Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EFFENDIE heran melihat istrinya, Lina Hariani, melewatkan berlembar uang pecahan Rp 10 ribu di atas meja yang ia sediakan untuk belanja. Lina hanya mau mengambil duit Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. "Yang diambil dua itu saja," kata Fendi, 66 tahun, Kamis pekan lalu.
Saat ditanya kenapa lembaran Rp 10 ribu tak diambil, Lina, 56 tahun, malah bingung. Pandangannya menyapu meja untuk mencari uang yang dimaksudkan Fendi. Padahal duit itu tepat berada di depannya. "Katanya, 'Aduh maaf, Pak, sayandaklihat, kabur'," ujar Fendi, mengenang kejadian tiga tahun lalu itu.
Jawaban Lina ini membuat Fendi masygul. Lina memang mengeluhkan matanya sering terasa pegal sejak empat bulan sebelumnya. Pelan-pelan pandangannya mulai kabur. Ia masih bisa melihat uang Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu karena warnanya mencolok: merah dan biru.
Diagnosis beberapa dokter mata yang mereka sambangi malah membuat mereka bingung. "Ada yang bilang glaukoma, ada yang bilangndak. Yang benar yang mana?" ujar lelaki yang tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.
Biang masalahnya akhirnya ketahuan setelah Lina dipindai menggunakanmagnetic resonance imaging(MRI). Saraf matanya tergencet tumor berukuran sekitar empat sentimeter. Dokter menyarankan operasi, tapi Fendi khawatir mental Lina bakal drop."Untung dokter bilang dibuka di alis sedikit saja. Istri saya mau," ucapnya.
Tumor itu lalu diangkat lewat lubang di alis kanan. Sehari setelah operasi, pandangan Lina sudah normal lagi. Ia boleh pulang.
Perkembangan dunia kedokteran membuat operasi otak kini juga bisa dilakukan dengan pembedahan minimal. Dulu operasi harus dilakukan dengan membuka setengah tempurung kepala, tapi sekarang bisa dengan membuat lubang lebih kecil dari lubang kunci (minimal invasive key hole surgery) di alis.
Metode ini ditemukan ahli bedah saraf dari Jerman, Axel Perneczky, pada 1999. Sepuluh tahun kemudian, operasi ini dilakukan di Indonesia. Namun tak banyak orang tahu ihwal metode ini sehingga klinik Comprehensive Brain and Spine Center (CBSC) Indonesia yang berpusat di Surabaya-yang melaksanakan metode ini-mensosialisasi hal tersebut ke Jakarta pada pertengahan Oktober lalu.
Dokter spesialis bedah saraf dariCBSC Indonesia, Agus C. Anab, mengatakan operasi konvensional berisiko lebih besar lantaran, setelah tempurung kepala dibuka, otak akan disibak sampai ke titik sasaran tumor. Karena tempurung terbuka cukup luas, otak yang sehat bisa ikut tersentuh. "Bisa jadi otak yang sehat malah rusak," ujar Agus, yang mempelajari metode tersebut langsung dari Perneczky.
Padahal otak adalah organ terpenting yang menjadi pusat sistem saraf yang mengatur organ tubuh lain. Jika otak rusak, akan ada dampak besar pada organ tubuh lain yang berhubungan.Misalnya, kalau bagian otak yang mengatur bicara tak sengaja tersenggol dan rusak, kemampuan bicara pasien jadi menurun drastis.
Risiko kerusakan ini bisa diminimalkan dengan mengurangi luas bukaan tengkorak saat operasi. Dengan membuat lubang 1-2 sentimeter saja di alis, tumor yang berada di bagian belakang mata atau dasar tengkorak bagian depan bisa diangkat. Alis dipilih karena bagian tersebut ditumbuhi rambut sehingga bisa menyamarkan bekas operasi.
Setelah bagian alis dilubangi dengan bor, dokter akan mengempiskan otak dengan mengeluarkan cairannya. Barulah otak disibak dengan halus agar bisa menjangkau tumor. Gumpalan tumor lalu diambil sedikit demi sedikit tanpa menyentuh bagian lain. "Sedikit saja otak kita yang normal itu tertekan atau bergeser, bisa berakibat fatal," kata Agus, yang mempraktikkan metode ini sejak tiga tahun lalu.
Namun tak semua tumor bisa dikeluarkan melalui alis. Jalan lewat alis hanya berlaku kalau tumornya dekat dengan lokasi rambut tersebut. Kalau letak tumornya berada di lokasi lain yang jauh dari alis, tumor diangkat lewat jalan lain. Bisa dari bagian belakang telinga, bagian atas telinga, bagian tengkuk leher, atau bagian garis rambut yang berada di tengah tempurung kepala."Pemilihan jalan ini bergantung pada lokasi penyakit, yang teraman, dan paling tak merusak kondisi pasien," ujar dokter spesialis bedah saraf di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional, Jakarta, Abrar Arham.
Penyakit yang bisa diatasi melalui jalan kecil ini pun bervariasi. Dokter spesialis bedah saraf, Asra Al Fauzi, misalnya, juga menggunakan metode lubang kunci ini untuk menangani perdarahan otak dan trauma kepala alias gegar otak ringan. Asra juga sudah menggunakannya untuk mengangkat aneurisma, yakni stroke akibat pecahnya pembuluh darah yang melembung di otak, sejak 2010. Namun cara ini masih diperdebatkan kalangan dokter bedah di dunia."Mereka bilang ini terlalu berisiko dan rumit. Butuh kemampuanyang mumpuni," katanya.
Tak sembarang orang pula bisa mendapatkan prosedur ini. Ada syarat ketat untuk menjalani metode ini. Untuk pasien tumor, Asra akan memeriksa betul kondisinya, terutama ukuran tumornya. Menurut dia, ukuran tumor yang aman diangkat lewat jalan sempit ini tak lebih dari lima sentimeter. "Kalau lebih dari itu, tidak bisa. Justru berbahaya," ujar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit dr Soetomo, Surabaya, itu.
Meski demikian, menurut Agus, karena tempurung kepala yang dibuka lebih sedikit, metode ini punya beberapa keunggulan. Luka sayatan akan lebih lekas sembuh lantaran ukurannya lebih kecil, risiko infeksi kecil, perdarahan minimal, dan secara kosmetik bekasnya tak terlihat karena tersamarkan rambut atau alis mata.
Hal itulah yang dialami Lina. Fendi tak melihat banyak perubahan di wajah istrinya itu. Alis kanan bekas lubang operasinya sudah tertutup sempurna. "Tetap cantik, kok, enggak kelihatan bekas operasinya," katanya.
Nur Alfiyah, Mitra Tarigan, Artika Rachmi Farmita (surabaya)
Cegah Sebelum Menjalar
DOKTER spesialis bedah saraf dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional, Ryan Keswani, mengatakan sebagian besar pasien tumor otak datang dalam kondisi tumor yang sudah besar karena banyak yang mengabaikan tandanya. Sebelum terlambat, kenali gejalanya.\
1.Sakit kepala, terutama pada malam dan pagi hari. Makin hari makin parah sampai obat analgesik tak bisa mengurangi nyeri tersebut.
2.Nyeri kepala yang semakin lama, sering, dan berat.
3.Mual dan muntah tanpa diketahui sebabnya.
4.Gangguan penglihatan, mata kabur, penglihatan ganda, dan penyempitan luas lapang penglihatan.
5.Penurunan kekuatan otot dan perasaan tebal pada lengan atas atau kaki.
6. Gangguan keseimbangan.
7.Kesulitan bicara.
8.Gangguan konsentrasi dan kebingungan.
9.Perubahan kepribadian dan perilaku, di antaranya jadi lebih emosional.
10. Kejang, terutama jika terjadi pada seseorang tanpa ada riwayat kejang sebelumnya.
11. Gangguan pendengaran.
12. Lebih sering mengantuk.
13. Gangguan daya ingat sementara.
14. Kehilangan kesadaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo