Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran seniman tiga negara.
Mengeksplorasi tubuh hingga pakaian.
SEPOTONG baju terusan semacam wearpack digantung dan melayang rendah di sudut bangunan Cemeti–Institut untuk Seni dan Masyarakat, Selasa, 12 September lalu. Baju itu turut melengkapi pameran bertajuk “CHORA: Tubuh-Tubuh yang Tak Berhingga – Lingkaran Pertama” yang digelar selama 8-29 September 2023. Pameran ini merupakan proyek kolaborasi Indonesia-Amerika Tengah dalam Fertile Ground Program oleh Prince Claus Fund.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baju itu dikenakan seniman asal Nikaragua, Elyla, saat ia melakukan pertunjukan di tanah lapang yang diberi judul Torita-encuetada. Baju itu dibuat dari tumpukan kain perca yang dijahit tebal. Kain itu dijahit dengan beragam corak, tapi dalam satu warna: cokelat atau krem. Pada bagian pinggangnya dililitkan empat sabuk dari kulit. Cawat berbahan kulit dilapiskan di luar kostum. Di sela model baju yang terkesan maskulin itu, tersisip keanggunan. Hiasan renda berwarna krem menyembul di bagian kiri dan kanan pinggang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pun bagian dada dibuat menyembul untuk ruang sepasang payudara, ditambah penutup kepala berbentuk banteng dan punggung yang mengusung kotak panjang segitiga seperti keranda yang dimaksudkan sebagai tubuh banteng. Seperti banteng terluka oleh tombak selama penjelajahan, Elyla menari tak tentu arah di bawah remang cahaya. Sesekali salah satu kakinya mengorek tanah. Seseorang menyulutkan api di pangkal tubuh banteng. Api berpendar, meletup-letup seperti kembang api. Elyla mengangkat tinggi tubuh banteng itu, menari bersamanya.
Saat api padam, aktor yang juga aktivis pendiri Operación Queer itu menanggalkan kostumnya, kaus kutangnya, menyisakan sepotong cawat di tubuhnya. Ia melumuri wajah dan tubuhnya dengan abu sisa pembakaran. “Dari abu saya belajar memegang kebijaksanaan leluhur, kenangan yang dipegang para tetua, kepada siapa saya meminta kesempatan untuk melanjutkan perjalanan,” ujar Elyla, penerima Seed Awards Prince Claus Fund 2021.
Syair lagu “Torita Suleta” dinyanyikan Susy Shock secara berulang dengan iringan alat musik perkusi, mengantarkan Elyla meringkuk di atas tanah ditemani asap pembakaran yang berembus pergi. Aku adalah seekor banteng banci yang lepas kendali dengan punggung hitam dan mata bercahaya. Aku adalah seekor banteng banci yang mendambakan matahari, matahari…. Bebas aku dalam diri terbaikku.
Pengunjung dapat menikmati tontonan berdurasi 11 menit 54 detik itu pada layar video di sana. Sutradara film asal Nikaragua, Milton Guillén, merekamnya untuk proyek film pendek berjudul My Skin and I. Adapun pertunjukan Torita-encuetada dalam film itu merupakan kisah ritual api di Nikaragua. Ritual bagi roh-roh yang ditolak oleh bumi, tubuh, dan budaya karena berbagai sebab agar bisa dipulangkan kepada ibu pertiwi.
Karya Eka Wahyuni "Joyous Vessel #1: Menyulam Bagi Waktu yang Tak Berawal” dalam Pameran CHORA di Cemeti Yogyakarta, 12 September 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Dialektika atas tubuh pribadi juga disajikan seniman asal Berau, Kalimantan Timur, Eka Wahyuni. Lewat karya berjudul Joyous Vessel #1: Menyulam Bagi Waktu yang Tak Berawal, koreografer tari kontemporer itu membuat arsip tentang proses kehamilannya sejak awal hingga menjelang persalinannya lewat akun Instagram. Ada sejumlah pertunjukan gerak perutnya yang kian buncit, gerakan bayi di dalam perutnya, juga gerakan ibu dan calon bayi itu.
Di Cemeti, Eka memajang tujuh sulaman bermotif plasenta di atas kain putih. Penyulamnya adalah tujuh sahabatnya yang dipercaya akan turut serta memomong bayinya kelak. Angka tujuh pun bukan pertimbangan asal-asalan. Tujuh alias pitu dalam Bahasa Jawa bermakna pitulungan atau pertolongan atau bimbingan.
Dalam keyakinan sebagian masyarakat di Jawa, plasenta alias ari-ari laksana adik janin. Sebab, ia adalah organ tubuh yang tumbuh bersama janin selama kehamilan. “Dan plasenta itu simbol gerbang kelahiran yang mengantarkan pada keberadaan,” kata Eka, menjelaskan alasan pemilihan wujud plasenta.
Sepintas karya instalasi Eka seperti hiasan di kamar bayi. Boneka-boneka lucu yang biasa digantung diganti dengan tujuh sulaman, renda-renda, juga hiasan tali-temali yang digantung pula. Semua serba putih, seperti doa-doa suci yang dilantunkan ke atas langit.
Adapun seniman El Salvador, Aria XYX, menampilkan video pendek 3 menit 25 detik di bilik sempit, gelap, dan tertutup. Pada layar kain putih itu, tampak tubuh telanjang yang tak jelas wujudnya. Sekilas sosok itu seperti ikan lele yang licin, acap kali isi kepala menduganya sebagai kecebong. Sosok itu tertutup celah alang-alang kering yang basah. Seperti di atas rawa-rawa. Tubuh licin itu tampak pucat kebiruan diterpa pendaran cahaya. Acap menggeliat, lama terdiam, lalu di ujung pertunjukan tubuh itu menghadap kamera dan tampak samar, kemudian diam.
“Rekaman itu menunjukkan tubuh yang tak bergerak, seperti mayat, yang tak bisa berproses. Itu berangkat dari trauma maskulinitas saya,” tutur Aria. Akan halnya di sisi bilik sempit nan remang itu, bergantungan alat-alat pertukangan, gergaji, obeng, gunting, juga catut. Muncul sensasi horor sembari menonton pertunjukan video tentang tubuh itu.
Ada enam seniman dari tiga negara yang meramaikan pameran ini. Selain tiga seniman tersebut, ada Chandra Rosselinni, baBAM, dan FJ Kunting yang berasal dari Indonesia. Mereka merespons "Chora" lewat pengalaman atas keberagaman identitas seksual mereka terhadap tubuh-tubuh tak berhingga yang mereka jumpai, bahwa ada kearifan lokal yang bisa mengobati luka, kesedihan, dan kemarahan itu. Sayangnya, homogenisasi pengetahuan yang terjadi saat ini telah mengubur pengetahuan yang orisinal tentang bagaimana menghuni tubuh sendiri, memahami, dan mengalami hidup.
Pameran CHORA: Tubuh-Tubuh Yang Tak Berhingga – Lingkaran Pertama di Cemeti Yogyakarta, 12 September 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
“'Chora' adalah ruang yang membuka percakapan baru tentang cara kita berada dan mengada. 'Chora' menjadi taktik,” ujar Direktur Cemeti Linda Mayasari yang bersama Prashasti Wilujeng Putri dan Roberto Guillén menjadi kurator pameran tersebut.
Tak aneh, sejumlah seniman tersebut menggunakan taktik itu untuk mengejawantahkan pesan-pesan mereka tanpa harus berterang benderang. Elyla, misalnya, menyisipkan simbol-simbol perjuangan atas orientasi seksual yang berbeda lewat kostum.
Bahkan dia juga menampilkan empat karya ensambel garmen orisinalnya, Las Dos Barro Mestizas, yang ia buat saat di pengasingan akibat persekusi oleh negaranya. Karya tersebut merupakan hasil kolaborasi dengan seniman lokal, Sierra Pete. Mereka membuat karya garmen lewat kacamata queer untuk menghormati para seniman dan aktivis LGBTQ+ di Nikaragua.
Karya sAria XYX dari El Salvador dalam Pameran CHORA di Cemeti Yogyakarta, 12 September 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Dua di antara karya itu adalah rompi pakaian Macho Ratón bergambar kuda dan manusia yang berciuman. Juga celemek pakaian Güegüense yang menggambarkan aktivitas seksual dari beragam orientasi seksual.
“Kostum-kostum itu perlawanan lintas leluhur,” kata Elyla. Pada masa itu, masyarakat asli Mesoamerika menghormati dewa-dewi. Masyarakat yang punya keberagaman orientasi seksual lalu merebut kembali kekuatan spiritual sebelum akhirnya penjajah Spanyol datang, antara lain dengan misi kaum revolusioner queer, sekitar 1990.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Chora, Taktik Seniman Merespons Tubuh"