Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Gen Pemicu Kanker Paru

Perempuan Asia nonperokok dapat terserang kanker paru karena faktor genetis. Ada obatnya dan kini sedang menunggu versi generik yang murah.

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM bulan minum obat, Herawati tak kunjung sembuh dari flu. Ia kembali ke dokter yang mendiagnosisnya flek di paru. Setelah roentgen diulang, penjelasan dokter malah mengejutkan Hera. "Maaf, bukan flek, tapi di paru ibu ada tumor," kata perempuan 58 tahun ini menirukan ucapan dokter tiga tahun lalu.

Menampik tawaran operasi, Hera memilih pengobatan alternatif. Berbulan-bulan setelah itu, tulang punggung dan kakinya malah nyeri. Berat badannya merosot drastis. Akhirnya, ia memutuskan berobat ke rumah sakit di Penang, Malaysia. Hera bercerita, pemeriksaan di sana membenarkan adanya sel pemangsa itu.

Yang bikin ia kaget, kanker parunya sudah mencapai stadium empat. Hera tak percaya terkena kanker, apalagi ia bukan perokok. Memang, suami dan anaknya merokok, tapi tak pernah di dekatnya. Dia pun selalu menghindari asap rokok.

Cecilia Sugini, 65 tahun, tertimpa hal sama. Dua tahun lalu, ia diganggu dahak berdarah. Sempat menduga ada perdarahan lambung dan usus, tenaga medis lebih sibuk mengurusi organ pencernaannya. Baru empat bulan lalu dokter menemukan jejak darah di kerongkongan. Setelah dokter menelusuri ke paru, ketahuanlah adanya sel kanker yang sudah stadium empat. "Ini pukulan berat buat keluarga, apalagi kakak saya dua tahun lalu meninggal juga karena kanker paru," kata Amang, putra Cecilia.

Hera dan Cecilia adalah dua dari ratusan ribu penderita kanker paru di Asia Tenggara, yang jumlahnya terus merayap naik. Studi ASEAN Foundation menemukan, pada 2008 saja, sudah ada 700 ribu pasien kanker di Asia Tenggara. Lebih dari setengah juta di antara mereka meninggal akibat penyakit itu.

Menurut data yang dipresentasikan di ASEAN Cancer Stakeholders Forum, Singapura, pada Juli lalu, kanker paru berkontribusi paling besar pada angka kematian tersebut. "Pada pasien lelaki, kanker paru jadi penyebab utama kematian," kata Mark Woodward, yang memimpin studi itu. "Sementara pada perempuan, tiga jenis yang paling banyak ditemukan adalah kanker paru, payudara, dan rahim."

Menurut Direktur Medis Parkway Cancer Centre Singapura, Ang Peng Tiam, perempuan Asia secara genetis memang lebih rentan terkena kanker paru. Setelah merawat ribuan orang pasien, termasuk yang dari Indonesia, dokter spesialis onkologi menemukan hanya satu dari sepuluh perempuan penderita kanker paru yang merokok atau sering terpapar asap rokok. "Karena itu, perempuan yang merokok atau jadi perokok pasif lebih besar lagi risikonya terkena kanker paru," ujarnya.

Belum ada penelitian yang bisa lebih menjelaskan soal gen perempuan Asia tersebut. Yang jelas, pada perempuan Asia yang terkena kanker paru ditemukan adanya mutasi genetis pada gen epidermal growth factor receptor—gen yang terletak di permukaan sel dan dapat berfungsi dengan cara terkoneksinya ion dan molekul.

Dokter spesialis paru Rumah Sakit Persahabatan, Ahmad Hudoyo, menjelaskan di dalam tubuh ada keseimbangan antara gen pemicu kanker dan gen penekannya. Kanker muncul, katanya, jika keseimbangan itu terganggu. Menurut dia, berbagai penelitian mengungkapkan perusak keseimbangan itu adalah asap rokok, mutasi genetik, polusi udara, atau paparan radioaktif.

Karena itu, Ahmad sepakat dengan Ang, ada faktor genetis di balik kanker paru perempuan. Selain itu, Ahmad menduga perempuan bukan perokok dan jarang terpapar rokok bisa jadi terkena kanker paru karena faktor third-hand smoke.

Pulmonolog ini menjelaskan kini ada pergantian istilah paparan asap tembakau pada perokok aktif jadi first-hand smoke dan pada perokok pasif sebagai second-hand smoke. Nah, third-hand smoke adalah paparan yang terjadi meski seseorang tidak merokok atau tidak berada di dekat orang yang sedang merokok.

Saat seseorang merokok, ada residu dari asap dan abunya yang menempel di meja, kursi, baju, dan terutama sekali di asbak. "Pada residu itu ada zat karsinogen yang bisa memicu kanker," kata Ahmad.

Maka tak berdekatan dengan perokok pun bisa membuat orang terkena zat pemicu kanker dari rokok. Karena itu, seorang perokok bisa meningkatkan risiko kanker paru pada anak dan cucu perempuannya. "Jadi, kanker paru memang ancaman untuk siapa saja, baik yang merokok maupun yang tidak," ujarnya.

Singapura lewat National Cancer Registry mencatat kanker paru sebagai lima besar kanker pembunuh perempuan di negara kota itu pada 1998-2002. Indonesia sendiri tak punya data serupa, tapi menurut Ahmad jumlah penderita kanker paru terus meningkat. Ahmad menceritakan, sekitar 20 tahun lalu, jumlah pasien kanker hanya sekitar 100 orang. "Sekarang kami merawat seribu pasien per tahun," kata Ahmad. Dari jumlah itu memang lebih dari 50 persen adalah lelaki. Namun jumlah pasien kanker paru perempuan yang tidak merokok juga terus melonjak.

Ahmad menyayangkan, lebih dari 90 persen mereka yang memeriksakan diri sudah berada pada stadium tiga dan empat, yang sulit disembuhkan. Menurut dia, kanker paru bisa disembuhkan jika masih stadium satu dan dua karena bisa dioperasi. "Operasi bisa membuat peluang bertahan hidup lima tahun sampai 70 persen."

Terlambat dirawat itu memang terjadi karena penderitanya tak merasakan gejala khusus. Paru yang tak punya saraf membuat sel kanker yang berukuran kecil sama sekali tak terasa. Karena tak adanya pemindaian khusus seperti tes pap smear buat deteksi dini kanker rahim, Ahmad menyarankan mereka yang berusia lebih dari 20 tahun menjalani roentgen paru minimal enam bulan sekali.

Roentgen sendiri baru bisa menemukan sel kanker jika sel itu sudah berukuran dua sentimeter. Hanya mesin CT scan yang bisa menemukan kanker berukuran satu sentimeter, tapi sulit dijadikan tes rutin karena di Indonesia biayanya kelewat mahal. "Dua sentimeter itu sebenarnya sudah terlambat, tapi masih bisa dioperasi," kata Ahmad.

Repotnya, Ahmad bercerita, mereka yang bisa dioperasi rata-rata menolaknya. "Mereka lari ke pengobatan alternatif dan ketika kembali kankernya sudah stadium lanjut," ujarnya.

Beruntung bagi perempuan Asia nonperokok yang menderita kanker, ada obat yang terbilang mujarab. Lebih dari 50 persen pasien di Indonesia dengan karakteristik tadi merespons positif obat epidermal growth factor receptor tyrosine kinase inhibitors atau lebih dikenal dengan singkatannya, EGFR-TKI. Obat yang tak berkhasiat bagi pria ini secara khusus menarget mutasi gen epidermal growth factor receptor.

Obat ini hampir tak berkhasiat bagi perempuan Eropa dan Amerika Serikat, sementara di Asia sangat ampuh. Bahkan, di Jepang, tujuh dari sepuluh perempuan yang minum tablet ini menunjukkan pemulihan dari kanker parunya. Keampuhan itulah yang membuat Ang Peng Tiam semakin yakin ada faktor genetis di balik kanker paru pada perempuan Asia.

Pengalaman Ahmad Hudoyo menunjukkan tablet terapi kanker ini mampu menekan sel kanker paru dan memulihkan kondisi pasien. "Obat ini agak ajaib karena dalam hitungan hari sudah terlihat efeknya," kata Ahmad.

Tablet berwarna kecokelatan itulah yang diminum Herawati setelah rumah sakit di Penang membenarkan diagnosis kanker paru stadium empat. "Baru dua kali minum, saya sudah merasa lebih enak," ujar Hera.

Dibantu radioterapi buat menekan sel kanker yang meluas ke tulang punggungnya, kini Hera sudah bisa beraktivitas normal. Hanya, Hera tak boleh berhenti meminumnya, sebutir sehari.

Buat mengkonsumsi obat itu, setiap bulan ia harus merogoh kocek sampai Rp 19 juta—sedikit lebih murah daripada di Malaysia, yang dibanderol Rp 24 juta per botol untuk sebulan.

Hak paten tablet terapi kanker paru ini memang masih dikuasai perusahaan farmasi. Importirnya di Indonesia adalah Roche dan AstraZeneca. Versi generiknya baru dibuat di India oleh perusahaan farmasi lokal, Cipla. Itu pun harus lebih dulu beperkara soal hak paten di pengadilan India. Sumber-sumber Tempo menyebutkan harga tablet generik buatan India itu hanya sekitar Rp 2 juta per botol untuk kebutuhan sebulan. "Saya cuma berharap harga obatnya bisa lebih murah," kata Hera.

Oktamandjaya Wiguna, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus