Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rokhmin Dahuri: Kalau untuk Kampanye, Saya tidak Tahu

Walau berstatus tahanan, setiap Sabtu Rokhmin memberikan kuliah mahasiswa S-2 dan S-3. Mengaku pungutan itu hanya meneruskan ”tradisi” dari menteri sebelumnya.

16 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKUL 11, didampingi istrinya, guru besar itu meninggalkan selnya di ujung lantai dasar menuju lantai dua gedung Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri. Pada Sabtu pekan lalu, Rokhmin Dahuri, 49 tahun, akan memberikan kuliah untuk mahasiswa program master (S-2) dan doktoral (S-3) Institut Pertanian Bogor (IPB), yang mengambil mata kuliah pengelolaan pesisir terpadu. Tempat kuliahnya, sebuah ruangan 5x8 meter yang biasa dipakai rapat polisi anggota Bareskrim.

Layaknya ruang kuliah, di situ tersedia kertas lebar untuk menulis, spidol, dan infokus yang tersambung ke komputer. Para mahasiswa duduk di sekeliling meja 2x4 meter. Di depan pintu masuk, dua polisi mengawasi setiap mahasiswa yang datang. ”Jangan sampai ada wartawan yang masuk,” ujar seorang petugas memperingatkan staf Rokhmin.

Hari itu ada 13 mahasiswa yang mengikuti kuliah sang guru besar yang pernah menjadi dosen teladan tingkat nasional itu. Salah satunya, istrinya sendiri, Pigoselpi Anas. Ibu empat anak yang juga adik kelas Rokhmin di IPB itu kini sedang mengambil program doktor di bidang sumber daya perairan. Rokhmin sampai kini juga masih tercatat sebagai ketua program studi pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan pascasarjana IPB. ”Manajemen pesisir itu penting, dan salah satu aspek penting manajemen adalah kontrol. Di bagian ini saya lemah, dan ini membuat saya masuk penjara,” ujarnya berseloroh.

Sejak Rokhmin berstatus tahanan karena menjadi tersangka korupsi dana nonbujeter, mahasiswanya kemudian ”memburu” sang dosen ini ke penjara. Pada awal April lalu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya memberi Rokhmin izin mengajar dengan syarat kuliah itu dilangsungkan di gedung Bareskrim, tempat ia ditahan.

IPB juga mengirim seorang stafnya untuk mendampingi Rokhmin saat memberikan kuliah. Bersama Pigoselpi, setiap Sabtu staf ini meluncur ke Jakarta. Tugasnya, antara lain, mengabsen siapa saja mahasiswa IPB yang hari itu ikut kuliah lalu melaporkannya ke rektorat. Layaknya orang menjenguk tahanan, sejumlah mahasiswa yang datang juga diperiksa polisi, meninggalkan KTP, dan memakai tanda pengenal.

Kendati Rokhmin mendapat izin, bukan berarti para mahasiswa Rokhmin tak ada masalah. Sejumlah mahasiswa yang mengambil program doktor langsung di bawah bimbingan Rokhmin pesimistis kuliah mereka lancar. ”Tidak mungkin saya menemuinya terus-menerus di penjara. Saya membutuhkan Pak Rokhmin juga untuk penelitian di lapangan,” ujar Wahyu, dosen Universitas Muhammadiyah Malang. Pada Sabtu lalu Wahyu akhirnya memutuskan pindah dosen pembimbing. ”Kalau status beliau seperti ini, program doktor saya bisa gagal,” katanya.

Hari itu Rokhmin mengajar bidang yang sangat dikuasainya: pengelolaan pesisir terpadu. Panjang lebar ia menerangkan pentingnya wilayah pesisir laut ini dari sisi ekonomi dan sumber daya manusia. ”Pemerintah dan politisi kita kurang paham soal ini,” ujarnya. ”Karena itu Anda semua harus rajin menulis di koran untuk menyebarkan penting-nya wilayah ini.”

Baru sekitar satu setengah jam Rokhmin mengajar, pintu diketuk. Seorang polisi memanggil staf Rokhmin. ”Polisi minta kuliahnya jangan lama-lama,” ujar staf itu melapor ke Rokhmin. Beberapa menit kemudian Rokhmin menyudahi kuliahnya. ”Harusnya kuliah seperti ini sekitar tiga jam,” ujarnya. Seusai memberikan kuliah, Rokhmin bersedia menjawab sejumlah pertanyaan wartawan Tempo L.R. Baskoro. Petikannya:

Bagaimana sebenarnya ide awal pengumpulan dana nonbujeter itu?

Itu bukan ide saya. Itu seperti air, meng-alir, sudah ada sejak zaman Pak Sarwono (Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Kelautan sebelum Rokhmin). Kan waktu itu saya tidak langsung menjadi menteri. Waktu itu setiap bulan sekretaris jenderal meminta kontribusi ini-itu. Saya juga tidak menyalahkan Pak Sarwono karena memang kementerian membutuhkan dana. Untuk rapat-rapat, untuk pameran di Jakarta Convention Center, misalnya, itu kan harus bayar sewa.

Anda tahu pungutan yang Anda lakukan menyalahi aturan?

Tidak tahu. Yang harusnya tahu kan Sekjen, dan kenapa saya tampil pede, karena semua juga melakukan. Cuma orang lain mungkin tidak mencatat.

Rekening tempat pengumpulan dana itu atas nama Anda?

Tidak, atas nama bendahara.

Jadi, atas nama pribadi?

Iya, namanya saja dana nonbujeter. Jadi, tidak ada atas nama saya, tidak ada atas nama Sekjen. Uang itu benar-benar untuk kepentingan publik, kepentingan kelautan.

Kenapa pungutan seperti ini dilakukan? Apakah karena dana Departemen Kelautan kurang?

Selain kurang, juga karena APBN kita tidak fleksibel. Misalnya saja sewaktu saya berkunjung ke Kabupaten Mamuju pada 2003 dan ada nelayan tenggelam. Di sana kami memberikan bantuan. Kalau mengandalkan APBN, berarti bantuan itu baru keluar pada 2004. Jadi, ini seperti munafiklah APBN kita dibuat. Yang ideal seharusnya ada dana cadangan, misalnya lima atau dua persen. Jadi, Menteri Pertanian atau menteri yang mengurus rakyat, jika menghadapi sesuatu, misalnya bencana, bisa langsung bertindak. Kalau kami berkunjung di suatu daerah, temu wicara dan warga minta sumbangan dan kita tidak memberi, warga bisa ngamuk. Bisa-bisa kita diteriaki omdo (omong doang).

Apakah ada kepala dinas di daerah yang memprotes pungutan itu?

Tidak ada. Seperti kesaksian staf Departemen Kelautan di pengadilan, potongan itu tidak ada satu persen, sekitar 0,13 persen, dan itu pun tidak ada formula khusus. Jadi, secara sukarela.

Dana itu sebenarnya diperuntukkan buat apa?

Untuk sektor kelautan dan perikanan. Untuk menyusun Undang-Undang Perikanan sekitar Rp 5 miliar. Dari sekitar Rp 11 miliar yang terkumpul, sekitar 40 persen untuk membantu nelayan.

Banyak dana yang mengalir ke individu anggota DPR, seperti untuk Ketua Komisi Perikanan.…

Mungkin ada ya, yang tahu detailnya saya kira Sekjen.

Dana itu juga mengalir ke partai politik dan tim sukses calon presiden. Ini kan tidak ada kaitannya dengan kelautan. Kenapa Anda menyetujui?

Masuknya kan lewat bagian keuang-an, pakai proposal dan tetap disebut berkaitan dengan kegiatan nelayan. Kalau dalam prakteknya ditunggangi untuk kepentingan kampanye, saya tidak tahu.

Apakah pemberian uang kepada individu itu ada tanda bukti terimanya?

Tidak. Tapi kalau ditransfer ada, mi-salnya untuk Pak Sarwono.

Banyak yang kini membantah pernah menerima dana itu, termasuk sejumlah anggota DPR yang namanya tercantum dalam daftar pengeluaran itu.

Biar saja. Kita lihat saja nanti di persidangan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi juga menyatakan tidak tahu bahwa dana yang pernah dipakainya selama ini ternyata dari dana nonbujeter.

Untuk yang ini, saya no comment, saya serahkan ke KPK untuk menilainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus