Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Haryanto Menunggu Keajaiban

Pembengkakan otak Haryanto sudah hilang. Tapi ada gejala awal penciutan otak. Diperkirakan, ia akan koma dalam jangka waktu lama.

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUH kurus Haryanto terbujur di bangsal Perinatology Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Kepalanya hampir selalu mendongak, sehingga lehernya yang dibebat penyangga berwarna cokelat tua terlihat jelas. Dadanya turun naik, seiring dengan keluar-masuknya udara di paru-parunya. Kedua matanya berulang kali berkedip, meski kentara betul tatapannya kosong. Dari balik kaca bangsal terlihat baju pasien warna biru membungkus bagian pinggang ke atas tubuh tak berdaya itu. Kain putih, yang dilapisi selimut tebal cokelat bermotif kembang-kembang, menutup bagian bawah. Sebuah selang kecil menancap di hidungnya untuk menyuplai makanan yang langsung menuju lambung. Satu selang lagi yang biasa dipakai untuk memasok oksigen sudah dicabut sejak pertengahan pekan lalu. Selang infus juga sudah tak lagi terlihat. Jika baju birunya disingkap, di dadanya masih menempel sejumlah kabel yang dihubungkan ke alat pemantau jantung—hasilnya terlihat di layar monitor yang dipasang di sisi kanan atas pasien. Setelah hampir sebulan dirawat dokter, termasuk empat hari di Rumah Sakit Dr. Slamet, Garut, kondisi Haryanto memang menunjukkan tanda-tanda membaik. Ia sudah melakukan gerakan yang lebih kuat dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Kemajuan lain: makanan yang diberikan lewat selang menuju lambung jalannya lancar, dan semakin banyak jumlah yang bisa diserap. Dokter bahkan sudah mencoba memberikan cairan makanan langsung ke mulut, tak melalui selang, meski hanya beberapa tetes. "Masih uji coba. Itu kita lakukan untuk mengetahui refleks telan Haryanto. Hasilnya, refleks telannya ada, tapi belum begitu baik," kata dr. Suganda Tanuwidjaja, ketua tim medis kasus Haryanto, kepada TEMPO pekan lalu. Bocah 12 tahun murid kelas VI SD asal Garut, Jawa Barat, itu pada akhir bulan lalu mencoba bunuh diri dengan menjeratkan kabel telepon di lehernya. Ia melakukan tindakan nekat itu—yang menyebabkan pembengkakan sel-sel otak karena kekurangan suplai oksigen—hanya gara-gara tak sanggup membayar uang keterampilan Rp 2.500 di sekolahnya, SDN Muara Sanding VI, Kecamatan Garut Kota. Akibatnya, sejauh ini ia belum juga sadar alias koma. Inilah yang menyebabkan harapan agar Haryanto bisa hidup normal kembali—hal yang dipintakan oleh berbagai kalangan yang bersimpati—tampaknya sulit terkabul. Menurut Suganda, lumpuh, otot-otot kaku, atau kejang-kejang mungkin akan terus membayang. Kondisi terburuk, yakni Haryanto dalam keadaan koma terus, bahkan bisa terjadi. Hasil CT scan yang dilakukan dua pekan lalu menunjukkan adanya tanda-tanda awal penciutan otak, meski pembengkakan otaknya sendiri sudah hilang. Suganda menjelaskan, penciutan itu terjadi hampir di seluruh otak, baik otak kanan (yang menghasilkan pikiran kreatif dan artistik) maupun otak kiri (yang mengatur kemampuan kognitif dan cara berpikir logis bagi seseorang). Bagian otak seperti korteks atau neokorteks untuk berpikir, sistem limbik yang mengurusi emosi, hemisfer kiri yang mengatur kemampuan bicara, berbahasa, membaca, menulis, dan berhitung, serta hemisfer kanan yang berfungsi mengatur kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, dan emosi, sama saja: hampir semuanya rusak. Ini masalah serius. Sebab, sel-sel otak yang sudah telanjur rusak, "Tak bisa diganti sel baru," kata Suganda. Memang, peluang bagi Haryanto untuk tetap hidup selalu ada. Cuma, seperti apa kualitasnya, itu yang masih menjadi tanda tanya. Maka, upaya mengoptimalkan sel-sel otak Haryanto yang masih bagus—meski persentasenya kecil—menjadi sangat penting. Karena itu, tim medis terus merangsang dan memberikan stimulus kepada Haryanto. Pada indra pendengar, misalnya. Kadang-kadang diperdengarkan lagu-lagu kasidah, musik kesukaan Haryanto. Anggota keluarga yang menunggu pun diminta mengajak Haryanto bicara. Indra pencecap, termasuk refleks telan, juga dirangsang dengan memberikan cairan makanan langsung ke mulut. Siapa tahu, dengan langkah-langkah itu, keajaiban yang sempat dialami Terry Wallis, yang sudah koma 19 tahun dan kemudian sadar, dapat terulang (baca Mom, Pepsi, dan Milk). Untuk mengetahui perkembangan Haryanto, tim dokter akan terus-menerus memantau. Jika sudah tak membutuhkan pemantauan intensif, ia bisa ditempatkan di bangsal anak biasa, non-PICU. Bila kondisinya terus membaik, mungkin ia bisa dirawat di Rumah Sakit Dr. Slamet, Garut. Tidak mustahil suatu saat Haryanto bisa dirawat di rumah. Untuk kepentingan ini, keluarganya akan dilatih sampai dinyatakan bisa merawat Haryanto. Harapan hidup normal bagi Haryanto mungkin susah didapat. Tapi semangat Suryana dan sanak keluarganya untuk terus menunggui Haryanto tak patah. Dalam keseharian mereka berkumpul di ruang terbuka di lantai dua rumah sakit, sekitar 20 meter dari bangsal Haryanto. Beralaskan tikar plastik dan tikar benang yang sebagian sudah robek, mereka tepekur dan rajin mendaras doa. Selain itu, Suryana juga terlihat berulang kali menerima simpati dari berbagai kalangan. "Semoga Haryanto cepat sembuh, Pak!" Begitulah ungkapan yang sering didengarnya. Suryana pun manggut-manggut, mengamini doa orang-orang yang baru pertama kali ditemuinya itu. Sesudahnya, Suryana kembali duduk tepekur. Berulang kali, tangan kuli angkut pasar itu menggenggam jari-jari kakinya. Ia mengaku sempat bungah tatkala Haryanto bisa membuka mata, bergerak-gerak, dan tak lagi diinfus. Tapi, begitu diberi tahu bahwa anaknya mungkin akan koma dalam jangka waktu lama, "Saya seperti orang linglung," katanya. Selepas bicara begitu, matanya yang sayu berulang kali menatap lantai ruangan rumah sakit. Apa yang ada di benaknya saat itu, tak seorang pun tahu. Dwi Wiyana (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus