Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#f9900>LIBYA</font><br />Sapu-sapu Dewan Transisi

Bertumpuk pekerjaan rumah pemerintah sementara Libya. Qadhafi dan pengikutnya masih menjadi ancaman.

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lapangan Syuhada di pusat Kota Tripoli hiruk-pikuk. Kembang api berpendaran di udara. Sekitar 10 ribu orang memadati lapangan yang sebelumnya bernama Lapangan Hijau ini. Dengan atribut dan pakaian merah-hitam-hijau, mereka tak pernah berhenti bertempik sorak. Mereka menyambut pidato pertama pemimpin pemerintah transisi Libya, Mustafa Abdul Jalil, Senin malam pekan lalu.

Lapangan martir atau maydan as-syuhada simbol keberhasilan pemberontak menggulingkan Presiden Muammar Qadhafi. Pasukan pemberontak menguasai sepenuhnya lapangan dalam pertempuran Tripoli akhir Agustus lalu. Qadhafi kabur dan belum jelas keberadaannya hingga akhir pekan lalu. "Kita harus mengadili semua orang yang menyakiti warga Libya," kata Abdul Jalil disambut takbir massa.

Lapangan Syuhada menjadi pusat "pesta" kelompok anti-Qadhafi. Berdasarkan pantauan Tempo di Tripoli, ribuan orang meluapkan kegembiraan di lapangan seminggu sebelum pidato Abdul Jalil. kendaraan bersahutan. Takbir bergema berlomba dengan lagu Ya Baladi, wahai negaraku. Ya Baladi merupakan lagu yang menggugah nasiona­lisme dan populer di Timur Tengah.

Hampir semua orang di Tripoli menyanyikan Ya Baladi setiap hari sambil membawa bendera merah-hitam-hijau dengan bulan sabit dan bintang di tengah, termasuk Manal, gadis cantik berkulit putih bersih. "Saya senang sudah bebas dari Qadhafi," kata lajang dengan kerudung serba hitam ini. "Saat ia berkuasa, perempuan takut keluar dari rumah."

Qadhafi, yang berkuasa selama 42 tahun, memerintah dengan tangan besi, sehingga membuat perempuan seperti Manal ketakutan. Benih perlawanan terhadap Qadhafi tumbuh subur setelah revolusi Mesir melengserkan Presiden Husni Mubarak pada 11 Februari lalu. Kelompok anti-Qadhafi menjadikan Benghazi, kota di sebelah barat Tripoli, sebagai basis perlawanan Qadhafi.

Kelompok pemberontak mendeklarasikan Dewan Transisi Nasional pada 27 Februari. Negara Barat dan Amerika Serikat mendukung gerakan penggulingan Qadhafi, termasuk suplai senjata. Prancis merupakan negara pertama yang mengakui keberadaan Dewan Transisi Nasional pada Maret lalu. Hingga saat ini, sudah lebih dari 30 negara mengakui Dewan Transisi Nasional. Dengan dukungan internasional, kelompok pemberontak memukul Qadhafi hingga kabur.

Setelah pasukan Qadhafi mundur, Dewan Nasional memindahkan kegiatannya dari Benghazi ke Tripoli. Dewan Nasional belum memiliki kantor tetap dan sumber daya manusia yang memadai. Markas sementara mereka di Corinthia, Tripoli, tapi sejumlah media, terutama media asing, kesulitan mencari akses ke para pemimpin Dewan.

Dewan bertugas menjaga stabilitas nasional dan mempersiapkan pemerintahan sementara. Para pemimpin Dewan Transisi menjanjikan segera membentuk pemerintahan modern yang demokratis. Menurut dia, pemilihan umum akan dilangsungkan delapan bulan setelah kelompok pemberontak menguasai seluruh Libya.

Libya membutuhkan waktu lebih panjang untuk mempersiapkan pemilihan umum karena belum adanya infrastruktur politik dan masyarakatnya. Selama era Qadhafi, Libya tak memiliki partai politik atau lembaga swadaya masyarakat yang menjadi basis kelas menengah. Sejumlah pengamat memperkirakan Libya akan menjalani proses demokratisasi dalam jangka waktu puluhan tahun. "Kita harus bersatu dan menghindari kebencian serta membalas dendam," ucap Abdul Jalil.

Setumpuk persoalan memang tengah dihadapi Libya, warisan rezim Qadhafi. Dewan Transisi Nasional dan pemerintah sementara juga menghadapi sisa kekuatan Qadhafi yang masih melakukan serangan. Ketika Abdul Jalil berpidato, pendukung Qadhafi dikabarkan menyerang kilang minyak di Res Lanuf, yang mengakibatkan 15 pengawal kilang tewas.

Arif Nayid, Koordinator Operasi Tim Stabilisasi Libya, mengatakan tantangan terbesar mereka adalah menciptakan Libya sebagai negara damai dan harmonis. Menurut dia, Libya perlu memusnahkan faktor yang menyebabkan ketidakstabilan. Pasukan pro-Qadhafi masih ada yang bertahan di benteng Bani al-Walid, Sirte, dan Sabha. "Selama Qadhafi masih bebas, ia merupakan faktor destabilisasi," katanya.

Menurut Arif, pemerintah baru harus terus mewaspadai pengikut Qadhafi. Dalam wawancara dengan televisi Suriah, Al-Rai, Qadhafi mengancam akan menyingkirkan kelompok yang melakukan kudeta. Kekhawatiran serangan balik pasukan Qadhafi itulah yang membuat banyak penduduk menyimpan senjata. Dengan senjata, penduduk juga bisa melakukan balas dendam atas penindasan lebih dari 40 tahun kepada kelompok Qadhafi.

Sipil bersenjata itu berpotensi mempengaruhi situasi keamanan Libya. Setelah kondisi aman, Arif mengatakan, pemerintah akan mendata senjata di tangan penduduk sipil dan nantinya diserahkan kepada pemerintah. Menurut Arif, stabilisasi jangka panjang bisa terwujud melalui rekonsiliasi nasional.

Persoalan yang harus dihadapi pemerintahan baru adalah stabilitas ekonomi. Pengangguran dan kemiskinan menjadi isu sentral dalam rentetan revolusi di Timur Tengah. Selama era Qadhafi, tingkat pengangguran di Libya mencapai 30 persen dengan angka kemiskinan 7,4 persen. Abdul Jalil mengatakan Libya dengan kekayaan minyaknya seharusnya bisa membuat rakyat sejahtera. Ia berjanji akan menjaga aset negara dari koruptor sehingga bisa sampai ke rakyat. Revolusi Libya, kata Abdul Jalil, diharapkan bisa memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat.

Abdul Jalil menambahkan Libya akan menjadi negara Islam moderat, bukan ekstrem kanan atau kiri. Menurut dia, semua orang berhak mendapat tempat yang layak di segala sektor, termasuk perempuan. Menteri Kehakiman era Qadhafi ini mengatakan revolusi bertujuan mendirikan negara hukum, sejahtera, dan syariat Islam sebagai undang-undang. "Jangan sampai ada orang yang menodai revolusi ini," ujarnya.

Abdul Jalil mengatakan Tripoli beruntung bisa melakukan revolusi dengan korban dan kerugian minimum. Roda pemerintahan akan berjalan bertahap. Sekarang rakyat Libya sedang menikmati euforia revolusi. Mereka optimistis bisa mengatasi kendala menuju Libya yang demokratis. "Tegakkan kepala, kita adalah warga Libya merdeka," kata Abdul Jalil disambut riuh pengunjung di Lapangan Syuhada.

Yandi M.R. (Libyatv, Tripolipost), Faisal Assegaf (Tripoli)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus