SUNTIKAN K-15-N belum serentak membuat segar berbagai bidang
pertanian untuk ekspor. Di sana-sini memang diharapkan suntikan
itu bisa mujarab. Tapi ada juga yang masih lesu, bahkan merasa
makin payah. Yang terakhir itu, seperti juga dikatakan oleh
Menko Ekuin Widjojo Nitisastro kepada TEMPO (lihat wawancara),
terutama disebabkan dua hal masih banyaknya pungutan dan harga
bahan kebutuhan sehari-hari di dalam negeri naik suhu harganya
secara tidak karuan. Tapi ada pula sebab lain.
Berikut ini adalah rangkaian laporan para koresponden di Jakarta
dan daerah yang menyimak perkembangan terakhir dari beberapa
komoditi pertanian dan kerajinan:
Arus komoditi ekspor lewat pelabuhan Belawan setelah suntikan
K-15-N sampai pekan lalu belum tampak meningkat. Pihak Kanwil
Departemen Perdagangan Sumatera Utara juga belum mengumumkan
suatu angka baru, dan minta TEMPO agar "bersabar dulu."
Suasana di pelabuhan Belawan juga masih seperti di hari-hari
kemarin. Tapi Asisten Ekonomi Kantor Gubernur Sumatera Utara A.
Hakim Nasution menyebutkan adanya "perintah" mengosongkan
gudang-gudang yang ada di Belawan, yang masih dipakai menyimpan
barang-barang eks impor yang belum diangkut ke Medan. Orangpun
menduga adanya perintah begitu untuk berjaga-jaga menampung
kelancaran komoditi ekspor sebelum dikapalkan.
Adakah gudang-gudang itu akan dipenuhi barang ekspor masih perlu
ditunggu. Tapi yang kelihatannya meningkat adalah ekspor
sayur-mayur. Sampai 20 Nopember, lewat pelabuhan Belawan tak
kurang dari 75 ton sayur mayur asal Karo yang dilego ke
Singapura dan Malaysia. Angin baik itu memang sudah mulai
sebelum pertengahan Nopember. Di bulan April ekspor sayur untuk
kedua negara tetangga itu masih 354 ton. Lalu Mei melonjak
menyolok menjadi 1.294 ton. Dan sampai Juni menjadi 1.755 ton
dengan nilai US$ 280 ribu. Setelah itu terus bertahan, hingga 20
Nopember meningkat lagi.
Gerakan Importir
Namun karet belum kelihatan menderas. Para pembeli atau
eksportir masih saja memperlihatkan gelagat menunggu angin dulu
sampai ada harga patokan (HP) yang pasti. Atau apakah HP itu
masih dipakai yang lama? Kenyataannya, jika sebelum 15 Nopember
harga getah lump Rp 350 per kg, kini jadi Rp 540 per kg. "Ini
berarti kenaikan dari harga dasar sampai 50%," ucap seorang
pedagang karet di Medan. Suasana yang serupa juga terasa di
Jambi. Pool Lelang karet di ibukota kabupaten itu naik tak
tanggung-tanggung: sekitar 50%. Sekalipun nikmat karet itu belum
lagi menyelusup ke dompet petani karet di daerah pedesaan.
Dari Kalimantan Selatan juga terbetik berita yang senada.
Kesunyian sempat melanda pasaran karet di hampir seluruh daerah
itu selama sepekan setelah K-15-N. Tapi sejak 22 Nopember
pasaran mendadak semarak. Dan harga yang dinanti-nanti betul
tiba. Catatan koresponden TEMPO di Banjarmasin, harga karet
(asalan) sampai 30 Nopember bermain antara Rp 450 - Rp 480
sekilo. Sayangnya, kabar gembira untuk petani itu sempat juga
kena senggolan harga-harga kebutuhan pokok yang mendadak kumat
di pasaran.
Dan para eksportir? Mereka umumnya senang juga, meski di sana
sini masih ada yang menggerutu. Antara lain, seperti dikatakan
seorang eksportir, sejak 15 sampai 26 Nopember, di New York
harga karet Indonesia rata-rata turun US$ 1 sen. Tapi di
Singapura harga karet Indonesia berhasil ditekan turun antara 7
sampai 8 sen dollar sana. U. Tarigan, salah seorang pengurus
Gapkindo Kalsel, menduga turunnya harga di pasaran luar negeri
itu disebabkan Singapura dan Malaysia "melepas sebagian
persediaan karetnya." Tapi beberapa eksportir di Banjarmasin
akhir pekan lalu berkesimpulan "harga di luar sudah kembali
normal."
Adanya semacam gerakan menurunkan harga barang ekspor dari
Indonesia juga dikemukakan eksportir akar bahar Syafiuddin di
Ujungpandang. Juga mengekspor kopi, pedagang itu merasa jengkel
karena importir di luar negeri bisa mempermainkan harga kopi
dari US$ 2.80 menjadi US$ 2.40 per kg. Dan W. Wilar, eksportir
rotan terbesar di Indonesia Timur, mengaku tak membuka kontrak
baru dan hanya menyelesaikan kontrak lama. Memperlihatkan kawat
dari Amsterdam, Direktur Fa. Mahawu itu merasa bingung juga.
"Importir di Belanda minta bagian dengan menurunkan harga rotan,
sedang pembelian di dalam negeri naik," katanya.
Menurut Mansyur Syarif dari Pondok Kerajinan Indonesia (kelompok
PT Kerta Niaga dan Aduma Niaga) kenaikan harga rotan di dalam
negeri itu antara 50 sampai 75%. Bahkan ada yang mencapai 100%,
seperti rotan Manau dari Kalimantan, berdiameter 3,5 cm, yang
semula Rp 350 per batang.
Belum Nongol
Yang juga belum bernasib baik adalah ekspor kerajinan tangan
dari Bali. Biasanya pada Nopember-Desember pesanan meningkat.
Tapi menurut eksportir dari Fa. Nuratni, tergolong tertua di
Bali, sampai sekarang pesanan yang biasanya sudah masuk dari
Amerika, Jerman Barat dan Australia itu belum juga nongol. "Apa
akibat peraturan 15 Nopember, saya sendiri belum pasti," kata
eksportir itu. Tapi yang pasti, harga bahan baku seperti benang
celup membubung dari Rp 250 ribu menjadi Rp 360 ribu per bal
sekarang. Ucapan senada datang dari eksportir barang kerajinan
Fa. Siadja.
Para pengrajin patung seperti Made Murda, 25 tahun, dari Desa
Mas rupanya tak tahu menahu tentang adanya kebijaksanaan harga
yang ingin memperbaiki hidup mereka. Asyik menyelesaikan sebuah
patung, dia sendiri terkejut ketika harga bahan kelontong
meningkat di desanya. Maka para pengrajin itupun minta upahnya
dinaikkan sedikit. "Yah, itu risiko kami," sambut W.G. Siadja,
pengusaha yang menampung 30 pengrajin di Desa Mas.
Yang juga merasa runyam adalah Ny. Prihadi, juragan kerajinan
rakyat dan batik di Surabaya. Sudah tiga tahun ini Ny. Hadi
mengekspor kaki meja ke London. Setiap tahun bisa dua atau tiga
kali ekspor masing-masing 1000 sampai 1.500 kaki. Permulaan
Oktober lalu ia terima order besar. Tapi sang nyonya jadi
bingung karena LC belum juga dibuka sampai pertengahan Nopember.
Dia juga kewalahan karena dua partner-nya di Swiss dan Jerman
Barat --untuk kerajinan bambu dan batik -- sudah mengetok kawat
minta harga beli mereka diturunkan.
Di Jakarta, dari 5 perusahaan mebel yang ditanyai di Klender,
semuanya menyatakan lagi "payah". M. Saleh, jebolan APP yang
kini buka pangkalan di Klender, percaya kelesuan itu akibat
K-15-N. Tapi dia tak menaikkan harganya. Beberapa rekannya
seperti Haji M. Rais dan Moh. Zen juga tak memasang tarip baru.
Takut dihukum Pak Domo? "Bukan apa-apa," kata Saleh. "Jangankan
naik, dengan harga sekarang saja yang beli jarang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini