Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Suntikan Itu Belum Mujarab

Arus ekspor hasil pertanian dan kerajinan setelah kenop 15 belum tampak naik. Di luar negeri harga karet diberitakan turun akibat singapura dan Malaysia melepas persediaan karetnya. (eb)

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNTIKAN K-15-N belum serentak membuat segar berbagai bidang pertanian untuk ekspor. Di sana-sini memang diharapkan suntikan itu bisa mujarab. Tapi ada juga yang masih lesu, bahkan merasa makin payah. Yang terakhir itu, seperti juga dikatakan oleh Menko Ekuin Widjojo Nitisastro kepada TEMPO (lihat wawancara), terutama disebabkan dua hal masih banyaknya pungutan dan harga bahan kebutuhan sehari-hari di dalam negeri naik suhu harganya secara tidak karuan. Tapi ada pula sebab lain. Berikut ini adalah rangkaian laporan para koresponden di Jakarta dan daerah yang menyimak perkembangan terakhir dari beberapa komoditi pertanian dan kerajinan: Arus komoditi ekspor lewat pelabuhan Belawan setelah suntikan K-15-N sampai pekan lalu belum tampak meningkat. Pihak Kanwil Departemen Perdagangan Sumatera Utara juga belum mengumumkan suatu angka baru, dan minta TEMPO agar "bersabar dulu." Suasana di pelabuhan Belawan juga masih seperti di hari-hari kemarin. Tapi Asisten Ekonomi Kantor Gubernur Sumatera Utara A. Hakim Nasution menyebutkan adanya "perintah" mengosongkan gudang-gudang yang ada di Belawan, yang masih dipakai menyimpan barang-barang eks impor yang belum diangkut ke Medan. Orangpun menduga adanya perintah begitu untuk berjaga-jaga menampung kelancaran komoditi ekspor sebelum dikapalkan. Adakah gudang-gudang itu akan dipenuhi barang ekspor masih perlu ditunggu. Tapi yang kelihatannya meningkat adalah ekspor sayur-mayur. Sampai 20 Nopember, lewat pelabuhan Belawan tak kurang dari 75 ton sayur mayur asal Karo yang dilego ke Singapura dan Malaysia. Angin baik itu memang sudah mulai sebelum pertengahan Nopember. Di bulan April ekspor sayur untuk kedua negara tetangga itu masih 354 ton. Lalu Mei melonjak menyolok menjadi 1.294 ton. Dan sampai Juni menjadi 1.755 ton dengan nilai US$ 280 ribu. Setelah itu terus bertahan, hingga 20 Nopember meningkat lagi. Gerakan Importir Namun karet belum kelihatan menderas. Para pembeli atau eksportir masih saja memperlihatkan gelagat menunggu angin dulu sampai ada harga patokan (HP) yang pasti. Atau apakah HP itu masih dipakai yang lama? Kenyataannya, jika sebelum 15 Nopember harga getah lump Rp 350 per kg, kini jadi Rp 540 per kg. "Ini berarti kenaikan dari harga dasar sampai 50%," ucap seorang pedagang karet di Medan. Suasana yang serupa juga terasa di Jambi. Pool Lelang karet di ibukota kabupaten itu naik tak tanggung-tanggung: sekitar 50%. Sekalipun nikmat karet itu belum lagi menyelusup ke dompet petani karet di daerah pedesaan. Dari Kalimantan Selatan juga terbetik berita yang senada. Kesunyian sempat melanda pasaran karet di hampir seluruh daerah itu selama sepekan setelah K-15-N. Tapi sejak 22 Nopember pasaran mendadak semarak. Dan harga yang dinanti-nanti betul tiba. Catatan koresponden TEMPO di Banjarmasin, harga karet (asalan) sampai 30 Nopember bermain antara Rp 450 - Rp 480 sekilo. Sayangnya, kabar gembira untuk petani itu sempat juga kena senggolan harga-harga kebutuhan pokok yang mendadak kumat di pasaran. Dan para eksportir? Mereka umumnya senang juga, meski di sana sini masih ada yang menggerutu. Antara lain, seperti dikatakan seorang eksportir, sejak 15 sampai 26 Nopember, di New York harga karet Indonesia rata-rata turun US$ 1 sen. Tapi di Singapura harga karet Indonesia berhasil ditekan turun antara 7 sampai 8 sen dollar sana. U. Tarigan, salah seorang pengurus Gapkindo Kalsel, menduga turunnya harga di pasaran luar negeri itu disebabkan Singapura dan Malaysia "melepas sebagian persediaan karetnya." Tapi beberapa eksportir di Banjarmasin akhir pekan lalu berkesimpulan "harga di luar sudah kembali normal." Adanya semacam gerakan menurunkan harga barang ekspor dari Indonesia juga dikemukakan eksportir akar bahar Syafiuddin di Ujungpandang. Juga mengekspor kopi, pedagang itu merasa jengkel karena importir di luar negeri bisa mempermainkan harga kopi dari US$ 2.80 menjadi US$ 2.40 per kg. Dan W. Wilar, eksportir rotan terbesar di Indonesia Timur, mengaku tak membuka kontrak baru dan hanya menyelesaikan kontrak lama. Memperlihatkan kawat dari Amsterdam, Direktur Fa. Mahawu itu merasa bingung juga. "Importir di Belanda minta bagian dengan menurunkan harga rotan, sedang pembelian di dalam negeri naik," katanya. Menurut Mansyur Syarif dari Pondok Kerajinan Indonesia (kelompok PT Kerta Niaga dan Aduma Niaga) kenaikan harga rotan di dalam negeri itu antara 50 sampai 75%. Bahkan ada yang mencapai 100%, seperti rotan Manau dari Kalimantan, berdiameter 3,5 cm, yang semula Rp 350 per batang. Belum Nongol Yang juga belum bernasib baik adalah ekspor kerajinan tangan dari Bali. Biasanya pada Nopember-Desember pesanan meningkat. Tapi menurut eksportir dari Fa. Nuratni, tergolong tertua di Bali, sampai sekarang pesanan yang biasanya sudah masuk dari Amerika, Jerman Barat dan Australia itu belum juga nongol. "Apa akibat peraturan 15 Nopember, saya sendiri belum pasti," kata eksportir itu. Tapi yang pasti, harga bahan baku seperti benang celup membubung dari Rp 250 ribu menjadi Rp 360 ribu per bal sekarang. Ucapan senada datang dari eksportir barang kerajinan Fa. Siadja. Para pengrajin patung seperti Made Murda, 25 tahun, dari Desa Mas rupanya tak tahu menahu tentang adanya kebijaksanaan harga yang ingin memperbaiki hidup mereka. Asyik menyelesaikan sebuah patung, dia sendiri terkejut ketika harga bahan kelontong meningkat di desanya. Maka para pengrajin itupun minta upahnya dinaikkan sedikit. "Yah, itu risiko kami," sambut W.G. Siadja, pengusaha yang menampung 30 pengrajin di Desa Mas. Yang juga merasa runyam adalah Ny. Prihadi, juragan kerajinan rakyat dan batik di Surabaya. Sudah tiga tahun ini Ny. Hadi mengekspor kaki meja ke London. Setiap tahun bisa dua atau tiga kali ekspor masing-masing 1000 sampai 1.500 kaki. Permulaan Oktober lalu ia terima order besar. Tapi sang nyonya jadi bingung karena LC belum juga dibuka sampai pertengahan Nopember. Dia juga kewalahan karena dua partner-nya di Swiss dan Jerman Barat --untuk kerajinan bambu dan batik -- sudah mengetok kawat minta harga beli mereka diturunkan. Di Jakarta, dari 5 perusahaan mebel yang ditanyai di Klender, semuanya menyatakan lagi "payah". M. Saleh, jebolan APP yang kini buka pangkalan di Klender, percaya kelesuan itu akibat K-15-N. Tapi dia tak menaikkan harganya. Beberapa rekannya seperti Haji M. Rais dan Moh. Zen juga tak memasang tarip baru. Takut dihukum Pak Domo? "Bukan apa-apa," kata Saleh. "Jangankan naik, dengan harga sekarang saja yang beli jarang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus