DI satu pihak, pemasungan sudah dinyatakan dilarang. Di lain
pihak, penderita penyakit syaraf harus dibawa ke mana? Ini
menjadi problim di Sumatera Utara. Pihak berwajib di propinsi
itu mencoba memecahkan persoalan ini dengan rumah sakit
setempat. RS Jiwa, tentu saja, memerlukan biaya, sedang
masyarakat nyatanya tidak selalu berduit untuk membayar.
Secara tradisionil masyarakat telah memilih cara gampang saja
untuk menangani pasien syaraf. Yaitu main hakim sendiri,
menghukum si pasien malah sampai bertahun-tahun. Ada pasien yang
dirantai. Ada pula kedua kakinya dimasukkan ke dalam kayl
berlobang supaya tak lari. "Hukum pasung," demikian istilahnya,
masih banyak terjadi. Khusus di Sumatera Utara pihak kepolisian
melancarkan Operasi Citra untuk membebaskan mereka yang terkena
pemasungan itu. Beberapa contoh seperti dilaporkan oleh Zakaria
M. Passe, wartawan TEMPO:
Abdul Wahab Harahap, 41 tahun, sudah 11 tahun dirantai kakinya
ketika polisi menjumpainya Desember lalu di Pargarutan, Tapanuli
Selatan. Bekas anggota KKO itu telah ditinggalkan anak
isterinya. Kini ia dirawat di RS Jiwa Medan.
Masih di Tapanuli Selatan, dibebaskan pula dari hukuman
tradisionil itu Januari lalu Rahmat, 27 tahun, di Siadabuan dan
Soritua Harahap, 36 tahun, di Padang Sidempuan. Keduanya dirawat
di RS setempat.
Pemegang rekor adalah Selamat di Tuntungan dekat Medan. Petani
berusia 40 itu dipasung keluarganya selama 15 tahun sampai pihak
berwajib membebaskannya tahun lalu, dan membawanya ke RS Jiwa.
Tapi M. Zain, 53 tahun, yang dibebaskan dari pemasungan oleh
keluarga di Langkat tidak bisa mendapat perawatan di RS Jiwa
Medan. Soal biaya rupanya. Maka Zain yang bekas pejoang itu
terpaksa dikurung di rumah tahanan Polri Binjai. Kasus Zain ini
menjadi ramai. Walikota Binjai, Mulia Sebayang, berianii akan
membicarakannya denan Muspida setempat.
Mana Suratnya?
RS Jiwa Medan, kata direktur dr Djamaluddin, berpegang pada
prosedur dan tak akan menerima eks pasung tanpa surat lengkap
dari pamong, polisi dan pengadilan setempat. "Bukan soal biaya
saja," demikian sang direktur. "Juga harus ada pengakuan
tertulis dari keluarga si sakit. Kalau saya terima begitu saja,
saya bisa dituntut merampas kebebasan seseorang."
Pihak berwajib di tempat rupanya tidak melengkapi prosedur tadi.
Kebetulan dr Djamaluddin sudah kewalahan menampung eks pasung,
sebanyak 30% dari seluruh pasien, secara gratis. Tapi akhirnya
sang direktur menerima juga Zain setelah kantor Gubernur campur
tangan.
Tidak jelas apakah Operasi Citra masih akan digalakkan mengingat
sulitnya penampungan RS seperti di Medan itu. Oleh karena itu
pula Medan sendirinya tanya masih belum bersih dari pemasungan.
Sedikitnya diketahui ada 2 orang masing-masing di Jl. Sekip dan
Gelugur yang terpasung.
Terdengar pula pemasungan di Pangkalan Berandan dan Besitang,
dekat perbatasan Aceh. Yang di Berandan itu, Ramli alias Doyong,
27 tahun, sudah 7 tahun dipasung keluarganya setelah tergila
ganja sejak menjadi awah kapal. Sedang Radwan, 36 tahun, di
Besitang sudah 10 tahun dirantai di rumah orangtuanya dan
belakangan ini di suatu gudang buruk milik PJKA. Bila tak kumat,
Radwan yang dulu beken sebagai pemain musik mengeluh di gudang
itu "Kurasa memang dingin sekali di sini."
Di Jakarta, tidak ada Operasi Citra dan tiada pula soal eks
pasung bagi RS Jiwa. Berbeda dengan di Medan, kapasitas RS Jiwa
Jakarta (dulu Grogol) lebih besar yang tidak pernah penuh.
Direkturnya, Dr Nyoman Segel Surianta mengatakan pada Najib
Salim dari TEMPO bahwa RS Jiwa Jakarta berusaha membatasi
penerimaan pasien sampai 80% saja dari kapasitas tempat tidur --
sekitar 250.
Demi pemerataan, eks pasung Sumatera Utara sepantasnya dibawa ke
Jakarta Atau kapasitas RS Jiwa di daerah yang jauh itu
ditingkatkan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini