Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ibu, Dekaplah Bayimu

Kasus kematian bayi mendadak bisa ditekan jika ibu mau tidur bersamanya.

8 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU bayi tidur bersama ibunya, bagaimana dengan bapaknya? Guyonan itu kini boleh disodok dengan pertanyaan lagi: ini bapak sayang anak apa tidak? Karena, menurut suatu penelitian, adalah besar manfaatnya jika bayi tidur bersama ibunya daripada si bayi ditaruh di tempat tidur tersendiri. Terutama, tindakan itu dapat mencegah terjadinya kematian mendadak, yang sering dialami bayi berusia di bawah satu tahun. James McKenna, seorang antropolog dari Pomona College, bersama Sarah Mosko, psikolog klinik dan ahli tidur, telah meneliti manfaat bayi tidur bersama ibunya di Laboratorium Gangguan Tidur, University of California, Amerika Serikat. Hasil penelitian yang dimuat di majalah Discover belum lama ini, menyebutkan, jika bayi tidur bersama ibunya, irama pernapasan sang bayi bisa menyimak ibu yang di sisinya. Apa yang dilakukan orang Barat selama ini, kata McKenna, yaitu bayi tidur sendirian lebih sehat adalah bukan berdasarkan ilmu biologi, melainkan pada nilai masyarakat industri. Dan kebiasaan ini, katanya, tampaknya yang membuat mudah terjadinya sindrom kematian mendadak pada bayi atau biasa disebut sudden infant death syndrome (SIDS). Di AS, satu dari 500 bayi meninggal, kebanyakan pada usia dua sampai dengan empat bulan. Bayi-bayi ini biasanya tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sebelumnya, dan sebab kematiannya misterius. Mc Kenna kini yakin bahwa kebiasaan tidur seranjang antara bayi dan ibunya bisa menyumbang untuk menekan kasus tersebut. Pada usia dua sampai empat bulan, bayi mulai bisa melakukan pernapasan terkontrol dan pernapasan otomatis secara bergantian. Pada masa pertumbuhan ini, neokorteks mulai berhubungan secara fungsional dengan batang otak. Tingkah lakunya tidak lagi gerakan refleks, melainkan tindakan yang disengaja. Dia mulai memanipulasi pernapasannya dengan mengubah kecepatan arus udara, tekanan udara, dan volume paru-paru. Sebagian besar bayi bisa melewati masa perpindahan bernapas dari terkontrol ke otomatis. Namun, sebagian lagi tampaknya ada yang menemui kesulitan. Mereka tidak mampu mengatur dengan baik pergantian antara dua macam pernapasan ini. Akibatnya, mereka berhenti bernapas dan meninggal secara mendadak. Untuk mendukung teorinya, McKenna bersama Mosko mengumpulkan data tidur dari delapan pasang ibu dan bayinya di Laboratorium Gangguan Tidur. Penelitian pertama dilakukan pada 1986 sampai dengan 1987, lima pasang ibu anak diikuti tidurnya dalam satu malam. Pada penelitian kedua, berakhir tahun lalu, tiga pasang ibu anak selama dua malam pertama disuruh tidur sendiri-sendiri dalam dua kamar yang berdekatan,sehingga si ibu bisa bangun untuk menyusui anaknya. Baru pada malam ketiga, setiap pasangan itu disuruh tidur seranjang. Berdasarkan data, antara ibu dan bayinya yang tidur seranjang, keduanya terjadi keterikatan psikologis, irama napas yang satu memengaruhi yang lain. Pada saat yang satu terjaga, yang lain juga sering sedikit terjaga pula. Keterjagaan ini penting bagi bayi, karena memberi latihan pada bayi untuk bisa bangun. Tiap bayi mengalami jeda berhenti bernapas beberapa kali dalam semalam. Bila jeda ini berkepanjangan, bayi yang sehat akan bangun untuk bernapas. Sebaliknya bagi bayi yang sulit bangun, maka terjadinya pergantian aturan napas itu membuat saat jeda berkepanjangan, sehingga menyeret bayi tersebut ke kematian. Dengan adanya ibu di samping bayi, kata McKenna, kesulitan bayi dalam hal switching napas bisa dicegah, karena irama napasnya sudah meniru ibunya. Selama tidur, seperti halnya selama terjaga, manusia dewasa berganti-ganti melakukan pernapasan otomatis dan pernapasan terkontrol. Yakni, pergantian antara pernapasan dorongan neocortical dan pernapasan karena batang otak. Bayi mengalami ini juga tiap saat terbangun. Nah, pada saat tidur dengan ibunya, seorang bayi bereaksi terhadap gerakan-gerakan ibunya dan lebih sering terjaga ratarata 24% lebih sering dibanding dengan bila tidur sendirian. Dengan kata lain, si bayi pun menjadi lebih terlatih dalam melakukan kedua macam pernapasan itu secara bergantian. Menurut Dokter Titut S. Pusponegoro, Kepala Bagian Perinatologi dan Neonatalogi Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Jakarta, SIDS selama ini merupakan kematian yang tidak bisa dijelaskan, dicegah, dan diduga sebelumnya. "Namun, apa yang ditemukan McKenna itu sesuatu yang baru," katanya. Teori koleganya itu, kata Titut, tampaknya cukup logis. Artinya, bayi yang tidur seranjang dengan ibunya relatif lebih cepat ketahuan bila terjadi apaapa. Lain lagi komentar Dokter Pernomo Suryanto. Ahli perinatologi dari FK Uiversitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu kurang setuju dengan teori tadi, dan masih menganggap penyebab SIDS itu misterius. Ada dugaan, katanya, akibat cacat bawaan. Karena kesalahan metabolisme, misalnya, sehingga tubuh memproduksi amonia, yang akan meracuni tubuh bayi. "Bahwa bayi dapat belajar cara bernapas dari ibunya itu memang bisa dibenarkan," katanya kepada wartawan TEMPO, Moch. Farid Cahyono. Gatot Triyanto dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus