Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyonya Lilies ngedumel. Pangkal soalnya, Adit—sebut saja begitu—nyaris tak pernah bebas dari batuk dan pilek. Hampir saban bulan, warga Cinere, Depok, Jawa Barat, tersebut harus membawa Adit, saat itu usianya menjelang tujuh tahun, periksa ke dokter. Masalah uhuk-uhuk dan hidung meler itu belum beres, eh, tidur Adit bermasalah. Anak semata wayang dari pernikahannya dengan Wijaya itu tidur mengorok dan sering bangun terkaget-kaget. Siang harinya, Adit terlihat lemas dan ngantukan. "Wajahnya terlihat enggak segar," kata Lilies kepada Tempo, Selasa pekan lalu, mengenang.
Selain batuk-pilek, hasil observasi dokter menunjukkan Adit mengalami peradangan tonsil atawa amandel, yang biasa mengiringi kedua penyakit ini. Belakangan, pembesaran amandelnya sudah mengganggu jalan napas. Dokter menyebut Adit mengalami obstructive sleep apnea syndrome, yakni gangguan tidur yang berat karena jalan napasnya tersumbat, sehingga terjadi henti napas sesaat. Gejala utamanya, itu tadi, mengorok dengan beberapa kali bangun terkaget-kaget karena napasnya terhenti sesaat. Dokter menyarankan Adit menjalani operasi pengangkatan amandel.
Sempat ngeyel dan menunda-nunda saran itu, akhirnya Lilies mengambil tindakan operasi pada pertengahan 2009 di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Hasilnya tokcer. Setelah operasi, Adit, kini sembilan tahun, jarang mengalami batuk dan pilek. Ngorok dan kebiasaannya bangun terkaget-kaget saat tidur wes, ewes, ewes... bablas.
"Saya sangat bersyukur dengan kondisi Adit sekarang. Kekhawatiran bahwa setelah operasi Adit bakal gampang sakit, seperti dikatakan tetangga dan sanak kerabat, tidak terbukti," kata Lilies. Pendapat tetangga dan sanak kerabat itu didasari pemahaman selama ini bahwa amandel berfungsi menahan kuman agar tidak menyebar ke seluruh tubuh. Kalau amandel dioperasi, berarti salah satu benteng pertahanan awal tubuh dijebol, sehingga anak akan gampang sakit. Namun yang terjadi justru sebaliknya: Adit lebih sehat dan tak gampang sakit.
Lilies ingat betul, setahun pascaoperasi, ia bersama Adit tak perlu menemui dokter Bambang Supriyatno, spesialis anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang dulu rutin didatanginya berbulan-bulan. Supriyatno adalah dokter yang mendiagnosis Adit menderita obstructive sleep apnea syndrome dan menganjurkan operasi amandel.
Selama ini Supriyatno memang sangat peduli terhadap masalah obstructive sleep apnea syndrome pada anak. Tak aneh jika Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI ini mengangkat topik itu dalam pengukuhan sebagai guru besar tetap ilmu kesehatan anak di FKUI, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu.
"Adanya dengkuran mengindikasikan terjadi sumbatan pada jalan napas saat tidur. Jika tidak ditangani dengan baik, bisa menyebabkan komplikasi," katanya. Pada anak, sebagian besar dengkuran disebabkan oleh pembesaran tonsil atau amandel (kelenjar limfoid di kanan-kiri pangkal tenggorokan) dan adenoid (kelenjar seperti tonsil, letaknya di belakang rongga hidung). Mendengkur atau ngorok terjadi karena vibrasi atau getaran langit-langit lunak (soft palate) akibat saluran napas bagian atas tersumbat atau menyempit. Jika tak ada sumbatan, aslinya, langit-langit lunak anak tak perlu "tersambar" udara yang masuk paru-paru.
Ada dua alasan obstructive sleep apnea syndrome pada anak, menurut Supriyatno, penting dibahas. Pertama, istilah ini belum dikenal luas, baik di kalangan dokter umum maupun spesialis anak. Padahal implikasinya luar biasa. Sebab, dapat menyebabkan gangguan berat, seperti darah tinggi, hiperaktivitas, atau gangguan kinerja saat sekolah. Kedua, gangguan ini akan menyebabkan kekurangan oksigen (hipoksia) kronik, yang mengganggu perkembangan otak, sehingga anak menjadi hiperaktif, kurang konsentrasi di sekolah, serta sering mengalami infeksi saluran napas, seperti batuk dan pilek.
Di sisi lain, Supriyatno melanjutkan, angka kejadian obstructive sleep apnea syndrome pada anak cenderung meningkat sejalan dengan terdongkraknya obesitas dan alergi, meski angka pastinya di Tanah Air belum ada. Data internasional menyebutkan angka kejadian sindrom ini pada anak 0,1-13 persen. Sedangkan pada remaja yang mengalami kegemukan mencapai 13-36 persen.
Mendengkur bisa dibagi dalam dua kelompok, yakni sering mendengkur (habitual snoring), yakni bila mengorok tiga kali atau lebih dalam sepekan; dan kadang-kadang mendengkur (occasional snoring), yakni bila kejadiannya dua kali atau kurang dalam sepekan. Kalau anak masih kadang-kadang mendengkur, orang tua tak perlu risau. Tapi, jika sudah sering, apalagi sampai ada fase bangun terkaget-kaget, pilihan pergi ke dokter patut disegerakan. Sebab, besar kemungkinan telah terjadi obstructive sleep apnea syndrome.
Untuk memastikan diagnosis, dokter akan menggunakan polisomnografi, alat yang dapat merekam aktivitas anak saat tidur, baik adanya henti napas, usaha napas, maupun frekuensi mendengkurnya. Pengambilan data dengan alat ini biasanya dilakukan di rumah pasien. Nah, dari hasil rekaman dapat dihitung frekuensi henti napas per jam (apnea-hypopnea index) sehingga bisa ditentukan derajat obstructive sleep apnea syndrome-nya. Nilai 3-5 kali per jam masuk kategori ringan, 5-10 kali per jam sedang, dan lebih dari 10 kali per jam masuk kategori berat.
Pada derajat ringan, pengobatan bisa dilakukan dengan obat kortikosteroid intranasal (semprot hidung) selama 4-8 pekan. Tujuannya agar kelenjar yang menyumbat jalan napas, seperti dan adenoid, mengecil sehingga frekuensi dengkuran berubah dari sering menjadi kadang-kadang atau malah hilang. Jika terapi ini tidak mempan, operasi layak dilirik. Operasi pulalah yang disarankan bagi anak yang mengalami obstructive sleep apnea syndrome sedang dan berat. Maklum, pada kondisi ini, kata Suprayitno, "Pemberian kortikosteroid intranasal biasanya tidak bermanfaat."
Dulu tindakan operasi ditunggu sampai usia tertentu, biasanya 8 tahun. Harapannya, pada usia itu, kelenjar amandel yang membesar sudah mengecil dan tak mengganggu jalan napas. Syukur-syukur tak perlu operasi. Namun pendekatan ini sudah tak dipakai. Kini, jika ada anak mengalami obstructive sleep apnea syndrome derajat sedang dan berat, operasi patut diambil tanpa melihat batas usia tertentu. Sebab, bila hal ini dibiarkan dan harus menunggu usia tertentu, misalnya 8 tahun, jaringan tubuh, termasuk otak, bisa keburu rusak karena terlalu lama kekurangan pasokan oksigen. Belum lagi, amandel dan adenoid yang membesar akan membuat anak susah makan dan menelan, sehingga bisa membuatnya gagal tumbuh.
Supriyatno membenarkan ihwal peran amandel sebagai organ pertahanan tubuh, seperti disebutkan tetangga dan sanak kerabat Nyonya Lilies. Namun, seiring dengan jalannya umur si anak, peran amandel ditopang organ lain, seperti limfa dan hati. Jadi, jika amandel diangkat, ya, tak jadi masalah.
Tindakan operasi tanpa melihat usia, tapi derajat keparahan pasien, disepakati Profesor Bambang Hermani, dokter spesialis telinga-hidung-tenggorokan FKUI-RSCM. Bahkan ia mengaku tak tahu dari mana rujukan pendapat bahwa operasi amandel harus menunggu usia 8 tahun. "Enggak tahu siapa yang ngomong," katanya. "Saya pernah mengoperasi anak berusia dua tahun karena sumbatannya sudah sangat mengganggu jalan napas. Enggak ada masalah."
Ihwal fungsi amandel, Hermani menjelaskan, dalam kondisi normal, kelenjar itu memang menjadi penyaring penyakit. Tapi, jika sudah sering mengalami infeksi sehingga bolak-balik meradang, amandel justru bisa menjadi sumber penyakit, sehingga tak jadi masalah jika dibuang. Suprayitno sependapat dengan seniornya itu. "Betul sekali," katanya.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo