Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sunat perempuan sering dianggap sebagai bagian dari tradisi atau ajaran tertentu. Di Indonesia, praktik sunat perempuan masih dilakukan dengan berbagai metode. Berdasarkan data UNICEF tahun 2015, Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktik sunat perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, di balik praktik ini ada berbagai risiko kesehatan yang perlu dipahami. Sunat perempuan dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental dalam jangka pendek maupun panjang, baik yang dilakukan secara simbolis maupun dengan pemotongan jaringan, dari infeksi hingga komplikasi saat persalinan. Praktik ini bukan hanya soal budaya tetapi juga menyangkut hak kesehatan dan keselamatan perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa sunat perempuan merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap perempuan dan anak. Organisasi ini menegaskan Female Genital Mutilation (FGM) atau mutilasi genital perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan sama sekali dan justru menimbulkan berbagai dampak negatif.
Prosedur ini merusak jaringan genital yang sehat serta mengganggu fungsi alami tubuh. Semakin ekstrem bentuk sunat yang dilakukan, semakin tinggi pula risiko komplikasi kesehatan yang dapat terjadi.
Berdasarkan penelitian Komnas Perempuan dan PSKK UGM pada 2017, mayoritas anak perempuan yang menjalani sunat berusia 1–5 bulan (72,4 persen). Sementara itu, data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 mencatat 21,3 persen anak perempuan mengalami sunat yang masuk dalam kategori FGM menurut WHO, yaitu melibatkan pemotongan atau pelukaan, sedangkan 33,7 persen lainnya hanya menjalani prosedur simbolis.
Risiko kesehatan sunat perempuan
Komplikasi medis
Sunat perempuan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti pendarahan hebat, infeksi kronis, pembengkakan, pembentukan jaringan parut (keloid), gangguan buang air kecil, hingga risiko penularan HIV. Dalam beberapa kasus, prosedur ini bahkan bisa berakibat fatal.
Trauma dan gangguan psikologis
Tanpa anestesi, prosedur ini bisa menyebabkan rasa sakit luar biasa yang membekas dalam ingatan anak perempuan yang mengalaminya. Dalam jangka panjang, banyak korban yang mengalami trauma psikologis, gangguan kecemasan, stres pascatrauma (PTSD), hingga depresi.
Gangguan fungsi seksual
Sunat perempuan berisiko mengganggu fungsi seksual karena dapat mengurangi sensitivitas organ genital. Banyak perempuan yang mengalami nyeri saat berhubungan seksual, kesulitan dalam penetrasi, dan berkurangnya produksi pelumas alami sehingga mengurangi kepuasan seksual.
Komplikasi saat persalinan
Bagi perempuan yang telah menjalani sunat, persalinan bisa menjadi lebih sulit dan berisiko tinggi. Sunat perempuan dikaitkan dengan meningkatnya kemungkinan operasi caesar, pendarahan pascamelahirkan, serta risiko jaringan robek selama persalinan.
Melihat berbagai risiko di atas, sunat perempuan bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga praktik yang dapat membahayakan kesehatan serta kesejahteraan perempuan dalam jangka panjang.
Pilihan Editor: Bahaya Sunat Perempuan yang Resmi Dilarang Pemerintah