Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesta cokelat di Singapura pada akhir tahun lalu benar-benar ibarat surga bagi Tina Toon, 12 tahun. Penyanyi cilik ini bisa mencicipi aneka cokelat kegemarannya. Namun ibunya, Megawati, 37 tahun, selalu mengingatkannya agar mengerem nafsu makan. Maklum, pemilik nama asli Tina Agustina ini tengah menjalani program penurunan berat badan.
”Saya sudah membawanya konsultasi ke dokter ahli gizi. Tina mengalami obesitas,” kata Megawati. Dokter lalu mengatur pola makannya. Setiap dua jam sekali, ia mendapat makanan ringan. Pagi dianjurkan makan sebutir telur, sore bubur kacang hijau, dan malamnya jus buah. Makanan berkalori tinggi dan berlemak harus dihindari. Aktivitas olahraga mesti ditingkatkan.
Toh, dengan segudang petunjuk diet, bobot Tina masih terpatok di angka 52 kilogram. Dengan tinggi 150 sentimeter, ia terlihat tambun dengan postur tubuh pendek, pipi tembem, dan dagu rangkap. Padahal ibunya selalu cerewet dalam soal menu makannya. ”Setiap kali masuk ke restoran, Mama selalu bilang pilih buah dan sayuran. Kalau mau makanan enak, ambil porsi kecil,” ujar bocah yang suka berenang dan bermain basket ini.
Pada pagi hari, kini Tina lebih sering minum jus dan madu. Siangnya makan nasi dan lauk ikan ditambah buah di sekolah. Sorenya minum jus apel, susu nirlemak, lalu makan sedikit nasi. Semua kegiatan makan besar diakhiri pada pukul 19.00. ”Jika malam lapar, Mama suka memberi roti atau havermut,” katanya.
Perubahan ini cukup lumayan. Dulu, anak pertama dari dua bersaudara ini dikenal jago makan. Selain cokelat, brownies adalah kegemarannya. Sekarang ia harus menjauhi kue manis itu. ”Kecuali ada yang berulang tahun, saya boleh makan brownies,” ujar Tina, yang merasa risi dengan bentuk tubuhnya karena mulai menginjak usia remaja. Seperti remaja lainnya, ”Saya pengin langsing,” katanya.
Megawati menduga obesitas yang dialami Tina karena faktor turunan. ”Papinya gemuk. Saya juga gemuk,” ujarnya. Ibu dua anak ini bobotnya memang 70 kilogram dengan tinggi 168 sentimeter.
Ribuan anak di Indonesia kelak bisa bernasib seperti Tina. Soalnya, penderita kegemukan pada anak-anak usia lima tahun ke bawah cenderung meningkat setiap tahun. Survei Sosioekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat balita yang menderita gizi lebih (obesitas) sebanyak 0,77 persen pada 1989, kemudian melonjak menjadi 4,8 persen pada 1999.
Kemakmuran rupanya berpengaruh pada obesitas. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, angka penderita kegemukan menurun menjadi 3,25 persen pada 2000 dan 2,2 persen pada 2002. Namun naik lagi menjadi 2,5 persen pada 2003. ”Perlu perhatian dari para orang tua untuk sama-sama menekan angka penderita obesitas,” ujar Anie Kurniawan, seorang dokter ahli gizi.
Maya Alaidal Fitri, 14 tahun, adalah contoh penderita obesitas yang lain. Dengan tinggi 160 sentimeter, ia memiliki bobot badan 85 kilogram. Hobinya mengudap makanan ringan kemasan pabrik. ”Saya pengin nurunin berat badan, tapi susah kalau disuruh diet,” kata siswi kelas dua SMP ini.
Ibu Maya, Ester Ernawati, 46 tahun, sudah sering mengingatkan bungsu dari dua bersaudara ini agar mengurangi porsi makan. Tapi Maya tetap saja banyak makan. ”Apalagi kalau malam, makannya bisa dua piring penuh nasi,” ujar Erna.
Erna pernah membawa anaknya berkonsultasi ke dokter ahli gizi. Tapi, begitu diberi petunjuk untuk mengatur pola makan, Maya tak pernah melaksanakannya. ”Dia masih cuek dan sulit menghentikan kebiasaan ngemil,” ujarnya.
Tekad Maya untuk langsing tak sekuat kakaknya, Septi Anggrina, 19 tahun. Ketika berusia 10 tahun dan duduk di kelas IV SD, berat badan Septi mencapai 52 kilogram. Lantaran tubuhnya yang tambun, Septi sering menjadi bahan ejekan teman-temannya.
Merasa risi dan malu, diam-diam Septi diet dengan caranya sendiri. Ia tak makan apa pun kecuali buah dan air putih. Hal itu dilakukan sampai setengah tahun. Memang berat badannya sempat turun 5-6 kilogram. Tapi, akibat diet ekstrem itu, ia sering pingsan di sekolah. Bahkan ia juga harus dirawat di rumah sakit karena penyakit maag.
Erna kaget mengetahui penyakit maag yang diderita anaknya akibat diet yang salah. Septi lalu dibawa ke klinik Anie Kurniawan. Ahli gizi itu memberikan petunjuk pola makan, yakni mengurangi makan nasi, makanan berkalori tinggi dan berlemak. Bila perlu nasi diganti dengan kentang kukus. Kudapan kue dan makanan kemasan pabrik diganti dengan buah.
Lantaran keinginan untuk memperbaiki penampilan datang dari diri si anak, dalam tempo setahun Septi bisa mengurangi berat badannya 8–10 kilogram. Kini, berat badan mahasiswi semester satu ini normal, yakni 47 kilogram dengan tinggi 156 sentimeter. ”Saya masih terlihat gemuk dan mau nurunin dua kilo lagi, karena saya pendek,” ujarnya.
Anie Kurniawan mengakui penurunan berat badan pada anak-anak obesitas akan lebih berhasil jika keinginan itu muncul dari diri si anak, ditambah dorongan orang tua dan lingkungan. ”Septi lebih berhasil daripada adiknya, karena Septi memiliki dorongan yang kuat untuk langsing,” katanya. Sedangkan adiknya masih cuek dan belum menyadari pentingnya penampilan.
Menurut Anie, ada beberapa cara mengukur obesitas. Cara yang paling sederhana adalah dengan mengukur indeks masa tubuh (IMT = berat badan/tinggi badan kuadrat). Bila berat badan anak sudah di atas 20 persen berat badan ideal sesuai dengan umurnya, anak itu harus diwaspadai menderita obesitas.
Cara lain, seperti disebut Lohman, peneliti dari Amerika, dengan mengukur tebal lemak. Seorang anak bisa dikategorikan kegemukan jika lemak tubuhnya lebih dari 25 persen dari total berat badan pada anak laki-laki, dan lebih dari 32 persen dari total berat badannya pada anak perempuan.
Anie Kurniawan mengatakan obesitas mudah dicegah, tapi sulit diobati. Untuk mencegah kegemukan pada bayi bisa dilakukan sejak awal, dengan memberikan air susu ibu eksklusif selama enam bulan. Soalnya, bayi yang mendapat susu formula kenaikan berat badannya lebih banyak ketimbang bayi yang diberi ASI. Jika sejak usia bawah lima tahun anak menderita obesitas, saat dewasa ia cenderung kegemukan pula.
Obesitas terjadi karena beberapa faktor, antara lain keturunan, genetis, dan lingkungan. Risiko obesitas cenderung lebih besar pada anak-anak yang kedua orang tuanya juga gemuk. Prevalensinya sampai 80 persen. ”Kegemukan pada anak terlihat dari bentuk tubuh dan tempat-tempat penimbunan lemak mengikuti prototipe orang tua,” kata Anie. Selain faktor genetis, juga ada peniruan anak terhadap kebiasaan makan dan olahraga orang tua.
Faktor lingkungan, perubahan gaya hidup, dan pola makan berpengaruh besar pula pada terjadinya obesitas. Misalnya anak sering menghabiskan waktunya dengan menonton TV atau main game sambil mengudap makanan berkalori tinggi, protein, lemak, dan garam, seperti keripik, goreng-gorengan, es krim, dan cokelat. Iklan makanan di layar kaca juga mempengaruhi perilaku makan anak-anak.
Obesitas perlu dicegah sejak dini lantaran dapat memicu aneka penyakit. Contohnya darah tinggi, kencing manis, dan berisiko tinggi terkena penyakit jantung koroner. Lagi pula, anak yang gemuk biasanya juga rendah diri, pesimistis, menarik diri dari pergaulan dengan kelompoknya karena takut diejek, cenderung tertutup, dan mudah depresi. Jika tidak ditangani dengan baik, depresi dapat memicu anak untuk makan lebih banyak lagi.
Terapi yang paling baik terhadap penderita obesitas adalah meningkatkan aktivitas fisik, seperti bermain di luar rumah dan olahraga teratur untuk meningkatkan pengeluaran energi dan pembakaran lemak. Anie tak pernah menganjurkan anak-anak berdiet ketat karena dapat mengganggu pertumbuhan. Apalagi menggunakan pelangsing, pencahar, atau obat-obatan lainnya, karena itu sangat berbahaya.
Menurut Anie, anak-anak yang ingin menurunkan berat badan cukup diatur pola makannya. Caranya, menghitung jumlah kebutuhan kalori, zat gizi seimbang, memilih makanan rendah protein dan rendah lemak, banyak makan buah dan sayuran. Dukungan keluarga dan teman dekat sangat penting. ”Orang tua bisa memberikan hadiah atau penghargaan jika anak berhasil menurunkan berat badannya,” ujarnya.
Eni Saeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo