MERASA pengaduannya setahun tak diperhatikan, Nyonya Yurhani, 46 tahun, Senin pekan lalu menulis surat lagi ke Kapolres Manna. Kali ini, surat pengaduan ibu dari tujuh anak itu terhadap Julaga L. Tobing, dokter umum di Rumah Sakit Umum Manna, Bengkulu, yang dipersalahkan oleh Yurhani melakukan tindakan penguretan tanpa izin atas anak gadisnya ditembuskannya ke Kapolri Letjen Banurusman, dengan harapan ka- sus tersebut lebih diperhatikan. Kasus penguretan itu terjadi ketika anak gadis Yurhani yang bernama Fitria (bukan nama sebenarnya) waktu itu 15 tahun dilarikan ke RSU Manna karena menstruasinya tak normal. Fitria mengalami pendarahan banyak pada hari kelima siklus menstruasinya. Ketika gadis itu tiba di ruang unit gawat darurat, Julaga L. Tobing, dokter piket pada hari itu, mendiagnosanya. ''Di dalam rahim anak itu banyak gumpalan darah yang menunjukkan bahwa ia mengalami abortus,'' ujar Julaga. Lalu, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta itu, tanpa minta izin orang tua pasien, membersihkan rahim Fitria dengan cara kuretasi. Masalahnya, Fitria, sebagaimana pengakuannya, waktu itu masih perawan. Bagaimana mungkin seorang perawan bisa keguguran? Pendarahan yang banyak itu, menurutnya, terjadi tiba-tiba. ''Saya bermimpi pipis, tapi ketika bangun ternyata ada pendarahan,'' ungkap gadis yang sekarang duduk di bangku SMA ini. Malam itu juga Fitria dibawa ibunya ke RSU Manna. Dan setelah diberi pertolongan pertama berupa pemberian cairan infus, ia lalu dibawa ke ruang operasi. Ketika Fitria akan dikuret, Yurhani sempat protes kepada Julaga. ''Dokter, jangan lakukan itu. Anak saya masih gadis,'' katanya setengah berteriak. Fitria juga menolak dikuret. Tapi protes ibu dan anak itu tak digubris. Saking marahnya, Yurhani membawa pulang Fitria, yang masih terbaring lemah setelah dioperasi selama dua jam, dengan paksa. Semula, Yurhani mengaku tidak berniat melaporkan kasus ini kepada polisi, asalkan Julaga bersedia membuat surat pernyataan bahwa hilangnya keperawanan Fitria disebabkan tindakan kuretasi, bukan abortus. Surat pernyataan itu, menurut Yurhani, akan diumumkan dalam suatu upacara adat. ''Kami malu, abortus anak kami sudah merebak ke seluruh kampung,'' katanya, ''padahal Fitria cuma mengalami kelainan menstruasi.'' Hanya saja, untuk upacara adat itu, Yurhani minta agar Julaga menyediakan biaya Rp 25 juta. Dan permintaan tersebut ditolak yang bersangkutan. Saking kesalnya karena permintaannya tak digubris, Yurhani, Mei tahun silam, mengadukan kasus penguretan Fitria itu kepada polisi. Mengapa Julaga L. Tobing melakukan tindakan penguretan? ''Ketika dibawa ke rumah sakit, pasien dalam keadaan lemas dan pucat, banyak keluar darah. Kami harus bekerja cepat menyelamatkan jiwanya,'' kata dokter umum itu. Kepala RSU Manna, Dokter Sri Riswati, mengaku terus terang tidak tahu persis apa yang diderita Fitria ketika itu. ''Kalau benar pasien tersebut mengalami abortus, memang tindakan medis seperti itulah yang harus dilakukan,'' ujar Sri Riswati. Adapun Julaga, yang belum memiliki kualifikasi sebagai dokter ahli yang diizinkan melakukan operasi, menurut Sri Riswati, dalam kondisi seperti itu, sebagai seorang dokter umum boleh saja melakukan kuretasi. Di RSU Manna hanya ada empat dokter umum dan seorang dokter anak, dan belum seorang pun di antara mereka yang memiliki kualifikasi ahli untuk melakukan operasi. Mengenai tindakan darurat yang dilakukan anak buahnya, Sri Riswati menduga bahwa darah yang keluar dari rahim Fitria tidak lancar, dan menimbulkan gumpalan hitam, sehingga pemeriksa berkesimpulan terjadi abortus. ''Dengan mata telanjang saja, seorang dokter tahu pasien abortus,'' katanya. Mengapa ketika itu tidak dilakukan tes urine sebagaimana pemeriksaan terhadap wanita hamil? ''Tes urine hasilnya malah akan negatif,'' ujar lulusan Fakultas Kedokteran UNS Solo itu. Bagaimana dengan izin melakukan operasi dari keluarga pasien? ''Ada izin, kok. Kalau tidak, untuk apa saya melakukan kuretasi,'' kata Julaga. Ternyata izin itu ditandatangani oleh seorang bidan, saudara sepupu Fitria, yang membantu proses kuretasi. Tapi, menurut seorang saksi, izin itu ditandatangani setelah kuretasi selesai dan tanpa diketahui Yurhani. Itu sebabnya Yurhani menggugat Julaga. Lantas, mengapa pengaduan Yurhani ke polisi tak disidik? Bahkan, sampai saat ini Kejaksaan Negeri Manna belum menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, salah satu prosedur yang harus ditempuh polisi. Menurut sebuah sumber di Polwil Bengkulu, penyidikan kasus Fitria tersendat karena ada keterangan dokter ahli, Jayadi Hoesin, yang menguntungkan Julaga. Jayadi, ahli kebidanan dan penyakit kandungan, menyimpulkan kasus ini bukan malapraktek. ''Yang pasti, anak itu kan sembuh,'' katanya kepada TEMPO. Ia menolak menjelaskan kesaksiannya di depan penyidik karena terikat oleh kode etik kedokteran. Tapi, Pengacara Ansjari Bachsin tetap menganggap kasus itu malapraktek. Menunjuk KUHAP tentang pertanggungjawaban dokter, pengacara keluarga Yurhani itu mengingatkan bahwa saksi ahli dalam kasus malapraktek minimal harus tiga orang. Itu sebabnya Ansjari minta agar kasus ini diputuskan di pengadilan. ''Secara fisik, Fitria memang sudah sehat. Tapi, akibat kecerobohan dokter, kegadisan anak itu hilang dan namanya tercemar,'' ujarnya. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Provinsi Bengkulu, Wahyu Sudarsono, juga setuju jika kasus ini dibawa ke pengadilan. ''Saya belum menerima laporan resmi. Tapi, agar jelas siapa yang bersalah, perkara ini sebaiknya diajukan saja ke pengadilan,'' ujarnya. Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini