Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Hijau demi Bumi

Mereka adalah penganut gaya hidup pelestari lingkungan. Agar planet bumi ini tak kian sakit.

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KE mana pun pergi, Nugie, 37 tahun, rela bersusah payah. Penyanyi ini ogah menunggang sepeda motor atau duduk manis di dalam mobil, melainkan lebih suka menggenjot sepedanya. Bukan hanya saat menonton film di Jakarta, tapi juga ketika bepergian ke luar kota. Sepedanya memang keren. Sekali gerakan, sepeda langsung terlipat. Dia pun tinggal menentengnya.

Sepeda menjadi bagian dari hidup pemilik nama lengkap Agustinus Gusti Nugraha ini. Menurut dia, hal itu sudah dilakukannya sejak kecil. ”Sekarang lebih serius,” katanya. Itu sebabnya, koleksi sepedanya bejibun. Ada yang model klasik seperti onthel, sepeda gunung, untuk balapan, sampai BMX.

Jadi, bersiaplah kalau bertemu dengannya. Setelah banyak obrol sana-sini, ujung-ujungnya dia mencoba me­nu­larkan kesenangannya itu. ­Tapi dia punya tujuan mulia: mari mengurangi emisi gas dari kendaraan ber­motor.

Nugie rupanya tengah menjalankan­ lelaku. Bukan mutih melainkan ngijo alias hidup hijau, demi kebaikan dan kesehatan bumi. Tak hanya bersepeda, di halaman rumahnya ia membuat lubang biopori, yang berfungsi menyerap air. ”Sepertiga pekarangan rumah aku tanami buah-buahan dan bunga. Biar hijau,” katanya.

Bumi memang makin tua. Layaknya manusia yang sudah renta, berbagai penyakit datang menggempur. Di langit, lapisan ozon yang jadi atap bumi sudah bocor di sana-sini. Terjadilah pemanas­an global. Bumi makin panas.

Nah, isu ini kemudian menjadi perbincangan. Di seluruh dunia, orang berteriak dan bertindak menjaga pla­net ini. Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi beban bumi.

Yang paling gres, Sabtu dua pekan­ lalu, World Wildlife Fund (WWF) mencanangkan acara Earth Hour, yang ­mengajak seluruh penduduk dunia memadamkan lampu dalam waktu sa­tu jam. Meski jalan dan rumah-rumah­ gelap gulita, tindakan ini berhasil menghemat pemakaian bahan bakar minyak, salah satunya, yang mengge­rakkan tenaga pembangkit listrik.

”Satu Jam untuk Bumi” ini sebenarnya merupakan bukti dari akumu­lasi perhatian manusia di berbagai belahan­ bumi untuk lebih sayang terhadap ­pla­net ini. Gaya hidup hijau pun lebih tampak masif di mana-mana, tentu saja termasuk di negeri ini. Meskipun tidak tertutup kemungkinan munculnya banyak snob, yang menganggap ”hijau” sebagai sesuatu yang keren dan tren, bukan memaknainya secara lebih ­esensial.

Tapi, tanpa harus menghakimi, yang pasti gaya hidup hijau kian banyak peminatnya, terutama di kalangan anak muda, termasuk artis. Komunitasnya pun bermunculan. Ada yang berkomitmen bersepeda di belantara asap knalpot di Jakarta dan kota besar lainnya. Komunitas lainnya mengadopsi pohon dan membuat sungai yang lebih bersih di kota besar.

Nah, mereka yang bukan sekadar pendatang baru tentu sudah melangkah lebih jauh. Bersepeda saja tidaklah cukup. Mereka juga membuat aksi lainnya: anti-memakan daging, menolak pemakaian plastik berlebihan apalagi Styrofoam, dan mengelola sampah rumah sendiri. Istilah kata, mereka hijau luar-dalam atau green all the way.

Mari kita bertandang ke Bandung. David Sutasurya, 38 tahun, menanami halaman sempit rumahnya dengan berbagai sayuran dan tanaman obat. Hasil kebunnya digunakan untuk kebutuhan sendiri. Untuk perawatannya, dia ogah menggunakan pestisida, tapi dengan pupuk organik hasil kompos buatan sendiri.

David punya cara dalam membuat kompos itu, yakni dengan jalan membuat Keranjang Takakura, penemuan lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Surabaya yang dibantu peneliti Jepang. Nah, sampah organik dimasukkan bersama bahan pengembang kompos ke dalam keranjang yang sudah dilapisi kertas kardus.

Menurut David, dengan buangan sekitar satu kilogram per hari, keranjang kompos itu baru penuh setelah 2-3 bulan. ”Bobot sampah saya menyusut seperlima lebih,” katanya.

Hasilnya lumayan. Keluarga kecilnya telah menuai panen dua bulan lalu. Kini pendiri Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) yang didirikannya pada 1993 itu tengah menjajal menanam padi di sejumlah pot. David menularkan kebiasaan ini kepada istri dan seorang anaknya yang masih kecil di rumah.

Alfred Sitorus, 27 tahun, adalah manusia hijau yang lain. Pekarangan rumahnya di kawasan Kampung Utan, Depok, Jawa Barat, penuh dengan tumbuhan, mulai da­ri keperluan untuk jamu, kemangi untuk lalapan, hingga singkong. Lelaki ini juga pengikut gaya hidup hijau: pupuk yang digunakan dibuat dari sampah rumahnya. ”Nanti, setelah diolah, ditebar lagi di kebun,” katanya.

Sampah plastik dia kumpulkan, dan selanjutnya diberikan ke pemulung. Sama halnya dengan Nugie, Alfred pun lebih sering menggunakan sepeda lipatnya. Tidak saja untuk pergi ke kantornya, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, tapi juga saat menghadiri pertemuan untuk urusan pekerjaannya. Mudah, kok, dia naik sepeda ke stasiun atau halte busway terdekat. Tinggal lipat, sepeda itu pun turut bersamanya.

Ragam macam orang menjadi ”hijau”. Alfred memulai cara hidup ini setelah didera berbagai pengalaman yang kurang menyenangkan. Sejak 1993, di kampung halamannya di Sumatera Utara, dia sudah terlibat demonstrasi menentang pencemaran yang dilakukan sebuah perusahaan kertas dan bubur kertas.

Tak cuma Alfred, ayah-ibunya juga sempat ditahan dua dan satu tahun gara-gara melawan per­usahaan besar itu. Ayahnya bebas pada 2003, gantian ibunya masuk pada 2004. Dengan latar belakang pengalaman hidupnya itu, Alfred menjadi punya prinsip: bumi ini jangan disakiti. Untuk itu, dia melanglang buana ke berbagai lembaga swadaya masyarakat yang menjaga lingkungan.

Untuk punya komitmen dengan gaya hidup hijau tak perlu melalui tekanan seperti Alfred. Nita Roshita memulai hidup hijaunya semata karena pekerjaannya. Perempuan berusia 31 tahun ini mendadak menjadi hijau setelah bekerja sebagai Kepala Bagian Siaran Green Radio, stasiun radio yang menawarkan sebuah gaya hidup hijau, setahun lalu. Sejak itulah ia mencari tahu ihwal gaya hidup hijau. ”Masak kita mengajak orang tapi kita enggak ngasih contoh,” katanya.

Dia pun memulainya dari hal yang sederhana. Saban berbelanja, dia membawa kantong sendiri. ”Tapi kalau memang bisa saya bawa dengan tangan, saya enggak mau pakai plastik,” katanya. Langkah ini tak lain dilakukan untuk mengurangi penggunaan plastik yang memang sulit hancur dalam waktu ratusan tahun.

Lambat laun, ”virus” hijaunya me­rambat ke mana-mana, termasuk soal makanan. Nita kini memilih menjadi vegetarian, meski tidak murni karena ia masih mengkonsumsi ikan. Ada maksudnya, dia ingin hutan di negeri ini tetap lestari. Dia menunjuk contoh, berkurangnya hutan di Jawa Barat karena ditanami rumput untuk keperluan peternakan sapi.

Dia pun menghindari penggunaan Styrofoam. Untuk yang ini, tidak ada tawar-menawar. Pernah untuk keperluan konsumsi sebuah acara, ia harus berputar-putar mencari rumah makan yang tidak menggunakan Styrofoam. Tapi, di Jakarta, ternyata sulit menemukan warung makan anti-Styrofoam. Maklum, harganya amat murah. ”Akhirnya, ketemu di daerah Senayan, rumah makan padang yang pakai kotak,” katanya mengenang.

Merepotkan, memang. Tapi inilah cara hidup yang mereka pilih agar pla­net tidak semakin sakit.

Irfan Budiman, Iqbal Muhtarom, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus