NAPOLEON lari dari pembuangannya di St. Helena, dan kemudian mati di sebuah dusun. Tak ada perang, tak ada takhta yang direbut kembali. Ia mati sebagai seorang pedagang melon. Sejarah memang tidak menulis demikian, tetapi Simon Leys telah menulis sebuah novel pendek (cuma 105 halaman), La Mort de Napoleon, dengan cerita semacamitu. Mungkin Anda akan melihatnya sebagai sekadar plesetan gaya Prancis, yang ditulis oleh seorang sejarawan dan Sinologis yang termasyhur. Tetapi harian Le Monde menyebutnya sebagai sebuah "karya besar", dan majalah Le Point mengatakan bahwa "selama dua abad, belum pernah ada orang yang menulis sebuah dongeng filsafat dalam kaliber ini". Saya tak tahu pasti kenapa cerita ini disebut sebagai "dongeng filsafat". Saya, yang membacanya dalam versi Inggris, lebih melihatnya sebagai sebuahparodi tentang identitas dan sindiran tentang keagungan. Buku ini dibuka dengan sebuah kutipan dari Paul Valery: "Betapa sayang melihat sebuah pikiransebesar Napoleon diabdikan untuk halhal yang sepele seperti imperium, peristiwa historis, gelegar kanon, dan manusia ia percaya kepada keagungan,kepada keabadian, kepada Kaisar . . .." Alkisah: pada suatu hari, seseorang yang memakai nama "Eugene Lenormand" naik kapal Hermann Augustus Stoeffer. Ia bekerja sebagai pembantu kabin yangtidak terampil dan suka melamun. Karena penampilannya yang agak mirip dengan Sang Maharaja Prancis, oleh para kelasi ia dijuluki "Napoleon". Yang tak mereka sadari: si pembantu kabin sebenarnya memang Napoleon Bonaparte. Ia melarikan diri dari St. Helena, dengan sebuah rencana yang disusun dengan cermat oleh para pendukungnya. Ia meninggalkan seorang Napoleon tiruan dipulau itu, dan di sebuah mlam yang tanpa bulan, minggat. Akhirnya sesuai dengan rencana ia menyamar menjadi awak kapal Hermann Augustus Stoeffer, menuju ke Bordeaux di Prancis. Dari sana ia akan menaklukkan kembali Paris,merebut takhta dan berkuasa lagi, menebus kekalahan dan kejatuhannya beberapa tahun yang silam. Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Menjelang mendarat di Bordeaux, ada pesan dari pemilik kapal: kapal harus berlayar terus sampai Antwerpen, Belgia. Napoleon menyangka bahwa perubahan rencana itu juga sudah diantisipasi oleh para perencana komplotan. Tapi ketika ia sampai ke Brussel, tak ada yang menjemputnya. Ia hanya mengalami kenyataan, bahwa keagungan yang ditayangkan oleh masa lampau danmasa depan, tiap kali menjelma menjadi sengketa identitas. Ia tetap ingin memperoleh kembali apa yang oleh Paul Valery disebut sebagai "hal-hal yangsepele" itu: ia ingin kembali sebagai Napoleon. Tapi siapakah gerangan dia dan siapakah Napoleon? Di kapal tempat ia bekerja sebagai pembantu kabin, "Napoleon" baginya lain dengan "Napoleon" bagi orang lain meskipun memakai tanda yang sama, namayang sama. Bagi orang lain, nama itu hanya julukan untuk si Eugene. Bahkan seorang pengagum Napoleon Bonaparte di kapal itu menjadi benci kepadanya: wajahnya yang dimakan usia itu tak cocok dengan wajah Napoleon yang selama inidikenal. Dengan kata lain: di sini berbenturanlah "Napoleon hari ini" dengan "Napoleon masa lampau" dan sekaligus "Napoleon" bagi dirinya sendiri dan "Napoleon" bagi orang lain. Akhirnya, soalnya menjadi tak jelas lagi. Ia pun sampai di dusun Impassedes Chevalliersdu Temple. Ia ke sana untuk menemui bekas tentaranya. Mereka masih setia, tetapi mereka juga sudahkehilangan harap: mereka mendengar kabar bahwa Napoleon sudah mangkat, dan tentu tak menduga bahwa yang mangkat adalah Napoleon palsu di St. Helena. Toh si Napoleon asli, dengan bakat kepemimpinan dan strateginya, berhasil membawa mereka menaklukkan Paris: bukan dalam sebuah serbuan militer, melainkan dalam perdagangan melon. Ia menjadi pedagang yang sukses, dan ketika ia mencoba bersikap sebagai Napoleon kembali, seorang anak buahnya menunjukkan: sejumlah orang gila toh juga begitu . Siapakah Napoleon? Masalahnya adalah memilih identitas: tragedi Napoleon di sini ialah bahwa ia tetap diseret-seret oleh konsep Napoleon sebagai tokohsejarah atau Napoleon dalam kekuasaan. Padahal, orang sebenarnya lebih lapang, lebih luas, dan tak identik dengan keagungan dan kekuasaan, "hal-hal sepele"itu. Tapi sedikit saja orang yang menyadari ini, terutama di zaman ini, ketika kekuasaan menjadi hal yang tidak "sepele" dan menjadi identitas sendiri. Diantara orang yang sedikit itu bagi saya adalah Dr. Moh. Sadli, bekas menteri perdagangan Indonesia. Saya pernah menemuinya bersama istrinya, Prof. Saparinah Sadli, dalam sebuah penerbangan bersama untuk seminar ke Beijing. Mereka tak menuntut perlakuanistimewa. Mereka naik kelas ekonomi, sementara seorang bekas menteri lain naik kelas satu. Saya tanyakan apakah Pak Sadli tak merasa kehilangan dengan halhalyang dinikmati para pejabat sekarang. Jawaban Ibu Sap: Oh, they don't know what they miss." Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini