Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Aku, Kamu, Kami, Pribumi

NAMA-nama dibuat manusia untuk memudahkan percakapan, mengukuhkan pertalian, atau menegaskan permusuhan.

29 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagja Hidayat*

NAMA-nama dibuat manusia untuk memudahkan percakapan, mengukuhkan pertalian, atau menegaskan permusuhan. Kita tidak tahu untuk tujuan yang mana Anies Baswedan menyebut "pribumi" bagi mereka yang melawan kolonialisme dalam pidato setelah dilantik menjadi Gubernur Jakarta.

Mungkin ketiga-tiganya untuk obyek pendengar yang berbeda-beda. "Pribumi" adalah sebuah nama yang dipakai pemerintah kolonial untuk mengejek penduduk Nusantara. Kata ini melahirkan lawannya, yakni "nonpribumi". Dalam politik pecah-belah kemudian, pemerintah kolonial memakai "pri" dan "nonpri" ini untuk membedakan penduduk Indonesia berdasarkan suku dan orang pendatang-keturunan.

Sebagaimana umumnya bahasa politik untuk segregasi, nama-nama tak pernah memuat pengertian yang tegas dan jelas. Ia dibiarkan mengambang karena tujuannya untuk menumbuhkan saling curiga orang yang ada dalam kategori itu.

Maka Presiden Habibie membuat instruksi pada 1998 yang melarang pemakaian kata ini. Sebutan "pribumi" telah memecah Indonesia yang berakhir dalam kerusuhan rasial paling mengerikan dalam sejarah Republik pada 1998. Orang marah kepada mereka yang dikategorikan "nonpribumi" yang merujuk pada sebagian kecil pengusaha Tionghoa yang mendapat privilese zaman Soeharto. Dengan melihat ambruknya Indonesia ketika itu, politik pecah-belah telah berhasil justru ketika Indonesia memasuki zaman modern.

Manusia membuat nama agar ia punya ciri yang berbeda. Tapi kita selalu punya cara mereduksi dan mengaburkannya melalui bahasa. Maka, kendati bahasa Indonesia memiliki subyek yang jelas, kita acap mengaburkannya untuk banyak tujuan: sebagai bagian dari sopan santun, pertalian, atau ketaksaan berbahasa.

Dalam percakapan, kita terbiasa mendengar pemakaian subyek yang keliru. "Kita sudah instruksikan Pemda membuat larangan...," kata seorang menteri. "Kita" di sana seharusnya dia sendiri. Tapi ia memakai "kita" untuk menalikan subyek dengan orang lain agar, mungkin, terdengar lebih sopan. Dalam surat-surat, kita acap membaca kalimat terakhir dituliskan "hormat kami" meski penulis suratnya bukan sekelompok orang mengatasnamakan satu RT.

Ada yang inklusif dalam pemakaian subyek dan obyek seperti itu kendati keliru. Eufemisme kemudian memainkan peran lebih dalam tentang pemakaian sebuah kata. "Aku" acap dianggap pongah dibanding "saya", yang dianggap lebih sopan karena berasal dari "sahaya", sebutan untuk orang di lapisan terbawah yang jauh dari kedudukan para raja. Di Jawa Barat, "kamu" dianggap terlalu lancang, maka orang menggantinya dengan "kita". "Kita mau ke mana?" "Ah, kita mah curiga melulu."

Ada tujuan politik dalam setiap kata, sebagaimana selalu ada makna di baliknya yang tak tertampung kamus. Dalam kamus, "pribumi" disebut "penduduk asli dari tempat yang bersangkutan". Tapi untuk apa kata ini diciptakan karena tak ada penduduk asli di bumi ini? Bahkan Nabi Adam pun, menurut kitab suci, adalah makhluk yang diusir dari surga karena berbuat dosa.

Jawabannya adalah politik. Sebuah kata akan berkembang mengikuti pemahaman para pembuat, pemakai, dan penuturnya. Kata "pribumi" diciptakan pemerintah kolonial untuk menyebut obyek, mereka yang dijajah, sekaligus menegaskan permusuhan. Maka hanya pemerintah kolonial yang memakai kata ini untuk melumpuhkan kekuatan rakyat jajahan karena mulai bangkit melawan kesewenang-wenangan mereka.

Karena itu, para pemuda bersepakat pada 27-28 Oktober 1928 membacakan sebuah maklumat Keindonesiaan melalui Sumpah Pemuda. Kata-katanya tegas: kami putra dan putri Indonesia.... Mereka menyebut "kami" karena ikrar itu ditujukan untuk menyatukan kelompok-kelompok pemuda waktu itu, sekaligus menegaskan keberadaan mereka di hadapan pemerintah Belanda. Mereka tak menyebut diri "kami pribumi Indonesia...", seperti julukan yang diberikan pemerintah kolonial.

Maka, jika Anies Baswedan masih memakai kata ini dalam pidatonya, betapapun kata itu ia artikan untuk menyebut "kita" yang "bukan pemerintah kolonial", agaknya ada yang keliru dalam pemahamannya tentang sejarah. Kata itu tak pantas diucapkan dalam pidato resmi karena menyimpan sejarah panjang tentang diskriminasi.

Dugaan ini mungkin terlalu keji bagi dia karena Anies seorang cendekiawan-setidaknya ia pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina-yang pasti tahu bagaimana adab berpidato serta paham cara kerja kata dan bahasa. l

Wartawan Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus