Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Konser piano sumbat

Slamet abdul syukur menemukan teknik memodifikasi piano bersuara aneh. komposisi terbaru ini diciptakan untuk pagelaran pesta pianissimo di surabaya. didukung 4 guru musik dan 72 pianis anak-anak.

15 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG lelaki bercambang duduk di depan sebuah piano. Kaca matanya model John Lenon, pakaiannya serba hitam. Ketika ia memijit-mijit bilah piano, bukan "tang-ting-tong" yang terdengar tapi suara-suara aneh. Ada suara angin melintas dan bergesekan dengan dedaunan, ada suara beduk mengentak, ada denting jam20 dinding, ada suara gamelan Jawa seperti siter, gambang, atau gender. Selama tiga menit Slamet Abdul Syukur, musisi nyentrik itu, "bermain-main" dengan irama yang meliuk-liuk. Itulah komposisi Slamet yang terbaru, diciptakan selama sebulan tapi durasinya hanya tiga menit. Judulnya NZ. Bisa berarti "napas zaman", tapi juga bisa ditafsirkan lain, yang menyiratkan konsep kesenian sang komponis, yaitu bahwa segala sesuatu bila disajikan secara berbeda akan menimbulkan makna yang berbeda pula, sebagaimana bentuk huruf N dan Z yang bunyinya berubah dan berbeda hanya karena letaknya diubah. Komposisi ini memang sengaja diciptakan untuk pergelaran Pesta Pianissimo, Jumat malam pekan lalu, "dan saya persembahkan kepada Mas Sorento," kata Slamet. Sorento Winarto yang dimaksud adalah pimpinan Wisma Musik Melodia, Surabaya, yang menyediakan fasilitas secara gratis untuk pergelaran ini berupa pentas, akustik, dan lima buah piano. Pergelaran dengan biaya Rp 5 juta ini memang tidak dimaksud untuk menampilkan musik sebagai suatu ekspresi, melainkan sebagai malam apresiasi musik kontemporer. Cukup lama Slamet menemukan teknik memodifikasi piano bersuara aneh itu. Misalnya, menyumbatkan stip atau karet penghapus dengan ukuran tertentu pada senar piano. Dengan cara ini, instrumen itu akan menghasilkan suara kentongan atau bonang pecah. Modifikasi lain, dengan menyekrup senar pada jarak tertentu. Cara ini akan menghasilkan suara metal atau kayu. Karya Slamet lainnya berjudul aneh, Cucuku Cu. Lebih aneh lagi, komposisi yang dibikin selama dua tahun ini hanya berdurasi satu menit lebih dua detik. Ditulis untuk gitaris Martin Kaaj yang manggung dalam Bengkel Komponis Internasional di Amsterdam (1990), kebetulan ketika itu lahirlah cucu Slamet yang pertama. Maka, jadilah Cucuku Cu. Ini sebuah polifoni, yaitu sejumlah nada yang saling melengkapi, terdiri dari lima unsur nada yang ditata dan dimainkan sedemikian rupa sehingga terdengar seperti suara orang bercakap-cakap, layaknya sebuah polifoni. "Percakapan" itu bisa serempak atau bersahutan. Iramanya cepat, menciptakan suasana ramai, bergelombang. Slamet lahir di Surabaya, 56 tahun lalu, pernah belajar di Konservatori Musik Nasional, Paris, di tahun 1960-an. Hampir 10 tahun sampai 1976 ia tinggal di Paris dan sering menggelar konser di berbagai kota di Eropa. Sejak usia 14 tahun ia belajar mencipta, dan kini karyanya tak kurang dari 100 komposisi, antara lain Paranthese I-V. Bekas pengajar di Institut Kesenian Jakarta ini pernah mendapat julukan si Minimax dari sebuah kampus di Freiburg, Jerman. Maksudnya: komponis yang mampu mengolah nada minimal secara maksimal. "Kalau ada orang memberi saya sebuah batu untuk diolah jadi musik, akan saya ciptakan musik dari batu itu," kata Slamet mengenai konsep musiknya. Ini adalah konser Slamet yang pertama di Indonesia sejak 1981. Ada enam nomor yang disajikan: karya Slamet, Alvin Witarsa, dan komponis Amerika, Steven Reich. Semuanya komposisi kontemporer, dengan selipan satu nomor jazz. Malam itu Slamet didukung oleh empat orang guru piano dan 72 pianis anak-anak dari beberapa kursus musik di Surabaya dan Malang. Bagaimana permainan para pianis cilik itu ? Selama tiga bulan latihan mereka sulit memahami musik kontemporer. "Tapi lama-kelamaan mereka asyik juga," kata Errol Jonathan, ketua panitia Pesta Pianissimo. Dan menurut pianis Vincentia R. Sutanto, mereka belum bisa dinilai, meski cukup potensial. "Tapi permainan mereka dalam konser ini positif," kata pianis itu. Ketika Witarsa yang baru berumur 14 tahun itu tampil, banyak penonton terkejut. Pianis cilik asuhan Slamet ini membawakan komposisi ciptaannya sendiri, Pada Steve Reich. Nada-nadanya merupakan "gumpalan suara" yang dihasilkan dengan teknik cluster, yaitu dengan memukul sekaligus beberapa bilah piano dengan telapak tangan atau lengan. Komposisi ini berirama cepat dan kaya variasi, dinamis dan menggugah. Dengan ritme yang sambung-menyambung, disebut ostinato, dan berselangseling, iramanya terasa mengentak-entak, seolah-olah Witarsa hendak "menggugat dan mengoreksi" Reich. Menurut Slamet, "teknik ini tak pernah dipakai dalam musik klasik." Dua nomor karya Steve Reich, Music for Pieces of Wood dan Clapping Music, agaknya sengaja disuguhkan kepada 300 penonton yang tak semuanya peminat musik serius. Suasana riangria mencuat, terutama pada nomor "musik keplok" itu. Pola ritme komposisi ini terdiri dari 12 ketukan yang diperagakan dengan tepuk tangan oleh dua kelompok pemusik. Satu lagi karya Reich ditampilkan, Piano Phase. Polanya sederhana, yaitu paduan antara tiga dan dua nada. Ketika keduanya dipertemukan, muncullah grafik nada beraneka ragam. Kadang seperti orkestrasi sitar, kadang muncul suasana romantis. "Menikmati komposisi ini orang bisa mabuk," kata Slamet berseloroh. Penonton tertawa. "Mendengarkan komposisi ini kita bisa serius, bisa pula santai sambil ngobrol. Tapi jangan coba-coba mendengarkannya ketika bangun pagi. Bisa nggak bangun-bangun," ujarnya lagi. Budiman S. Hartoyo dan Kelik M. Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus