DARI tahun ke tahun, tak kurang dari puluhan ribu tamatan SLTA
tak tertampung di perguruan tinggi dan institut negeri. Tentu
sebagian bisa pula ditampung di perguruan tinggi swasta. Itu pun
kalau otak cukup mampu atau dompet orangtuanya padat. Kalau
tidak?
Nah, kepada mereka barangkali bisa diperkenalkan program studi
yang disebut Program Diploma, sebagai salah satu dari 4 program
pendidikan tinggi. Yaitu program diploma atau disebut strata O,
program sarjana (strata I), program pasca sarjana (strata II)
dan program doktor (strata III).
Program Diploma yang lebih mengutamakan mendidik tenaga menengah
yang trampil ini tidak memberikan gelar. Bisa diikuti para
tamatan SLTA, tapi juga mahasiswa atau bahkan sarjana muda yang
tak bisa melanjutkan studi karena kekurangan biaya.
Pendidikan ini akan menghasilkan tenaga yang bisa menjembatani
lulusan SLTA kejuruan dan sarjana ahli. Tenaga seperti itu
semakin dirasakan perlunya, bukan saja karena banyaknya tamatan
SLTA yang tak tertampung dan mahasiswa drop out, tapi juga
lantaran permintaan tenaga seperti itu memang banyak.
"Industri kita banyak membutuhkan tenaga ahli menengah seperti
itu. Banyak bidang pekerjaan yang kurang bisa ditangani tenaga
lulusan STM misalnya tapi terlalu rendah untuk pekerjaan seorang
insinyur," kata Dirjen Pendidikan Tinggi Doddy Tisna Amijaya
pekan lalu.
Dengan dasar pikiran seperti itu, Ditjen Pendidikan Tinggi
terdorong lebih menggalakkan penyelenggaraan Program Diploma
bidang politeknik mekanik. Dengan bantuan Bank Dunia, prasarana
pendidikan politeknik kini sedang dibangun di 6 perguruan
tinggi: USU, Unsri UI, ITB, Undip dan Universitas Brawijaya.
Penggalakan itu tampaknya setelah belajar dari keberhasilan
Politeknik Mekanik Swiss (PMS) yang diselenggarakan sejak Maret
1977 di ITB. Dengan bantuan Swiss, politeknik itu membuka 3
jurusan: membuat alat-alat presisi, ahli perawat mesin, ahli
perencana gambar dengan lama pendidikan 3 tahun. Dan kabarnya
akan dibuka 3 jurusan lagi: sipil, mesin, elektro.
Menurut Direktur PMS-ITB, Hadi Waratama, jaminan masa depan
lulusan politeknik lebih pasti. Alumninya hampir semua bisa
bekerja. "Kalau sarjana muda bisa menjadi pegawai negeri dengan
golongan II B, tamatan politeknik II C," katanya.
Dengan begitu gajinya pun lumayan besar. "Sebagai pegawai negeri
bisa mendapat sekitar Rp 90.000, tapi di swasta ada yang Rp
125.000, lebih tinggi dari gaji insinyur," tambah Hadi Waratama.
Bisa dimaklum, sebab seperti kata Doddy Tisna Amijaya, mereka
lebih trampil. "Kurikulumnya 60% kerja tangan, selebihnya
teori," kata Doddy lagi.
Menurut Pj. Asisten PMS-ITB, Suharsono, kini sudah 18 perusahaan
yang memesan calon tamatan politeknik. Padahal tenaga yang
dihasilkannya baru 22 orang. Setiap tahun terdapat 500 peminat,
daya tampung politeknik ini cuma 50 orang.
"Keinginan menampung lebih banyak memang ada, tapi fasilitas dan
sarana perbengkelannya masih terbatas," kata Suharsono kepada
Hasan Syukur dari TEMPO. Bukan itu saja, tenaga pengajarnya pun
kurang mencukupi. Itulah sebabnya, di Bandung juga didirikan
Pusat Pengembangan Pendidikan Ahli Teknik.
Direktur Pembinaan Sarana Akademis, S. Pramoetadi, berharap di
tahun 1981 nanti dari pusat pengembangan tersebut akan bisa
dihasilkan sejumlah tenaga pengajar yang dimaksud. Akan halnya
PMS-ITB sendiri, menurut Pramoetadi, di awal penyelenggaraannya
memang agak seret "menjual tenaga di pasaran kerja."
Mengapa Sebab semula yang diprioritaskan para mahasiswa ITB
yang drop out, hingga timbul kesan sebagai "tempat buangan".
Tapi kata Pramoetadi lagi, "kelak bila masyarakat sudah
menyadari pentingnya peranan mereka memenuhi permintaan berbagai
jenis kerja, kesan itu akan terhapus."
Pasaran Kerja
Niat menghapus kesan itu juga ada pada Suharsono, Pj. Asisten
PMS-ITB, terutama karena pendidikan ini tidak memberikan gelar.
"Pendidikan ini ingin mendobrak kesan seolah-olah hanya yang
bergelar saja yang bisa bekerja," katanya.
Pendidikan diploma, tampaknya memang akan semakin digalakkan.
Beberapa perguruan tinggi negeri sudah lama menyelenggarakannya.
Bukan hanya meliputi bidang teknologi seperti di ITB, tapi juga
bidang lain misalnya pendidikan bahasa asing, seperti yang sejak
tahun lalu diselenggarakan FS-UI.
Menurut Pramoetadi, kelak perguruan tinggi swasta pun diberi
kesempatan membuka Program Diploma. Untuk menyelenggarakannya,
perguruan tinggi harus mengajukan rencana yang akan disyahkan
oleh Ditjen Pendidikan Tinggi. Selain juga memerlukan SK Dirjen,
persyaratan lainnya harus dipenuhi.
Misalnya tersedia tenaga pengajar, fasilitas yang memadai, dan
kebutuhan masyarakat sekitar yang akan menyerap tenaga yang
dihasilkan. Penggalakan Program Diploma ini tampaknya juga
mengingat kemampuan yang berbeda dari masing-masing perguruan
tinggi. Sebuah perguruan tinggi di luar Jawa misalnya,
barangkali kelak, hanya diizinkan membuka strata O alias Program
Diploma atau strata I saja.
Pramoetadi mengambil contoh: Universitas Nusa Cendana pernah
mengajukan rencana mendirikan Fakultas Pertanian dengan
spesifikasi tanah kering. Setelah diteliti kemampuannya, Dirjen
menganjurkan agar Nusa Cendana menyelenggarakan Proram Diploma
dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini