Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUTET Kartaredjasa punya ritual baru tiap pagi. Bangun, menyambar koran sambil menyesap teh, lalu membuka laptop. Seniman asal Yogyakarta ini juga selalu mengunci malam dengan Internet—bahkan sampai tertidur di depan komputer. Demi memuluskan hobi barunya, pria 47 tahun ini memasang Wi-Fi di rumah agar bisa online di sudut mana pun. Termasuk di kakus. ”Asem tenan, aku jadi kecanduan,” katanya.
Candu itu bernama Facebook. Pada 4 Februari lalu, situs pertemanan di Internet ini genap lima tahun. Situs buatan Mark Zuckerberg—baru berusia 24 tahun—ini telah ”menyihir” lebih dari 150 juta pengguna aktif di seluruh dunia. Tujuh puluh persen berada di luar Amerika Serikat.
Ia melumat situs jejaring sosial yang lebih dulu ada, seperti Friendster dan Multiply. Facebook memiliki sederet fitur yang memungkinkan penggunanya berinteraksi langsung (real time), seperti chatting, tag foto, blog, game, dan update status ”what are you doing now”. Semua ini membuat situs sosial pendahulunya terasa kuno. Facebook juga mengubah perilaku pemilik blog. Menjual diri melalui blog ibarat membuka kios sendiri di pinggir jalan, sedangkan di Facebook bagai membuka toko di mal, sehingga pengunjungnya pun lebih banyak.
Facebook adalah revolusi kecil dunia Internet yang mengubah gaya hidup sebagian kelas menengah. Majalah Time di pengujung 2008 menobatkan Zuckerberg, alumnus Harvard University, sebagai salah satu dari The World’s Most Influential People.
Facebook memang mainan baru yang memikat banyak orang. Butet, sejak Agustus tahun lalu, menghabiskan sedikitnya lima jam di depan situs pergaulan ini. Setiap hari permintaan menjadi teman berlimpah ruah. Hingga pekan lalu, ada 10.150 nama yang belum ia setujui. Bukan karena pilih-pilih, melainkan lantaran kuotanya memang cuma 5.000. ”Harusnya jangan dibatasi, ya, supaya bisa masuk semua,” ujarnya.
Butet juga rajin mengisi status—melaporkan apa yang sedang dilakukan—di Facebook setidaknya enam kali sehari. Pekan lalu, ia menulis: ”nggak bayar gudeg, ditraktir caleg yang masih wakil rakyat.” Atau, ketika sedang mengisi acara ulang tahun harian Suara Merdeka, ia mencantumkan status: ”sedang ngoceh di Patrajasa sebagai Celathu dalam Presiden Guyonan.”
Meski terlihat guyon, Butet mungkin masih menjaga citra dengan tak sembarangan menaruh status yang terlampau personal. Tapi tidak bagi banyak pengguna Facebook lain. Amril Taufik Gobel, misalnya. Pria 38 tahun ini tak ragu mencantumkan status kegiatan hariannya, dari ”baru sarapan dan bersiap untuk mandi” hingga ”mengantuk kena hembusan AC bis di Tol Cikunir.” Bahkan, saat tengah malam terbangun, ayah dua anak ini mengumumkan status: ”Mau bangunin istri nanya indomie gak tega rasanya.”
Ia tak selalu melakukannya di depan komputer, tapi lebih sering dengan HelloTxt.com di telepon seluler. Aplikasi ini secara otomatis mengubah status di tiga situs pertemanan yang ia ikuti: Facebook, Twitter, dan Plurk. Tak aneh jika statusnya selalu berubah seiring dengan aktivitas hariannya. ”Kesan seseorang yang ramah dan terbuka dapat dilihat dari seaktif apa ia meng-update status, seremeh apa pun itu,” tutur pegiat blog ini.
Nova Riyanti Yusuf juga menebar pesona lewat Facebook. Dokter muda yang juga novelis itu secara sadar menjadikan situs pertemanan ini sebagai sarana pencitraan diri. Maka calon anggota legislatif dari Partai Demokrat itu pun ”jual diri” lewat situs ini. Bukan dengan kampanye program yang ”basi”, melainkan lewat sentuhan personal.
Ia pun sering curhat—mencurahkan isi hati—melalui Facebook, dari soal perkembangan rapat partai hingga urusan remeh-temeh seperti ”pake salonpas gel krn cedera lutut” atau ”di loteng ada bunyi2. Takyuuuuut….”
Meski tak seekspresif Nova, anggota Dewan Perwakilan Rakyat lain, Ferry Mursyidan Baldan, juga memanfaatkan Facebook untuk memoles citra. ”Facebook seperti ruang terbuka, tempat saya berkomunikasi dengan publik,” katanya. Itu sebabnya, di sela rapat kerja atau sidang parlemen, Ferry kerap terlihat sibuk memencet-mencet notebook Toshiba-nya atau telepon seluler Nokia E71-nya. ”Saya melaporkan jalannya rapat dan melihat respons kawan-kawan,” kata anggota Dewan dari Fraksi Golkar ini.
Pada 5 Februari lalu, ketika rapat Komisi Pemerintahan tentang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta berlangsung. Ferry menulis status di Facebook: ”rapat Komisi 2 dg HB X ttg RUU keistimewaan DIY.” Status itu langsung ditanggapi 11 orang. ”Komentar itu, termasuk yang berbahasa Jawa, langsung saya sampaikan di rapat,” kata Ferry. Rekan-rekan di komisinya sempat terpukau mendengar pria Aceh yang besar di lingkungan Sunda itu tiba-tiba bisa mampu bertutur Jawa.
Dalam sehari Ferry mengganti statusnya hingga lima kali, sesuai dengan agendanya hari itu. Ketika akan bertemu dengan wartawan Tempo, ia mencantumkan status: ”Ferry sekarang di DPR janji wwcr dgn Andra Tempo jam 11.” Berkat Facebook, wartawan kini punya cara lebih mudah mengontak dan mengecek keberadaan Ferry.
Selain lantaran urusan gonta-ganti status, banyak orang kepincut Facebook karena bisa saling memberikan komentar—di foto atau di note (catatan sejenis blog dalam Facebook). Salah satunya Pitoresmi Pujiningsih, 27 tahun. Karyawati Java Public Relations ini sering menuliskan komentar di dinding (wall), menanggapi status, dan menandai (tag) orang dalam note-nya.
Meski punya blog dan terdaftar di sejumlah situs pertemanan lain, Pito mengidolakan Facebook. Ia paling gemar mengomentari orang atau memancing komentar teman di Facebook. ”Senang karena selalu ada yang ditunggu-tunggu,” kata gadis yang biasa menggunakan fasilitas hotspot di kafe-kafe di Jakarta ini. Dalam sehari ia bisa mengganti status hingga sepuluh kali. ”Sekadar memancing reaksi orang, terutama kalau lagi bosan di kantor,” katanya.
Kegandrungan akan Facebook makin menjadi dengan hadirnya ”senjata” bernama BlackBerry. Bahkan Facebook sukses melambungkan angka penjualan gadget tersebut di Tanah Air. Tengoklah pengalaman Riana Adhani, 36 tahun, saat mengaktifkan BlackBerry barunya dua pekan lalu. Karyawati sebuah bank asing di Jalan Jenderal Sudirman ini datang ke Pusat Pelayanan Telkomsel di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Tiba pukul 10.30, ibu dua anak ini mendapat nomor antrean 232. Semuanya pendaftar baru BlackBerry!
Fenomena ini diakui Telkomsel. Akhir tahun lalu, Telkomsel sukses mendulang hampir 9.500 pelanggan baru BlackBerry—angka penjualan tertinggi se-Asia Pasifik. Manajer Corporate Communications Telkomsel Suryo Hadiyanto menyatakan popularitas Facebook memicu gairah orang ber-BlackBerry-ria. ”Facebook dan situs berita paling sering diakses,” katanya.
Group Head Brand Marketing Indosat, Teguh Prasetya, meluapkan hal senada. Sejak Agustus 2008, jumlah pemakai ”Berry hitam” ini meningkat 30 persen tiap bulannya. BlackBerry Indosat, katanya, paling banyak dipakai untuk mengecek e-mail dan membuka Facebook. XL juga merasakan ”berkah” serupa. Menurut General Manager Corporate Communications XL Myra Junor, pelanggan BlackBerry XL meroket 300 persen dibanding Oktober 2008. Kini ada 30 ribu pengguna BlackBerry XL dan 80 persen mengakses situs Facebook setiap hari.
Demam Facebook tak menyenangkan semua orang. Banyak juga dampak negatifnya, seperti mengakibatkan produktivitas kerja melorot lantaran keasyikan berselancar di Facebook. Tak aneh, sejumlah perusahaan menutup akses karyawan melongok situs ini di komputer kantor. Salah satunya PT Indosat. ”Ini kan fasilitas kantor, ya, dimanfaatkan untuk pekerjaan. Kalau Facebook kan pribadi,” kata Division Head Public Relations PT Indosat Adita Irawati. Perusahaan ini juga ”mengharamkan” situs jejaring sosial lainnya. Selain agar produktivitas karyawan tak terganggu, kebijakan ini dibuat untuk mencegah jaringan komputer disusupi dari luar.
Facebook memang makin menggila. Namun, seperti kata Butet, suatu saat orang akan sampai ke titik jenuh. Entahlah. Yang jelas, berkat Facebook, Mark Zuckerberg menjadi orang termuda dalam daftar orang terkaya dunia versi Forbes.
Andari Karina Anom, Amandra Mustika Megarani, Munawarroh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo