Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Konsultan hematologi onkologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi mengatakan kanker yang tidak ditangani secara komprehensif dapat menjadi ancaman bagi Indonesia yang akan mencapai puncak bonus demografi pada 2045 bersamaan dengan 100 tahun kemerdekaan atau disebut Indonesia Emas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Hampir sepertiga hingga setengah kanker di Indonesia dapat dicegah apabila masyarakat mendapat pemahaman yang baik mengenai faktor risiko kanker dan perkembangan intervensi pencegahan kanker,” ujarnya dalam acara pengukuhannya sebagai Guru Besar FKUI di Aula FKUI Jakarta, Sabtu, 14 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Data GLOBOCAN 2020 memperkirakan 19,3 juta kasus kanker baru dan hampir 10 juta kematian akibat kanker pada 2020. Berbagai penelitian juga menunjukkan peningkatan tren kanker awitan dini atau yang terjadi pada usia kurang dari 50 tahun. Meningkatnya angka harapan hidup dan berbagai faktor risiko terkait transisi gaya hidup seperti merokok dan pola makan mungkin berkontribusi pada peningkatan beban kanker ini. Menurutnya, dalam penanganan kanker ad berbagai tantangan mulai dari pencegahan hingga paliatif.
"Pasien sering kali terlambat menerima pemeriksaan dan baru datang berobat saat stadium lanjut. Faktor pendidikan yang kurang, rendahnya pendapatan, jauhnya jarak ke tempat pelayanan kesehatan, penggunaan terapi komplementer dan alternatif, serta rendahnya cakupan deteksi dini kanker menjadi faktor besar keterlambatan layanan kesehatan yang didapat pasien,” jelas Ikhwan.
Keterlambatan penanganan kanker tidak hanya berdampak pada kualitas hidup pasien namun juga pada biaya pelayanan kesehatan, peningkatan biaya berkaitan dengan pilihan pengobatan pada pasien kanker dengan stadium lanjut. Selain itu, Ikhwan mengatakan obat-obat yang diterima bukan lagi dalam golongan kemoterapi tapi sudah menggunakan golongan obat baru seperti terapi target dan imunoterapi yang memerlukan pemeriksaan molekular khusus (kedokteran presisi) dengan biaya yang tidak sedikit.
Terkait hal ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan setiap negara memiliki rencana pengendalian kanker nasional yang berfokus pada ekuiti dan akses dan mencakup aspek pencegahan, skrining, diagnosis, pengobatan penyintas, serta perawatan paliatif. Rekomendasi ini dapat dilaksanakan melalui pusat komprehensif kanker. Pusat kanker komprehensif merupakan pusat kekuatan rencana pengendalian kanker nasional dan bertugas mengembangkan pendekatan inovatif dalam pencegahan, diagnosis, dan pengobatan kanker.
“Misi utama dari pusat kanker komprehensif adalah mengurangi insiden kanker dan meningkatkan kualitas hidup serta tingkat kelangsungan hidup,” kata Ikhwan.
3 area perawatan
Ia juga menjelaskan tiga area utama dalam perawatan kanker, yaitu penelitian, perawatan klinis, dan pendidikan. Dalam perawatan klinis, pasien kanker perlu perawatan multidisiplin untuk mencapai hasil yang optimal.
“Perawatan multidisiplin memerlukan peran para klinisi yang tergabung dalam tim multidisiplin onkologi untuk berpartisipasi langsung dalam perawatan pasien. Tim onkologi akan mengadakan pertemuan rutin yang bisa disebut sebagai tumor board meeting untuk mendiskusikan pilihan diagnostik dan/atau terapeutik serta penanganan terbaik untuk setiap pasien,” jelasnya.
Pembentukan tim multidisiplin onkologi yang dapat menjalankan perannya dengan baik tidak terlepas dari pendidikan interprofesional yang membentuk profesional kesehatan dengan keahlian sesuai bidangnya dan mampu berkolaborasi dengan ahli dari bidang lain.
“Berdasar tinjauan Best Medical Education (BEME), pengembangan fakultas, penyiapan fasilitator, refleksi terhadap praktik peserta didik, serta pedagogi berperan penting dalam pembelajaran interprofessional,” tambah Ikhwan.
Pilihan Editor: Gejala Kanker Kandung Kemih yang Terlihat Mata Telanjang