KETIKA kedua anaknya ternyata belum juga dipulangkan oleh ayahnya, dan di hotel tempat si ayah menginap, di Melbourne, kedua anak itu juga tak ada, Jacqueline Gillespie segera menelepon polisi. Segera saja, di suatu hari di sekitar pertengahan Juli lalu, semua bandar udara dan pelabuhan laut di Australia diblokir. Tapi kedua anak itu tetap tak ditemukan. Baru sekitar dua minggu kemudian, persisnya 26 Juli lalu, di Kuala Lumpur, Malaysia, bapak kedua anak tersebut membuka sebuah konperensi pers. Ia beberkan mengapa ia mengambil kembali dua anaknya yang semula ia setujui ikut bekas istrinya, Jacqueline, di Australia. Yakni, karena anak itu tahun lalu dibaptis masuk Kristen. Bapak itu, Raja Kamarul Baharin Shah, kemenakan Sultan Trengganu (salah satu negara bagian Malaysia), ingin agar kedua anaknya dibesarkan sebagai muslim. "Saya gagal sebagai bapak dan seorang muslim bila saya membiarkan anak saya yang lahir di Malaysia dibaptis," kata Raja Kamarul dalam konperensi pers tersebut. Dan tampaknya ini semua, "Sudah kehendak Tuhan Yang Maha Besar," katanya, karena kami bisa selamat sampai di Malaysia. Awalnya adalah perceraian antara Raja Kamarul dan Jacqueline pada tahun 1985. Di tahun itu usia Raja Shahirah, anak perempuan Raja Kamarul dan Jacqueline, belum lama lahir. Kakaknya, Raja Baharuddin, baru berusia sekitar dua tahun. Akhir tahun 1986 Jacqueline membawa kedua anaknya ke Australia, katanya hanya untuk menengok ibu Jacqueline yang sakit. Kunjungan itu ternyata berkepanjangan. Malah akhirnya Jacqueline minta kepada pengadilan di Melbourne untuk mendapatkan hak mengasuh kedua anaknya. Pengadilan Australia ternyata mengabulkan permintaannya. Hingga saat itu Raja Kamarul Baharin Shah tak punya keberatan apa pun. Bahkan ia mengalah, dialah yang berkunjung ke Melbourne: tiga atau empat kali dalam setahun, Raja Kamarul datang di Melbourne. Itu masih dilakukannya meski bekas istrinya kemudian menikah lagi dengan pria Australia bernama Gillespie. Tapi niat berkunjung menjadi lain setelah ia mendengar kedua anaknya dibaptis sekitar awal tahun lalu. Kepada wartawan, Raja Kamarul yang arsitek itu tak bersedia menceritakan liku-liku perjalanannya dari Melbourne ke Malaysia. Ia hanya menyatakan bahwa perjalanan itu sulit. Menurut Kantor Berita AFP, mereka mendarat di Merauke dalam pesawat Australia yang memulangkan para nelayan Indonesia yang mencari ikan di perairan Australia. Menurut surat kabar Singapura Straits Times, perjalanan itu sulit dilaksanakan tanpa pertolongan pihak keamanan di Indonesia. Dan pesawat Australia beserta awak dan penumpangnya memang ditahan selama tiga hari di bandara Merauke. Ada yang bilang, itu sehubungan dengan pendaratan yang menyalahi aturan. Tapi sumber lain mengatakan, penahanan itu ada kaitannya dengan penumpang dari Malaysia, Raja Kamarul dan dua anaknya. Dari Merauke, Raja Kamarul dan dua anaknya lalu menuju Kalimantan, lalu masuk ke Sabah. Dari Sabah, mereka menyeberangi Laut Cina Selatan menuju Semenanjung Malaysia. Total, perjalanan itu sekitar 14 hari. Raja Kamarul dalam konperensi pers itu pun menolak dituding menculik anak, sebagaimana ditulis oleh pers Australia. Menculik punya konotasi negatif. Padahal yang dia lakukan adalah menyelamatkan agama anak-anak itu. Setidaknya inilah penculikan yang dihalalkan oleh syariat Islam. Adapun soal pembaptisan Raja Baharuddin dan Raja Shahirah di Gereja Anglikan bisa dianggap tidak sah. Menurut Menteri Kehakiman Malaysia, Syed Hamid Albar, Raja Kamarul punya hak membesarkan kedua anaknya menurut hukum Islam. "Menurut hukum Islam, seorang ibu kehilangan hak membesarkan anaknya bila ia bertukar agama," kata Menteri. Kabarnya Jacqueline memang masuk Islam ketika menjadi istri Raja Kamarul, dan kemudian kembali menjadi Kristen ketika menikah lagi dengan pria Australia. Ahli fiqih Indonesia, Kiai Haji Ibrahim Hossen, mendukung tindakan Raja Kamarul Baharin Shah. Sebab, kata ketua Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini, menurut hukum Islam, dalam hal suamiistri berbeda agama, anak mereka ikut agama ayahnya. Baru ketika si anak sudah dewasa, katanya, si anak bisa memilih mau masuk agama apa. "Tindakan pangeran tersebut adalah sesuatu yang terpuji. Pangeran itu bermaksud menyelamatkan agama anaknya," kata dosen di Institut Agama Islam Syarif Hidayatullah Jakarta itu. Tapi di pihak Australia, yang berpegang pada keputusan pengadilan Melbourne tahun 1986, ketika Jacqueline minta disahkannya haknya mengasuh Raja Baharuddin dan Raja Shahirah, melihat perbuatan Raja Kamarul sebagai melanggar undang-undang. Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans menyatakan kekecewaannya kepada Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Abdullah Badawi. Juga Evans meminta agar konsulat Australia di Malaysia diberi izin bertemu dengan kedua anak yang diperebutkan itu, dan diberi kesempatan menyelesaikan kasusnya. Tapi Perdana Menteri Mahathir Mohamad keberatan atas campur tangan pemerintah Australia terhadap kasus perebutan anak itu. " Kita berterima kasih jika tidak ada campur tangan politik. Sebab anak-anak itu dilahirkan di sini, mereka adalah warga Malaysia," kata Mahathir. Juga Mahathir mengatakan, "Kita harus menghormati keputusan mahkamah Islam yang menunjuk ayah mereka, Raja Kamarul, untuk memelihara kedua orang anak itu." Menurut Menteri Kehakiman Malaysia Syed Hamid Albar, bisa saja Jacqueline Gillespie, ibu kedua anak itu, mengadukannya ke pengadilan. "Tapi silakan ia datang ke Malaysia, dan mengadukan ke pengadilan di sini, bukan di Australia," katanya. Tampaknya, di samping alasan-alasan di atas, pemerintah Malaysia mempunyai alasan lain yang menyebabkan pemerintah Malaysia hati-hati menangani kasus ini. Jauh sebelum kasus Raja dan Jacqueline itu, juga di Trengganu, Malaysia, pernah terjadi kasus hampir sama. Seperti yang diceritakan oleh Menteri Penerangan Malaysia Datuk Mohamed Rahmat, suatu ketika seorang wanita Belanda yang beragama Kristen ingin mengambil kembali anaknya yang diadopsi oleh keluarga Melayu. Maria Hertogh, demikian nama anak yang diperebutkan itu, dibesarkan secara muslim sampai usia 13 tahun. Perselisihan itu diselesaikan di Pengadilan Singapura. Hakim Inggris yang menangani persidangan itu, harap maklum ketika itu negeri Semenanjung masih dijajah Inggris, memenangkan sang ibu. Keputusan itu menimbulkan protes dari kalangan Islam di Trengganu, yang berbuntut huru-hara, dan akibatnya 18 orang tewas. Pihak Malaysia tak ingin hal serupa terulang. Tapi yang penting kini adalah ketika dua anak itu baru berusia tujuh dan sembilan tahun memang sulit untuk menawarkan padanya ingin ikut ibu atau bapaknya. Dalam potret yang dibuat oleh Kantor Berita Reuters tampak Raja Shahirah mencium bapaknya. Tapi adakah itu berarti kedua anak kurang cintanya kepada ibunya? Julizar Kasiri (Jakarta), Dewi Anggraeni (Melbourne), dan Ekram Hussein Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini