HARGA obat yang mencekik leher barangkali merupakan siksaan tambahan bagi orang yang sedang sakit, apalagi bagi penderita penyakit seperti hipertensi ataupun diabetes melitus, yang hidupnya harus menggantungkan diri pada obat untuk jangka waktu lama, bahkan mungkin seumur hidup. Tak aneh, banyak pasien?terutama yang berkantong cekak?terpaksa beralih ke jamu-jamuan atau obat tradisional Cina, yang harganya lebih miring ketimbang obat modern. Sebagian lain beralih karena merasa obat tradisional lebih aman dikonsumsi karena bahan dasarnya yang alami. Benarkah?
Survei yang dilakukan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), bekerja sama dengan TEMPO, mencoba melihat mutu dan keamanan obat-obatan "alternatif" yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat yang agaknya terdesak oleh tipisnya dompet mereka. Obat yang dilihat adalah yang dipergunakan untuk penyakit-penyakit yang membutuhkan pengobatan rutin dan jangka panjang: hipertensi, diabetes melitus atau kencing manis, dan rematik. Kami menambahkan pula jamu-jamuan untuk pelangsing tubuh. Kenapa? Buat banyak produsen, konsumen obat penyingset adalah sasaran empuk. Mereka, karena mungkin kebelet tampak langsing, acap tak rasional dalam memilih obat dan gampang tergoda untuk menempuh jalan pintas, tanpa mau direpotkan oleh diet ketat dan olahraga?resep klasik untuk langsing.
Survei diawali dengan penjajakan pasar yang dilakukan pada November 2000. Tim YPKKI mendatangi kios-kios pedagang jamu dan obat Cina di pasar tujuan favorit warga Jakarta: Pasar Pramuka dan Pasar Rawabening (Jakarta Timur), Glodok (Jakarta Barat), dan Mega-Mal Pluit (Jakarta Utara). Sebagai tambahan, tim YPKKI juga menyertakan hasil survei mereka di kios-kios jamu dan obat tradisional Cina di Sambas (Kalimantan Barat). Di wilayah ini obat tradisional Cina memang cukup populer.
Melalui wawancara dengan pemilik kios, YPKKI menjaring produk yang digemari konsumen. Tampaknya, konsumen yang datang ke pasar obat banyak yang kantongnya terbatas. Indikasinya terlihat dari merek pilihan mereka, yang bukan dari perusahaan besar yang umumnya berharga lebih mahal. Namun, harga murah bukan satu-satunya pilihan.
Sebagian konsumen obat Cina, misalnya, mempercayai keampuhan obat itu dan mengharapkannya bisa menggantikan obat-obatan modern untuk penyakit seperti hipertensi, yang harus dimakan rutin seumur hidup. "Jadi, apa salahnya minum obat Cina," kata Marius Widjajarta, Ketua YPKKI, menirukan komentar seorang konsumen.
Dari wawancara dengan pemilik kios, muncul sekitar 20 merek untuk tiap kelompok penyakit yang digemari konsumen. "Pilihan utama konsumen adalah merek yang harganya murah," kata Marius. Nah, 25 persen dari daftar produk paling laris inilah yang kemudian diambil sebagai sampel survei. Setelah sampel terpilih, pengamatan tak hanya dilakukan terhadap produk, tetapi juga labelnya. Dari sini bisa dilihat kelengkapan dan kebenaran informasi yang disampaikan kepada konsumen.
Untuk pengujian produk, yang dilihat adalah zat-zat kimia sintetis yang diduga ada di dalam produk. Juga diuji, zat-zat aktif yang disebutkan dalam brosur?untuk melihat kebenaran informasi yang diklaim produsen. Pengujian kualitiaf ini dilakukan di laboratorium dua universitas, yakni Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia, dan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
Pengujian kualitatif dilakukan dalam dua tahap. Pertama, menggunakan metode kromatografi lapis tipis (pemisahan zat kimia berdasar kepekaan warna) dan spektrofotometri (pemisahan zat kimia berdasar kepekaan sinar). Tahap kedua dilakukan dengan metode spektrofotometri ultraviolet dengan kadar ketelitian yang lebih tinggi. Sampel-sampel yang menunjukkan reaksi meragukan pada uji tahap satu akan dites lagi dengan pengujian tahap dua. Dan hasilnya bisa berbeda. Pada pengujian obat Ancom, misalnya. Obat Cina yang biasa dikonsumsi penderita hipertensi itu pada uji kromatografi menunjukkan hasil negatif. (Jadi, tidak mengandung diazepam.) Namun, hasilnya positif ketika diuji dengan spektrofotometri.
Bagaimana hasil berbeda itu diartikan? Ada dua kemungkinan. "Proses pembuatan obat tidak bagus sehingga kandungan zat kimia sintetis tidak merata," kata Utomo Dewanto, toksikolog dan pengajar Fakultas Kedokteran UI yang juga konsultan ahli dalam penelitian ini. Kemungkinan kedua, obat tersebut memang sama sekali tidak mengandung zat seperti yang tercantum dalam label. Kemungkinan itu, akhirnya, kami pastikan kebenarannya dengan meminta informasi kepada produsennya. Sayangnya, karena banyak sebab, tak semua konfirmasi bisa diperoleh.
M.C.M. dan Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini