Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Husein Ja’far Al Hadar*
"PERSATUAN" adalah kata kunci Indonesia. Sejak Sumpah Pemuda, Pancasila, sampai ketika bentuk negara ini didiskusikan, “persatuan” adalah imajinasi utama para pendiri bangsa tentang Indonesia yang sudah ada bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka dan menjadi kekuatan utama bangsa ini. Sebab, mereka sadar akan heterogenitas entitas masyarakat Indonesia.
“Persatuan” juga doktrin dasar dan utama dalam Islam. Maka dalam Islam dikenal ajaran ukhuwah islamiyah, yang dimaknai dan dipahami sebagai “persaudaraan antar-umat Islam”.
Namun, jika kita mengacu pada arti etimologisnya, makna terminologisnya bukan persaudaraan antar-umat Islam. Secara etimologis, dalam linguistik Arab (nahwu), ukhuwah islamiyah adalah susunan shifat-mayshuf (sifat dan yang disifati). Maka ukhuwah islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat islami”. Adapun persaudaraan antar-umat Islam secara etimologis dalam bahasa Arab adalah ukhuwatul-islamiyah, ukhuwah bainal-muslimin, atau al-ikhwanul muslimun (muslim brotherhood).
Sedangkan ukhuwah islamiyah secara terminologis adalah persaudaraan yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam: perdamaian, keadilan, toleransi, kemoderatan, dan lain-lain. Maka ia tentu tidak hanya antar-umat Islam, tapi bisa dengan nonmuslim dari berbagai suku, bahasa, bahkan bangsa.
Reduksi makna ukhuwah islamiyah menjadi sebatas antar-umat Islam biasanya dicarikan justifikasinya dengan hadis-hadis yang menegaskan persaudaraan antar-umat Islam yang biasanya menggambarkan umat Islam seperti sebuah bangunan atau satu tubuh. Padahal hadis-hadis itu pada dasarnya “sekadar” meneguhkan identitas kolektif sesama muslim yang sama sekali tidak berarti mendelegitimasi makna istilah ukhuwah islamiyah yang bersifat umum, apalagi membangun sentimen dengan nonmuslim.
Ajaran semacam itu beragam, yang mengikat secara kolektif identitas-identitas lain, misalnya persaudaraan di antara masyarakat di sebuah tanah air, ukhuwah wathoniyah, atau persaudaraan sesama manusia, ukhuwah basyariyah. Juga Sayyidina Ali sebagai khalifah Islam saat itu menjelaskan hierarki ukhuwah tersebut dalam sebuah pesan kepada gubernurnya di Mesir, Malik al-Asytar, yang kemudian menjadi referensi hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Jika seseorang itu bukan saudaramu dalam agama (sesama muslim), ia saudaramu dalam kemanusiaan.”
Islam, sebagaimana ditemukan dalam sederet doktrinnya berdasarkan Al-Quran ataupun hadis, sama sekali tidak mengajarkan paradigma dan sikap sentimen antar-identitas atas dasar apa pun (termasuk agama). Ukhuwah islamiyah sebenarnya justru memayungi jenis-jenis ukhuwah lain. Rujukannya pun jelas dan menghunjam ke sentral ajaran Islam, yakni Islam sebagai “agama rahmat” (rahmatan lil ‘alamin: rahmat bagi semesta alam, yang bahkan melampaui sekat kemanusiaan hingga menembus aspek-aspek ekologis).
Makna ukhuwah islamiyah dalam versi reduksionis tersebut pernah dipolitisasi kekhalifahan Turki Utsmani yang memanfaatkan gagasan Pan-Islamisme yang digaungkan pertama kali oleh Jamaluddin al-Afghani sebagai sebuah gagasan untuk menyatukan umat Islam. Secara realitas, Turki Utsmani sebagai imperium Islam terbesar dan terkuat saat itu memang paling diuntungkan oleh gagasan tersebut.
Namun corak Islam Indonesia yang akulturatif-nasionalis sejak masuknya pertama kali membuat politisasi itu tidak berpengaruh pada masyarakat muslim Indonesia, meskipun Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Agus Salim, yang dinilai sempat terpengaruh gagasan Pan-Islamisme, di antaranya lantaran artikelnya di majalah Pedoman Masyarakat edisi 4 Januari 1939, akhirnya menilai ukhuwah islamiyah tidak bermakna politis, tapi identitas kolektif yang bersifat emosional-religius saja.
Maka gagasan “persatuan” kalangan nasionalis dan ukhuwah islamiyah kalangan islamis terus berkelindan mengukuhkan identitas Indonesia. Pesan-pesan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-28 di Yogyakarta 1989 meneguhkan itu: “Menurut arti bahasa, ukhuwwah dapat dijabarkan dalam persaudaraan sesama muslim, persatuan nasional, dan solidaritas kemanusiaan. Ukhuwwah islamiyah dan persatuan nasional merupakan dua sikap yang saling membutuhkan dan saling mendukung, keduanya harus diupayakan keberadaannya secara serentak, dan tidak dipertentangkan antara satu dan yang lain. Hubungan keduanya akomodatif, selektif, dan integratif.”
*) Peneliti di Gerakan Islam Cinta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo