Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOPAN Setiadipura, 37 tahun, merasa lega telah menyelesaikan tugas membuat desain rekayasa dasar Reaktor Daya Eksperimental dari Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Sebagai tanda syukur, dokumen rancangan dasar cikal-bakal pembangkit listrik tenaga nuklir buatan Indonesia itu diluncurkan di kantor Batan di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang Selatan, Banten, akhir September lalu.
"Keberhasilan ini membuat kami percaya diri untuk membuat desain detail sebagai langkah berikutnya dalam pembangunan reaktor daya eksperimental," ujar Topan di kantornya, Pusat Teknologi Keselamatan Reaktor Nuklir, Batan, awal Oktober lalu.
Keberhasilan Topan bersama 30 peneliti Batan lain dalam membuat desain dasar itu membuktikan mereka memiliki kapasitas sebagai perancang reaktor nuklir. Kepala Batan Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan ini merupakan pertanda bahwa program perekayasaan, yang menjadi fokus lima tahun terakhir, berjalan. "Desain reaktor dikuasai, artinya kita menjadi pemain utama bukan penerima barang impor atau makelar seperti dituduhkan," ujar Djarot, dua pekan lalu.
Kemampuan rekayasa Batan, menurut Djarot, sudah tampak ketika Reaktor Triga Mark Bandung kembali aktif setelah empat tahun padam pasca-tragedi Fukushima. "Kita mampu merekayasa karena 20 kilometer dari situ ada Patahan Lembang," ucapnya.
Contoh lainnya, kata Djarot, adalah Iradiator Gamma di Serpong. "Sebanyak 84 persen dari proyek itu dikerjakan insinyur-insinyur kami, sisanya oleh Rusia dan Hungaria," ujarnya.
Djarot berharap skema Iraditor Gamma, yang dibangun selama dua tahun, itu dapat diulang pada Reaktor Daya Eksperimental (RDE) yang telah mendapat izin tapak dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) di Puspiptek Serpong. "Dengan desain dasar ini, kita punya kekuatan tawar: kita bisa bikin sendiri dengan APBN atau dengan soft loan kalau tak ada uang, tapi pakai desain kita," ucap Djarot.
Merancang reaktor adalah pengalaman pertama bagi peneliti Batan. Tim Desain dan Kajian Keselamatan RDE yang dipimpin Topan malah bisa menekan anggaran pengembangan reaktor itu hampir separuhnya, yakni menjadi Rp 2,2 triliun. Pada 2015, konsorsium perusahaan Indonesia-Jerman, Renuko (PT Rekayasa Engineering, Nukem Technologies GmbH, dan Kogas Driyap Konsultan), menaksir biaya proyek itu mencapai Rp 4,3 triliun.
Menurut Djarot, Rp 4,3 triliun terlalu mahal untuk membangun prototipe PLTN 10 megawatt. "Kita harus menghitung sendiri, yang konsekuensinya adalah membuat desain dasar," ujarnya.
Desain dasar yang disusun Topan dan timnya selama tujuh bulan itu merujuk pada desain konseptual yang dibuat Renuko, sehingga perlu divalidasi Badan Tenaga Atom Internasional. Perbedaan antardesain ini adalah, "Desain konseptual berisi proses umum dalam reaktor, sedangkan desain dasar sudah ada spesifikasi reaktor dan rincian komponennya," kata Topan, doktor teknik nuklir dari Tokyo Institute of Technology Jepang. "Desain detail sudah memastikan komponennya ada di pasar."
Desain detail menjadi syarat mendapatkan izin desain dari Bapeten. Kepala Subdirektorat Perizinan Reaktor dan Bahan Nuklir Bapeten Wiryono mengatakan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, sebelum ke tahap konstruksi RDE, Batan harus memegang izin desain. Syaratnya, harus menyampaikan desain detail reaktor dan laporan analisis keselamatan.
Wiryono mengatakan Bapeten berharap Batan segera mengajukan permohonan izin desain secara resmi. Wiryono mempertimbangkan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan pihaknya. Padahal aturan hanya memberi waktu 12 bulan untuk evaluasi. "Batan diberi waktu enam bulan untuk memperbaiki dokumen itu. Jadi total 18 bulan ditambah 30 hari untuk pemeriksaan administrasi," ucapnya.
Menurut Wiryono, Bapeten sudah mempersiapkan sumber daya manusianya sejak 2007. Peningkatan kapabilitas para evaluator itu di antaranya mengundang ahli dari luar negeri dan mengirim pegawai belajar ke Jerman, Jepang, dan Afrika Selatan yang punya teknologi reaktor nuklir temperatur tinggi berpendingin gas (HTGR). "Tahun lalu, kami berkunjung ke HTR-10 Cina untuk berdiskusi soal perizinan dan melihat teknologinya," tuturnya.
HTR-10 atau reaktor temperatur tinggi mini daya 10 megawatt termal yang dikembangkan Institute of Nuclear and New Energy Technology pada Tsinghua University di Beijing memang menjadi referensi Batan membangun RDE. Dari reaktor eksperimental ini pula Cina mendirikan HTR-PM 2 x 100 megawatt di Shangdong, yang akan beroperasi tahun depan. "Penggagas HTR-10 itu lulusnya bareng pegawai Batan yang dikirim Pak Habibie ke Jerman. Sama-sama belajar HTGR, bedanya Cina langsung membangun," ujar Djarot.
Sejak kepulangan para pegawai dari Jerman pada 1996-1997, Batan mulai mengkaji jenis reaktor yang bukan menjadi arus utama masa itu. "Yang mainstream itu PWR (pressured water reactor) karena kebutuhannya adalah listrik," kata Djarot. Setelah Cina menggebrak, Arab Saudi dan Afrika Selatan mengikuti karena melihat manfaat HTGR bukan hanya listrik. Uap panas yang dihasilkan bisa untuk desalinasi air laut, smelter, kilang minyak, atau produksi hidrogen.
Alasan lain Batan memilih HTGR dengan jenis bahan bakar pebble bed karena merupakan reaktor generasi keempat. Ada keamanan melekat di dalam reaktornya. Jika terjadi sesuatu, menurut Djarot, bahan bakarnya tidak akan lari ke mana-mana. Jadi bila ditaruh di kawasan padat penduduk pun potensi terjadi kecelakaan yang berdampak luas cukup kecil.
Sumber pembiayaan menjadi rintangan besar reaktor yang semula ditargetkan beroperasi pada 2022 ini. Menurut Djarot, proposal buku biru untuk mencari pinjaman lunak sudah masuk ke Bappenas, tapi dikembalikan untuk diperbaiki. "Bappenas minta dayanya lebih besar."
Djarot mengatakan membangun reaktor 100 megawatt di Serpong akan menimbulkan ketakutan yang luar biasa karena bukan reaktor eksperimen, melainkan pembangkit listrik tenaga nuklir. "Kalau itu tekanannya, jawaban saya adalah beri saya lokasi dan perlindungan."
Dody Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo