar bangkai hewan. Penduduk desa yang diperkirakan berjumlah 250 orang itu - kembali lagi ke desanya dari tempat-tempat pengungsian yang berpencaran, berpuluh kilometer jauhnya. Mereka meninggalkan desa untuk menghindari "wabah" yang menurut anggapan mereka merupakan penyakit yang ditebarkan danyang (mahluk halus) yang mengganas karena manusia merusak tempat tinggalnya. Exodus gaya desa itu terjadi setelah tahlilan yang diselenggarakan Nyonya Somopawiro untuk memperingati hari ke-40 meninggalnya suaminya, akhir Agustus yang lalu. Kala santri sedang khusuk mengaji, tiba-tiba Ciptosuarjo seorang tamu tahlilan, menggeliat. Perutnya terasa melilit. Tubuhnya panas. Disusul kejang-kejang. Muntah dan, langsung meninggal. Suasana menjadi tak keruan, setelah 3 orang lainnya mengalami gejala yang sama dan meninggal seketika. Keesokan harinya beberapa orang lagi meninggal dengan tanda-tanda serangan yang serupa. Ada penderita yang dilarikan ke rumah sakit Klaten, tapi meninggal juga. Seluruhnya 12 orang mati. "Mereka mati karena keracunan DDT. Ada 17 jenis makanan yang tercemar DDT dari 21 jenis yang menjadi hidangan dan dimakan para tamu dalam upacara tahlilan itu," kata dr. S. Cunawan, staf yang mengurusi bagian pencegahan dan pemberantasan penyakit menular di Kanwil Departemen Kesehatan Jawa Tengah di Semarang. Dia mengemukakan kesimpulan tersebut setelah contoh makanan dalam tahlilan itu diperiksa di laboratorium. Pihak kepolisian berkesimpulan peristiwa keracunan ini terjadi karena keteledoran. Tukang masak salah comot. Dia mengambil dan menaburkan DDT yang disangkanya garam. Karena letak kedua bahan yang tujuan kegunaannya berbeda itu berdekatan. Selain merenggut selusin nyawa manusia, tahlilan yang tercemar itu juga mengakibatkan ternak yang memakan sisa makanan ikut terbunuh. Bangkai-bangkai itulah yang jadi rebutan burung-burung gagak. Yang masih tersisa dikumpulkan Nugroho, dokter yang berdinas di Puslesmas Jatinom, yang datang untuk mengatasi keadaan. Bangkai tadi dimasukkannya ke lubang, dibakar dan ditimbun. Tidak semua tamu mati dalam upacara peringatan 40 hari meninggalnya seorang kerabat di desa itu. "Karena daya tahan berbeda-beda," Gunawan menjelaskan. Tetapi orang desa yang sebagian besar hidup sebagai buruh di perkebunan tebu itu tidak percaya pada omongan dokter tadi. "Mengapa yang tidak ikut makan juga mati?" tanya mereka. Mereka yakin penderitaan itu turun karena mahluk halus penunggu jembatan di desa itu marah. Karena rumah 'mereka" dibongkar. Bukan hanya penduduk Desa Plaeng yang punya kepercayaan seperti itu. Penduduk - desa lain yang bertetangga juga berpikiran begitu. Malam-malam mereka mendekati Desa Plaeng dan mengitarinya dengan obor di tangan. Untuk melokalisasi kemarahan mahluk halus itu sampai di perbatasan desa itu saja. Di Desa Plaeng memang waktu itu sedang dibangun sebuah jembatan dengan merobohkan jembatan lama. Mendengar kepercayaan penduduk desa itu, kontan Lurah, Camat, Dansek dan para pejabat lain jadi curiga. Jangan-jangan ada oknum yang sengaja mau menghambat pembangunan. UNTUK memanggil para pengungsi tadi kembali ke desanya, dipanggil Cah Cokroraharjo, 65 tahun, yang menjadi ketua RT di Desa Plaeng. Atas anjuan Cokro, penduduk yang cemas pada mahluk halus dan takut dicurigai menghambat pembangunan, akhirnya mau kembali. Tapi dengan syarat. "Supaya jembatan pembantu ditutup," kata Cokroraharjo. Sebuah jembatan pembantu memang sengaja dibuatkan dekat jembatan yang sedang dibangun baru itu, supaya memudahkan kendaraan roda dua lewat. Tetapi mengapa jembatan darurat itu harus dibongkar sebagai syarat? "Beberapa penduduk percaya, para danyang tidaklah senang jika tempat itu digunakan sebagai jembatan pembantu," cerita Cokro dari Desa Plaeng itu. Permintaan penduduk desa itu akhirnya disetujui. "Kalau yang dikehendaki pnduduk hanya meminta supaya jembatan pembantu yang terbuat dari bambu yang ditutup, itu gampang. Asal tidak meminta jembatan yang sedang dibangun itu," kata Cokro. Ia rupanya bertindak sebagai perantara antara penduduk dan pejabat setempat. Setelah jembatan itu ditutup, barulah penduduk yang mengungsi berpencar-pencar di berbagai tempat itu, merubung kembali ke Desa Plaeng. Jembatan yang sedang dibangun itu sekarang harum nian. Kemenyan dan air mawar ditebarkan penduduk ke situ sebagai upaya mereka menenteramkan sang danyang. Doa pun tak henti-hentinya dikirimkan. Dan penduduk yang masih ketakutan itu baru tidur setelah dinihari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus