Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kuantitas, Itulah Soalnya

Lulusan SMA yang diwajibkan mengikuti tes masuk dalam proyek perintis sebenarnya dimaksudkan untuk mencari urutan kemampuan, yang tidak lulus belum tentu tidak berpotensi, masalahnya tempat yang terbatas. (pdk)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN ini lulusan SLA yang tak tertampung di perguruan tinggi masih tetap banyak. Diperhitungkan 41 perguruan tinggi negeri hanya bisa menampung 50 ribu calon mahasiswa, sementara ada 150 ribu lulusan SLA. Perguruan tinggi swasta yang jumlahnya dua ratusan, juga lebih kurang hanya mampu menampung calon mahasiswa dalam jumlah yang sama tersebut. Karena daya tampung yang terbatas itulah tiap tahun selalu dicari materi tes masuk yang sebaik mungkin, guna menyeleksi para calon mahasiswa. Maksudnya agar yang berhasil lolos benar-benar -- seperti yang tercantum dalam buku Panduan Masuk Perguruan Tinggi Negeri 1979 yang dibagikan awal Pebruari ini -- berkemampuan baik dan diramalkan bisa menyelesaikan program studi tepat pada waktunya. Untuk keperluan tersebut, tahun 1976 ada tes SKALU (ujian masuk bersama antara lima perguruan tinggi: ITB, IPB, UI, Gama dan Unair). Setahun kemudian sistim itu dikukuhkan dan dikembangkan sebagai proyek perintis untuk mencari pola ujian terbaik sebagai alat seleksi calon mahasiswa. Dulu, Proyek Perintis,(PP) itu terbagi menjadi tiga: PP I (beranggotakan lima perguruan tinggi SKALU), PP II (hanya dilaksanakan IPB saja) dan PP III (beranggotakan 7 perguruan tinggi: Universitas Sumatera Utara, Pajajaran, Diponegoro, Brawijaya, Hasanuddin, Institut Teknologi Surabaya dan IKIP Bandung). Tahun ini bahkan dikembangkan empat PP: PP I beranggotakan sepuluh perguruan tinggi (UI, Gama, USU, Unpad, Undip, Unibraw, Unair, ITB, IPB dan ITS) PP II (IPB untuk semua jurusan, ITB khusus fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam minus Farmasi dan Gama khusus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam minus Biologi) PP III beranggotakan enam perguruan tinggi (Universitas Syiah Kuala, Andalas, Sriwijaya, Jenderal Sudirman, Sebelas Maret dan Udayana) PP IV khusus kelompok IKIP: IKIP Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Malang. Itu semua sebagai usaha "untuk mencari urutan siapa yang paling mampu mengikuti program studi nantinya," kata Djuhar Ma'rifin Husin, Ketua Tim Studi Nasional Pola Seleksi dan Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas/Institut Negeri Tahun 1979. Memang, idealnya semua lulusan SLA yang berhasrat meneruskan ke perguruan tinggi harus diberi kesempatan. Apa boleh buat tempat terbatas. Maka tes seleksi itu diadakan, kecuali karena soal tempat, juga karena mutu SLA di seluruh Indonesia tidak sama. Dan PP yang dibagi empat kelompok itu, pun berdasarkan "tingkat perkembangan" masing-masing perguruan tinggi. Untuk PP IV, menurut Ma'rifin Husin, karena IKIP menuntut bakat khusus: bisa tidaknya calon mahasiswa menjadi guru. Jadi khusus untuk PP IV diadakan tes kepribadian, kecuali tes mata pelajaran biasa. Pengelompokan sebagian perguruan tinggi negeri menjadi empat itu, tentu pula menyebabkan perbedaan cara penyeleksian. Calon mahasiswa yang mendaftar untuk kelompok PP I cukup ikut seleksi di perguruan tinggi PP I terdekat, dan ia boleh memilih perguruan tinggi PP I yang mana saja. Yang PP II sudah jelas siapa yang masuk, karena PP II ini melanjutkan sistim yang ditempuh IPB sejak lama: memakai sistim pemanduan bakat. Maksudnya, dipilih bebcrapa SLA dan dari sekolah tersebut dipilih lagi beberapa siswa top (yang diikuti perkembangannya sejak kelas 1) dan jika mereka yang dipilih itu berminat masuk, langsung saja bisa diterima tanpa ujian masuk. Kelompok PP III cara penyeleksian hampir sama dengan PP I. Tapi terbatas: calon mahasiswa hanya bisa masuk ke peruruan tinggi tempat dia mendaftar. Juga ada perbedaan cara penghitungan hasil seleksi. Yang PP I memakai komputer, sedang yang PP III dengan cara manual saja. Mungkin ini karena di PP I penghitungan itu terpusat, jadi jumlahnya banyak, sedangkan PP III 'kan penghitungannya lokal saja. Sebenarnya, menurut Ma'rifin, pola seleksi itu secara garis besar dibagi dua: yang lewat tes dan yang lewat pemanduan bakat. Maksudnya, untuk mencari mana yang lebih tepat nantinya. Ada kemungkinan untuk tahun-tahun mendatang dua cara itu diasimilasikan. Mungkin timbul pertanyaan, apakah calon mahasiswa yang ikut seleksi lewat tes tidak bersifat untung-untungan? Bisa Saja, tesnya buruk padahal sehari-hari termasuk anak yang cukup cerdas di sekolahnya. "Berhasil tidaknya dalam seleksi itu pada dasarnya juga berkat apa yang selama ini mereka terima di SLA," jawab Ma'rifin Husin. Dengan adanya pengelompokan itu memang kemudian terkesan adanya diskriminasi. Apalagi tidak semua perguruan tinggi negeri yang berjumlah 41 itu masuk dalam proyek perintis tersebut. Dan penyusunan jadwal waktu seleksi pun, memberikan kesan adanya diskriminasi itu yang masuk PP waktu seleksi antara 22 Mei sampai 2 Juni 1979, yang tidak masuk PP waktu seleksi dijadwalkan tanggal sesudah itu. Jadi jika calon mahasiswa tak lolos tes masuk ke pervuruan tini kelompok PP, boleh mencoba ikut tes masuk perguruan tinggi di luar kelompok PP. Standar Minimal Toh, Ma'rifin Husin punya alasan lain. Katanya "Itu untuk memberi kesempatan seluas mungkin kepada calon mahasiswa untuk memilih." Dan sambung Widiantono, Sekretaris kelompok PP I: "Juga buat mendorong SLA-SLA dan perguruan tinggi selalu meningkatkan mutu." Cuma soalnya sekarang, apakah materi tes masuk perguruan tinggi itu sudah benar-benar mampu menyeleksi calon mahasiswa yang dikehendaki? Setelah ada kerja sama dengan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah dan kemudian mendapat informasi apa saja yang diajarkan di SLA-SLA, boleh dianggap materi tes sekarang mampu "memberikan ramalan yang baik." Itu dikatakan Widiantono. Dan tambah Djuhar Ma'rifin Husin: "Soalnya bukan apakah peserta tes itu lulus atau tidak lulus, tapi tes itu hanya mencari urutan kemampuan saja. Jadi belum tentu yang tidak diterima itu tidak lulus tidak mempunyai potensi untuk jadi dokter, misalnya." Jelasnya, sekali lagi, tes tersebut memang hanya mencari urutan kemampuan, dan itu disebabkan karena tempat yang terbatas. Bukan soal kualitas, tapi soal kuantitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus