Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jelaga di <font color=#CC0000>Victoria</font>

Kebakaran hebat melanda Negara Bagian Victoria, Australia. Lebih dari 200 orang tewas. Suhu udara yang ekstrem dan lingkungan yang kering membuat api cepat merambat. Akibat efek rumah kaca?

16 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap pertengahan November, warga Melbourne, khususnya yang bermukim di sekitar hutan, menerima paket tipis dari otoritas setempat. Isinya beberapa lembar informasi berupa imbauan agar warga bersiap menghadapi musim panas, terutama terhadap bahaya kebakaran.

Pemerintah Negara Bagian Victoria, Australia, memang hanya bisa memberikan imbauan rutin itu. Sebab, mereka tak kuasa mencegah warganya yang ingin tinggal di dekat hutan atau dikelilingi rindangnya pepohonan. Tindakan lain: setiap kali musim panas datang, petugas keamanan meningkatkan kewaspadaan.

Informasi yang dikeluarkan pemerintah itu amat simpel dan mudah dimengerti. Misalnya, harus ada jarak antara bangunan rumah dan pepohonan. Ini mutlak diikuti. Dedaunan dan batang pohon kering di atas atap wajib dibersihkan. Keran air di halaman rumah harus berfungsi dan mudah diakses.

Kesiapan warga itu diperlukan untuk menyongsong musim panas yang biasa­nya amat terik. Sepanjang Desember hingga Februari, temperatur bisa mencapai 40 derajat Celsius. Tulisan ”Total Fire Ban” terpampang di jalan-jalan. Artinya, warga bisa dikenai denda besar jika menyalakan api di tempat terbuka, bahkan di rumah sendiri. Tak ada warga yang berani menggelar pesta barbecue pada musim panas.

Efektifkah langkah-langkah tersebut? Ternyata belum cukup. Sejak 6 Februari lalu, kebakaran hebat melanda belahan timur Victoria—negara bagian itu terletak di selatan Australia. Dalam dua hari saja 1.000 tempat tinggal ludes dijilat si jago merah. Sampai akhir pekan lalu, lebih dari 200 orang meninggal, belum terhitung yang hilang dan luka parah.

Lahan seluas 365 ribu hektare—tiga kali luas Jakarta—hangus terbakar. Meski temperatur mulai mendekati 20 derajat Celsius pada akhir pekan lalu, 33 wilayah kebakaran masih belum terkendali, termasuk 25 ribu hektare hutan lindung Bunyip di sebelah tenggara Victoria. Kota wisata Marysville juga dinyatakan tertutup.

Satu pekan sebelum terjadinya kebakaran terhebat dalam sejarah Australia itu, suhu udara di berbagai tempat di Victoria melejit hingga mencapai 47 derajat Celsius. Keruan saja pemakaian penyejuk udara (AC) seketika melambung sehingga pemasok listrik kewalahan dan harus memberlakukan pe­madaman bergilir.

Pada hari-hari itu, jadwal kereta api kacau. Banyak jadwal keberangkat­an­ yang dibatalkan lantaran membengkoknya rel di beberapa tempat. Kawasan bisnis pun sepi karena orang hanya keluar jika benar-benar perlu.

Suhu udara yang ekstrem itu membuat kebakaran menjadi bayang-ba­yang yang menakutkan. Kebakaran memang hal rutin yang terjadi di Negara Bagian Victoria. Sebelumnya, ada dua kebakaran hutan semak berskala raksasa, yaitu yang dikenal sebagai Black Friday pada 13 Januari 1939 dan Ash Wednesday pada 16 Februari 1983.

Kebakaran hutan semak Australia lazim dikategorikan sebagai fenomena alam. Suhu udara yang tinggi, angin yang kencang, dan lingkungan yang kering membuat kebakaran menjalar dengan cepat. Ditambah lagi terhamparnya pohon eukaliptus yang kaya akan kandungan minyak membuat api mudah merambat.

Kebakaran kali ini cepat meluas karena dijalarkan oleh angin yang berembus kencang dengan kecepatan 100 kilometer per jam. Pemerintah Australia pun mengerahkan hampir seluruh kekuatan pemadam kebakaran, dibantu ribuan tentara. Kebakaran besar terakhir di Australia yang terjadi pada 1983 menewaskan 75 orang.

Perdana Menteri Victoria John Brumby mengakui petunjuk yang diberikan kepada warga tidak bermanfaat. ”Tidak diragukan, banyak orang telah berusaha melaksanakan semua petunjuk dengan benar, tapi itu tidak menyelamatkan mereka,” ujarnya.

Para ilmuwan mengkategorikan suhu udara di Australia termasuk ekstrem. Diperkirakan, dalam beberapa tahun­ mendatang, temperatur di selatan Be­nua Kanguru itu akan bertambah tinggi. Akibatnya, musim kering akan lebih panjang dan ancaman terjadinya kebakaran semakin besar.

Sejak 1950, rata-rata suhu udara di Australia meningkat 0,9 derajat Celsius. Suhu itu akan terus meningkat dalam 20 tahun ke depan. Dalam sebuah simulasi komputer, pada 2030 rata-rata suhu udara sudah lebih tinggi 1 derajat Celsius dibanding sekarang. Itu semua akibat efek rumah kaca dan emisi gas buang. Bila semakin parah, bukan tak mungkin pada 2070 peningkatan terjadi 2,2 hingga 5 derajat Celsius.

Pemicu kebakaran di Victoria umumnya adalah sambaran petir. Namun ulah manusia juga menjadi faktor pen­ting. Suku Aborigin, misalnya, selalu membakar semak untuk berbagai tujuan: berburu, berkomunikasi, bercocok tanam, membuka jalan, atau sekadar melakukan seremoni adat. Belakangan mereka mulai jarang membakar hutan, setelah keluar larangan dari otoritas ­setempat.

Kebakaran hebat kali ini diduga akibat tangan-tangan tak bertanggung jawab. Mereka bukan suku Aborigin. Pihak kepolisian menduga para arso­nist—orang yang dengan sengaja menyulut api dengan beragam motivasi—berada di balik insiden mematikan ini (lihat ”Hobi: Membakar!”).

Menurut Kepala Kepolisian Victoria, Christine Nixon, pelaku adalah para pemuda yang hanya mencari sensasi. Beberapa psikolog mengatakan para arsonist memiliki berbagai polah, dari ingin diperhatikan hingga merasa jagoan karena telah melakukan sesuatu.

Perdana Menteri Australia Kevin Rudd langsung memerintahkan polisi melakukan investigasi dengan membentuk unit khusus. Sejauh ini, sudah dua arsonist diduga terlibat. Namun polisi belum menetapkan mereka sebagai tersangka. Keduanya masih dimintai keterangan.

Menurut Rudd, dibutuhkan waktu tahunan untuk kembali membangun kota yang habis dilalap api. Pemerintah pusat menyediakan anggaran $A 10 juta atau sekitar Rp 78 miliar untuk bantuan kemanusiaan. ”Saya katakan kepada seluruh negeri, dari komunitas apa pun Anda berasal, jika telah terbakar menjadi abu, jika telah hancur, dengarlah ini: bersama-sama kita akan membangun setiap komunitas, bata demi bata,” ucapnya.

Firman Atmakusuma, Dewi Anggraeni (Melbourne, Australia)

1. Api tersulut dalam cuaca panas dan kering. Pemicu umumnya adalah petir dan manusia.

2. Embusan angin kencang membawa bara api ke berbagai arah.

3. Titik api baru muncul setelah bara api menghantam benda kering lain, seperti pohon, semak, atau rumah.

Sejarah Kebakaran Hutan Semak di Australia

Februari-Maret 1922

  • 60 orang tewas. Terjadi di Gippsland, sebelah barat Victoria.

    13 Januari 1939

  • 71 orang tewas, 700 rumah hangus. Terjadi di Negara Bagian Victoria. Dikenal sebagai Black Friday.

    7 Februari 1967

  • 62 orang tewas, 1.300 rumah terbakar. Terjadi di Hobart, Tasmania.

    8 Januari 1969

  • Sedikitnya 22 orang tewas, 230 rumah hangus. Terjadi di pinggiran Victoria.

    16 Februari 1983

  • 75 orang tewas, 2.300 rumah hangus. Terjadi di Victoria dan selatan Australia. Dikenal sebagai Ash Wednesday.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus