MENDADAK kehadiran Pabrik obat Manggarai milik Departemen
kesehatan diingatkan. Sudah agak lama diabaikan, kini
kemampuannya akan ditingkatkan. Hikmah, "Kebijaksanaan 15
Nopember" terasa langsung di sini.
Pabrik obat itu terletak di pinggir Kali Malang, Manggarai,
Jakarta. Menpan Sumarlin dan Menkes Suwardjono Surjaningrat
pekan lalu mengadakan peninjauan ke sana. Mereka melihat di
pabrik ini mesin-mesin buatan tahun 1958 masih digunakan, di
samping yang dari tahun 1970. Pabrik ini sekarang berkapasitas
produksi 1 milyar tablet, 8 juta ampul dan 15 juta kapsul per
tahun.
Harga Wajar
"Dengan ditingkatkannya pabrik ini, diharapkan harga obat-obatan
essensiil yang dewasa ini dirasakan terlalu mahal akan bisa
lebih murah," kata Sumarlin. Segera sesudah 15 Nopember dengan
nilai rupiah jatuh 50% terhadap dollar, pasaran obat terkejut
sekali. Harganya melonjak mengikuti devaluasi rupiah.
Pangkopkamtib memerintahkan supaya harga dibekukan sementara
dicari harga yang wajar. Toh sebagian jenis obat sudah bisa
dibuat atau dirakit -- dengan isian impor -- di Indonesia.
Obat-obatan essensiil, seperti obat influenza sudah terhitung
mahal, walaupun sebelum 15 Nopember, disebabkan kemasan yang
mewah dan biaya distribusi yang cukup tinggi. Belum lagi
dihitung biaya iklan dan pemasaran. "Produksi Pabrik Manggarai
ini tidak akan memerlukan biaya distribusi yang berlebihan,
karena pasarannya telah pasti, yaitu rumah sakit umum dan
puskesmas. Pembungkusnya juga tidak perlu mewah," katanya.
Untuk menjaga kemantapan harga obat, Menteri Suwardjono
sebelumnya juga mengemukakan penyederhanaan kemasan dan biaya
iklan, sebagai salah satu jalan. Tapi soalnya siapa yang
memelopori. Suwardjono mengemukakan PT Kimia Farma, milik
pemerintah, bisa memainkan peranan.
Bagaimana? Juru bicara Kimia Farma, Soekarsono, mengatakan biaya
kemasan obat sekarang ini bisa ditekan 30 sampai 50% tanpa
mempengaruhi mutu. "Memang produsen berlomba-lomba membikin
kemasan yang bagus. Dan di pasaran kemasan yang bagus (dianggap
sama dengan obat yang baik." ia memberi contoh pada bahan
kemasan seperti blister, alumiiium foil dan strip yang banyak
sekali digunakan secara tidak wajar, hanya sebagai penarik
belaka. "Misalnya obat APC tak perlu dikemas dengan blister
sebab dengan tabung plastik sudah cukup."
Namun bila bersaing di pasaran bebas, produksi Kimia Farma
dengan kemasan sederhana itu bisa laku? Inilah persoalannya.
Biaya iklan yang selama ini mencapai 15 sampai 25% ingin
ditekannya tinggal 10% saja. Soekarsono malah tidak setuju
adanya iklan obat dalam media massa, karena "bisa merangsang
penyalahgunaan obat. Orang cenderung mengobati diri sendiri,
tanpa menyadari akibat samping dari obat yang sebenarnya racun."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini