Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM bulan lalu, Samuel Ray memilih jalan hidup yang ia yakini sebagai pilihan tepat. Pria 34 tahun itu memutuskan berhenti bekerja di usia yang masih produktif. Salah satu alasan Samuel pensiun dini dari perusahaan lokapasar tempatnya bekerja adalah ia merasa fondasi finansialnya sudah cukup mapan. “Saya pamit meninggalkan panggung ini,” kata Samuel saat berbincang dengan Tempo di rumahnya di Rempoa, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu, 2 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan pensiun dini juga merupakan bagian dari tujuan hidup Samuel sejak ia dan istrinya, Claudya Abednego, menerapkan konsep frugal living, yakni gaya hidup hemat dalam mengalokasikan dana, dengan kesadaran penuh, untuk mencapai tujuan keuangan yang jelas di masa depan. Bukan pelit atau ingin cepat kaya raya, Samuel dan Claudya menjalani gaya hidup itu sebagai ikhtiar untuk pelan-pelan mencapai kebebasan finansial, memiliki tabungan yang cukup, dan tak punya tanggungan keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak berkarier sebagai pekerja kantoran pada 2011, Samuel menjalani gaya hidup frugal living. Hanya, saat itu gaya hidup ini belum begitu populer. Kini, setelah dia pensiun dini, boleh dibilang ritme hidupnya lebih santai. Ia bersama istrinya mengisi hari-hari dengan mengasuh siaran YouTube bertajuk “Samuel & Claudya” yang membahas frugal living dan hal-hal yang berhubungan dengan gaya hidup hemat tersebut. Claudya masih bekerja di sebuah perusahaan, tapi tak harus berangkat ke kantor alias work from home.
Sebetulnya Samuel dan Claudya sudah terbiasa hidup hemat sejak masih remaja. Keduanya tak berasal dari keluarga berada. Orang tua Samuel hanya punya bisnis kecil-kecilan. Praktis, ia harus bekerja ketika kuliah. Adapun Claudya, 34 tahun, menjadi guru les sejak duduk di sekolah menengah atas lantaran orang tuanya sudah tidak bekerja. Kedua orang tua Claudya pun tidak punya tabungan.
Setamat SMA, Claudya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke Jepang. Saat di Negeri Sakura itulah dia berjumpa dengan Samuel, yang satu kampus dengannya. Untuk membiayai orang tua dan adik-adiknya di Indonesia, Claudya saat itu juga bekerja paruh waktu. “Ya mau tidak mau harus hidup hemat,” tutur Claudya.
Pulang ke Indonesia, Claudya memulai karier sebagai pekerja kantoran. Berpijak dari pengalaman orang tuanya yang tidak mempunyai fondasi finansial, ia pun terus menjalani gaya hidup hemat sambil meniti karier. Pelan-pelan Claudya menabung untuk melunasi utang orang tuanya. Sebagian gaji bulanan juga ia sisihkan untuk keperluan lain.
Ihwal gaya hidup, Claudya berbeda dengan teman-temannya di kantor. Setiap hari dia membawa bekal. Hal yang sama dilakukan Samuel. Mereka jarang singgah di kantin kantor atau ikut dengan rekan-rekan kerja ke restoran untuk makan siang.
Karier Samuel dan Claudya perlahan menanjak. Mereka menduduki posisi manajer di perusahaan masing-masing sebelum berusia 30 tahun. Meski begitu, gaya hidup keduanya tidak berubah. Meski memiliki gaji bulanan sebagai manajer, mereka tidak konsumtif. Claudya dan Samuel juga membiayai pernikahan mereka tanpa bantuan siapa pun. “Kami berdua sudah sepakat dari dulu pas mau menikah,” ucap Claudya. Kini mereka dikaruniai satu anak.
Untuk mengalokasikan uang bulanan, Samuel dan Claudya rutin membuat pembukuan. Mereka memantau secara ketat dan detail setiap pengeluaran serta peruntukannya. Claudya memainkan peran penting dalam pengaturan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari. Dalam satu bulan, mereka hanya mengeluarkan Rp 2,5 juta untuk keperluan makan hingga susu buat anak. “Itu angka yang tidak berubah, kami masih bisa makan enak, masih bisa makan daging,” kata Samuel. “Setiap hari kami masak sendiri.”
Dari gaji bulanan selama menjadi pekerja kantoran, keduanya menyisihkan Rp 5 juta untuk orang tua mereka. Kemudian Rp 3,5 juta dialokasikan untuk biaya penitipan anak atau day care. Biaya listrik dan Internet mereka sebesar Rp 1,5 juta. Angka yang sama mereka alokasikan untuk hiburan, seperti jalan-jalan di akhir pekan hingga mampir di kafe untuk sekadar melepas kepenatan. Adapun untuk cicilan mobil, mereka menganggarkan Rp 4,5 juta. Mereka telah melunasi cicilan rumah yang sebelumnya membutuhkan Rp 10 juta setiap bulan.
Pegiat Frugal Living, Samuel Ray dan Claudya Abednego di kediamannya, Tangerang Selatan, Banten, 2 September 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Selain membukukan pengeluaran untuk keperluan bulanan, Samuel dan Claudya mencatat kebutuhan dalam periode satu tahun, dari asuransi kesehatan, peremajaan kendaraan, hingga uang sekolah anak. “Bahkan tahun demi tahun kami sudah punya catatan bujetnya,” ujar Samuel.
Kini Samuel merasa lebih lega setelah pensiun dini dengan bekal finansial yang mencukupi. Waktu untuk buah hatinya pun makin bertambah. Dia juga punya waktu luang untuk memproduksi konten di YouTube, berbagi pengalaman tentang pengelolaan keuangan. Samuel mengungkapkan, dia menuai berkah atas apa yang selama ini telah ia tabur: kebebasan. “Itu barang paling mewah yang tidak bisa kita beli dalam hidup,” tuturnya. “Karena waktu tidak ada tokonya.”
•••
GAYA hidup frugal living juga lekat dengan Adrian Maulana Djambek. Aktor dan model yang lahir di Jakarta, 29 Oktober 1977, ini memilih jalan berhemat dalam kesehariannya. Sejak 2019, Adrian menumpang sarana transportasi umum untuk menuju tempat kerjanya di Kawasan Niaga Terpadu Sudirman, Jakarta Selatan. Dari rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, ia menggunakan kereta rel listrik (KRL) dan ojek daring. “Tadinya saya naik MRT (moda raya terpadu), tapi setahun belakangan saya beralih naik KRL dan ojek online,” kata Adrian kepada Tempo, Kamis, 24 Agustus lalu.
Adrian Maulana saat berada di KRL, di Jakarta, 18 Agustus 2023. Dok. Pribadi
Sebelum menggunakan transportasi umum, Adrian menyetir mobil sendiri atau naik taksi. Rata-rata ia menghabiskan waktu sekitar dua jam untuk ke kantor dan dua jam buat pulang ke rumah. Imbasnya, ia cepat merasa lelah dan waktu interaksi bersama anak-istrinya berkurang. Dia kemudian memilih KRL dan ojek daring untuk mobilitasnya. Selepas kerja, ia memesan ojek online menuju Stasiun Palmerah dengan waktu tempuh sekitar 10 menit. Dari Palmerah, ia naik KRL ke Stasiun Jurang Mangu, Bintaro, kemudian menumpang ojek ke rumahnya. Waktu tempuhnya sekitar 20 menit.
Selain memangkas waktu perjalanan, Adrian bisa menghemat pengeluaran. Jika membawa mobil sendiri atau naik taksi, ia harus merogoh kocek sekitar Rp 340 ribu dalam sehari. Itu belum mencakup biaya jalan tol sebesar Rp 16 ribu per perjalanan. Adrian mencatat, dalam sebulan, dia bisa menghabiskan uang hingga Rp 7,5 juta hanya untuk keperluan transportasi. “Kalau naik KRL jauh sekali bedanya, sehari tidak sampai Rp 100 ribu,” ujar pria yang memiliki hobi olahraga angkat beban ini.
Sejak memilih transportasi umum, Adrian juga bisa menjumpai banyak hal yang terjadi di sekitarnya. Setiap hari ia bisa menyaksikan hiruk-pikuk masyarakat urban lewat kendaraan umum, dari para penjual di pinggir jalan hingga orang-orang dengan wajah lelah setelah bekerja seharian.
Saat ini Adrian memakai kendaraan pribadinya hanya untuk keperluan di akhir pekan. Biasanya ia menggunakan mobilnya untuk mengajak orang tua, mertua, anak, dan istrinya berjalan-jalan. “Saya berhemat di beberapa hal untuk menyiapkan hal-hal yang lebih prioritas, seperti dana pendidikan anak dan dana pensiun,” tutur Adrian.
Meski begitu, untuk makanan sehari-hari, Adrian boleh dibilang tidak perhitungan. Pertimbangannya, ia lebih mementingkan nutrisi ketimbang makan sekadar kenyang. Di kantin kantor, Adrian biasa makan gado-gado seharga Rp 17 ribu. Tapi ia juga kadang mengeluarkan uang lebih untuk memilih makanan lain. Misalnya salad seharga Rp 80 ribu. “Saya berusaha memberikan nutrisi terbaik, tidak terlalu hitung-hitungan,” ujarnya.
Bagi Adrian, gaya hidup frugal living memberikan banyak kebaikan. Namun ia menilai banyak orang yang masih salah kaprah terhadap konsep frugal living. Contohnya, ada anggapan bahwa orang-orang yang menempuh gaya hidup tersebut tidak boleh membeli sesuatu dengan jenama ternama dan berkualitas bagus. “Seorang frugalist malah bisa membeli sepatu branded karena umumnya berkualitas baik ketimbang beli sepatu harga murah tapi berkualitas rendah,” katanya.
Gaya hidup sederhana, menurut Adrian, artinya bisa menghargai apa yang sudah ada. “Kaya itu hanya status. Sedangkan sederhana merupakan laku hidup sehari-hari,” ucap pemeran Lukman dalam film Issue dan Miki Rodan dalam sinetron Bukan Impian Semusim ini.
Ary Rizzandi dan Bagus Anindityo juga punya cerita tentang frugal living dan ikhtiar gerakan Financial Independence, Retire Early (FIRE) yang mereka tempuh. Dua karib lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu adalah sosok di balik siniar "OTW.FIRE" yang kerap berbagi mengenai pengelolaan keuangan serta gerakan kemerdekaan finansial dan pensiun dini.
Empat tahun terakhir, Rizza—sapaan Ary Rizzandi—terus meniti jalan menuju FIRE alias kemerdekaan finansial dan pensiun dini. Ikhtiar ini berangkat dari pertanyaan yang kerap mondar-mandir di kepalanya. “Sebagai karyawan, ada satu titik: apakah hidup akan begini terus?” kata Rizza kepada Tempo, Rabu, 6 September lalu.
Bagus Anindityo dan Rizzandi Ary (kanan) dari gerakan Financial Independence, Retire Early (FIRE). Dok. Pribadi
Bagus menapaki jalan yang sama. Menurut dia, hidup hemat atau frugal living adalah salah satu cara menuju kebebasan finansial. Bagus senantiasa memikirkan seandainya situasi ekonominya di masa mendatang tidak menentu. Misalnya perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. “Kami kan juga punya anak, istri, dan keluarga. Jadi itu salah satu pemicu utamanya,” ujar Bagus.
Dalam menjalani frugal living, Rizza berpijak pada dua pilar: pendapatan dan pengeluaran. Rizza tak hanya berfokus pada hidup hemat sebagai salah satu jalan menuju kemerdekaan finansial. Ia juga berfokus pada cara meningkatkan pendapatan. “Itu salah satu cara yang lebih baik walau tidak lebih gampang untuk mendapatkan kebebasan finansial,” tuturnya.
Setiap bulan, Rizza sudah mempunyai anggaran yang telah dia susun. Secara angka, dia membaginya dalam tiga fase, 50 persen untuk kebutuhan sehari-hari, 30 persen untuk tabungan dan investasi, dan 20 persen untuk memenuhi keinginan atau hasrat. "Kami lebih suka membuat sesuatu lebih logis,” kata Rizza.
Rizza memulai langkah menjalani gaya hidup frugal living dari hal-hal kecil yang kadang luput. Contohnya, dia selalu membawa air dalam kemasan setiap hari. Bukan berarti pelit, Rizza pasti memesan minuman lain ketika bersantap di rumah makan. Setidaknya dia tak harus membeli air mineral dan bisa memangkas pengeluaran.
Rizza juga jarang ikut makan siang dengan teman-teman kerjanya di restoran yang mahal. Meski begitu, dia tidak memungkiri sosialisasi dengan rekan kerja harus tetap berjalan. “Hanya intensitasnya yang saya kurangi,” ucap Rizza.
Contoh lain, Rizza tidak muluk-muluk dalam memilih jenama ternama untuk sepatu yang ia kenakan sehari-hari. Selagi sepatu itu masih bisa dipakai, Rizza tidak ambil pusing. Bagi dia, segala sesuatu bisa ditempatkan dalam porsi yang seimbang.
Bagus menerapkan hal serupa. Sebagai pekerja kantoran, dia selalu membawa bekal dari rumah yang mencakup sarapan, santapan siang, dan kudapan pencuci mulut. Ia juga memilih menggunakan moda transportasi umum untuk menuju kantor.
Menurut dia, ongkos harian memakai kereta MRT dan ojek online jauh lebih murah dibanding biaya naik taksi atau menyetir mobil sendiri dari rumahnya di Tangerang Selatan ke Jakarta. “Dalam sehari tak lebih dari Rp 150 ribu,” ujar Bagus.
•••
PERENCANA keuangan Ligwina Hananto menjelaskan, frugal living bisa diartikan sebagai konsep kehati-hatian, dengan kesadaran penuh, pada uang dalam melakukan pengeluaran sehari-hari. Frugal living tidak selalu diartikan sebagai gaya hidup hemat. Sebab, hemat mempunyai konotasi berusaha membuat pengeluaran serendah mungkin.
Contohnya, penganut frugal living akan memilih membeli sepatu seharga Rp 1 juta yang bisa bertahan hingga satu setengah tahun daripada membayar kasut Rp 300 ribu tapi langsung rusak hanya dalam tiga bulan. Ia akan tetap berhati-hati dan cenderung tidak memaksakan diri membeli sesuatu ketika belum punya uang. Saat uang sudah terkumpul, ia akan membeli sepatu senilai Rp 1 juta itu. “Frugal living justru mengedepankan nilai,” kata Ligwina kepada Tempo, Senin, 11 September lalu.
Ligwina Hananto. Dok. Tempo/Dian Triyuli Handoko
Penganut frugal living juga akan meriset sesuatu yang hendak dibeli. Misalnya, ia akan memilih membeli daging dengan harga lebih mahal daripada ayam. Tentunya pilihan membeli daging itu didasari kesadaran penuh dan pertimbangan atas berbagai macam alasan. Salah satunya daging mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi. Saat merasa harga daging sedang mahal, penganut gaya hidup ini tidak akan memaksakan diri membeli daging setiap hari. “Tapi akan menjadikannya alternatif, misalnya setiap dua minggu,” ujar lead financial trainer QM Financial ini.
Menurut Ligwina, frugal living sangat bisa dipraktikkan oleh kaum muda. Makin cepat penerapannya, makin baik hasil yang dicapai. Namun tentu ada beberapa catatan yang harus diperhatikan. Salah satunya konsep itu harus diterapkan secara hati-hati. “Sebab, akan menjadi tidak masuk akal ketika frugal living hanya dimaknai sebagai laku hemat belaka,” tuturnya. “Kunci frugal living itu ada pada mindfulness.”
Frugal living juga berkaitan dengan gerakan FIRE. Gerakan ini berpijak pada tiga aspek, yaitu menekan pengeluaran, meningkatkan penghasilan, dan berinvestasi sebesar-besarnya. “Ada hubungannya dengan frugal living karena poin pertama dari FIRE movement adalah menekan pengeluaran,” kata Ligwina.
Ada hal yang luput dari perhatian orang-orang yang mengusung gerakan FIRE. Banyak anak muda yang berfokus pada ujungnya saja: pensiun dini. Alih-alih pensiun dini, banyak orang yang hanya beralih profesi lantaran tidak bahagia dengan pekerjaan sebelumnya. Contohnya, ada anak muda yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta. Dalam dirinya, berkobar-kobar semangat membangun bisnis dengan harapan bisa mencapai FIRE.
“Hal tersebut belum masuk konsep merdeka finansial dan pensiun dini,” ujar Ligwina. “Saat membangun bisnis tapi hidup masih 100 persen bergantung pada bisnis tersebut, artinya ia tidak betul-betul FIRE,” ucapnya.
Ligwina pun menawarkan sebuah konsep agar seseorang bisa memperbaiki kondisi keuangan secara terus-menerus. Konsep itu dinamai Blueprint of Your Money. Konsep membangun keuangan ini ibarat bangunan dua lantai. Lantai pertama adalah rencana keuangan utama keluarga yang meliputi upaya mencapai tujuan-tujuan finansial yang penting, seperti pembentukan dana darurat, dana pendidikan, hingga dana pensiun. Investasi yang dilakukan adalah investasi akumulatif.
Adapun lantai kedua adalah mengupayakan aset aktif atau investasi generatif seperti bisnis, properti, dan surat berharga. Menurut Ligwina, dengan konsep ini, seseorang mempunyai panduan untuk memperbaiki kondisi keuangannya tanpa buru-buru ingin pensiun. Proses dalam Blueprint of Your Money memudahkan seseorang untuk menentukan polanya sendiri.
"Mau buru-buru atau pelan-pelan, semua bisa disesuaikan, tanpa harus mengorbankan masa muda untuk bekerja keras demi mimpi pensiun dini yang serba semu,” tutur Ligwina.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ecka Pramita dan Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hemat Pangkal Merdeka"