TAHUN ini lulusan SLA yang tak tertampung di perguruan tinggi
masih tetap banyak. Diperhitungkan 41 perguruan tinggi negeri
hanya bisa menampung 50 ribu calon mahasiswa, sementara ada 150
ribu lulusan SLA. Perguruan tinggi swasta yang jumlahnya dua
ratusan, juga lebih kurang hanya mampu menampung calon mahasiswa
dalam jumlah yang sama tersebut.
Karena daya tampung yang terbatas itulah tiap tahun selalu
dicari materi tes masuk yang sebaik mungkin, guna menyeleksi
para calon mahasiswa. Maksudnya agar yang berhasil lolos
benar-benar -- seperti yang tercantum dalam buku Panduan Masuk
Perguruan Tinggi Negeri 1979 yang dibagikan awal Pebruari ini --
berkemampuan baik dan diramalkan bisa menyelesaikan program
studi tepat pada waktunya.
Untuk keperluan tersebut, tahun 1976 ada tes SKALU (ujian masuk
bersama antara lima perguruan tinggi: ITB, IPB, UI, Gama dan
Unair). Setahun kemudian sistim itu dikukuhkan dan dikembangkan
sebagai proyek perintis untuk mencari pola ujian terbaik sebagai
alat seleksi calon mahasiswa. Dulu, Proyek Perintis,(PP) itu
terbagi menjadi tiga: PP I (beranggotakan lima perguruan tinggi
SKALU), PP II (hanya dilaksanakan IPB saja) dan PP III
(beranggotakan 7 perguruan tinggi: Universitas Sumatera Utara,
Pajajaran, Diponegoro, Brawijaya, Hasanuddin, Institut Teknologi
Surabaya dan IKIP Bandung).
Tahun ini bahkan dikembangkan empat PP: PP I beranggotakan
sepuluh perguruan tinggi (UI, Gama, USU, Unpad, Undip, Unibraw,
Unair, ITB, IPB dan ITS) PP II (IPB untuk semua jurusan, ITB
khusus fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam minus Farmasi
dan Gama khusus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
minus Biologi) PP III beranggotakan enam perguruan tinggi
(Universitas Syiah Kuala, Andalas, Sriwijaya, Jenderal Sudirman,
Sebelas Maret dan Udayana) PP IV khusus kelompok IKIP: IKIP
Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Malang.
Itu semua sebagai usaha "untuk mencari urutan siapa yang paling
mampu mengikuti program studi nantinya," kata Djuhar Ma'rifin
Husin, Ketua Tim Studi Nasional Pola Seleksi dan Penerimaan
Mahasiswa Baru Universitas/Institut Negeri Tahun 1979.
Memang, idealnya semua lulusan SLA yang berhasrat meneruskan ke
perguruan tinggi harus diberi kesempatan. Apa boleh buat tempat
terbatas. Maka tes seleksi itu diadakan, kecuali karena soal
tempat, juga karena mutu SLA di seluruh Indonesia tidak sama.
Dan PP yang dibagi empat kelompok itu, pun berdasarkan "tingkat
perkembangan" masing-masing perguruan tinggi. Untuk PP IV,
menurut Ma'rifin Husin, karena IKIP menuntut bakat khusus: bisa
tidaknya calon mahasiswa menjadi guru. Jadi khusus untuk PP IV
diadakan tes kepribadian, kecuali tes mata pelajaran biasa.
Pengelompokan sebagian perguruan tinggi negeri menjadi empat
itu, tentu pula menyebabkan perbedaan cara penyeleksian. Calon
mahasiswa yang mendaftar untuk kelompok PP I cukup ikut seleksi
di perguruan tinggi PP I terdekat, dan ia boleh memilih
perguruan tinggi PP I yang mana saja. Yang PP II sudah jelas
siapa yang masuk, karena PP II ini melanjutkan sistim yang
ditempuh IPB sejak lama: memakai sistim pemanduan bakat.
Maksudnya, dipilih bebcrapa SLA dan dari sekolah tersebut
dipilih lagi beberapa siswa top (yang diikuti perkembangannya
sejak kelas 1) dan jika mereka yang dipilih itu berminat masuk,
langsung saja bisa diterima tanpa ujian masuk.
Kelompok PP III cara penyeleksian hampir sama dengan PP I. Tapi
terbatas: calon mahasiswa hanya bisa masuk ke peruruan tinggi
tempat dia mendaftar.
Juga ada perbedaan cara penghitungan hasil seleksi. Yang PP I
memakai komputer, sedang yang PP III dengan cara manual saja.
Mungkin ini karena di PP I penghitungan itu terpusat, jadi
jumlahnya banyak, sedangkan PP III 'kan penghitungannya lokal
saja.
Sebenarnya, menurut Ma'rifin, pola seleksi itu secara garis
besar dibagi dua: yang lewat tes dan yang lewat pemanduan bakat.
Maksudnya, untuk mencari mana yang lebih tepat nantinya. Ada
kemungkinan untuk tahun-tahun mendatang dua cara itu
diasimilasikan. Mungkin timbul pertanyaan, apakah calon
mahasiswa yang ikut seleksi lewat tes tidak bersifat
untung-untungan? Bisa Saja, tesnya buruk padahal sehari-hari
termasuk anak yang cukup cerdas di sekolahnya. "Berhasil
tidaknya dalam seleksi itu pada dasarnya juga berkat apa yang
selama ini mereka terima di SLA," jawab Ma'rifin Husin. Dengan
adanya pengelompokan itu memang kemudian terkesan adanya
diskriminasi. Apalagi tidak semua perguruan tinggi negeri yang
berjumlah 41 itu masuk dalam proyek perintis tersebut. Dan
penyusunan jadwal waktu seleksi pun, memberikan kesan adanya
diskriminasi itu yang masuk PP waktu seleksi antara 22 Mei
sampai 2 Juni 1979, yang tidak masuk PP waktu seleksi
dijadwalkan tanggal sesudah itu. Jadi jika calon mahasiswa tak
lolos tes masuk ke pervuruan tini kelompok PP, boleh mencoba
ikut tes masuk perguruan tinggi di luar kelompok PP.
Standar Minimal
Toh, Ma'rifin Husin punya alasan lain. Katanya "Itu untuk
memberi kesempatan seluas mungkin kepada calon mahasiswa untuk
memilih." Dan sambung Widiantono, Sekretaris kelompok PP I:
"Juga buat mendorong SLA-SLA dan perguruan tinggi selalu
meningkatkan mutu."
Cuma soalnya sekarang, apakah materi tes masuk perguruan tinggi
itu sudah benar-benar mampu menyeleksi calon mahasiswa yang
dikehendaki? Setelah ada kerja sama dengan Ditjen Pendidikan
Dasar dan Menengah dan kemudian mendapat informasi apa saja yang
diajarkan di SLA-SLA, boleh dianggap materi tes sekarang mampu
"memberikan ramalan yang baik." Itu dikatakan Widiantono. Dan
tambah Djuhar Ma'rifin Husin: "Soalnya bukan apakah peserta tes
itu lulus atau tidak lulus, tapi tes itu hanya mencari urutan
kemampuan saja. Jadi belum tentu yang tidak diterima itu tidak
lulus tidak mempunyai potensi untuk jadi dokter, misalnya."
Jelasnya, sekali lagi, tes tersebut memang hanya mencari urutan
kemampuan, dan itu disebabkan karena tempat yang terbatas. Bukan
soal kualitas, tapi soal kuantitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini