Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gunung Es Lia Aminuddin (Tanggapan untuk Danarto)

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haidar Bagir

  • Doktor filsafat, pendiri Pusat Kajian Tasawuf Positif IIMaN, penulis Buku Saku Tasawuf dan Buku Saku Filsafat Islam.

    Kembalinya yang supranatural pada abad posmo ini barangkali adalah salah satu di antara—meminjam istilah John Naisbitt—”paradoks global”. Jika mengikuti ramalan para filsuf, sosiolog, atau antropolog yang menulis tentang agama, seperti Marx, Nietsche, Comte, Durkheim, Weber, Kahn, Sorokin, dan banyak lagi, seharusnya yang supranatural sudah lama pupus dari bumi ini. Tapi, bukan hanya agama dan spiritualitas—apakah ia disebut mistisisme, aliran New Age, atau Frontier Aquarian—ribuan organisasi kultus (cultic organizations) pun menjamur di seluruh bagian dunia. Kalau saya tak salah ingat, pada tahun 1974 saja Alvin Toffler telah mencatat bermunculannya lebih dari 4.000-an paguyuban seperti ini di Amerika saja. Apa pasal?

    Jawabannya bisa beragam. Yang paling bersimpati terhadap agama dan spiritualitas akan merujuk kepada apa yang diyakini sebagai fitrah spiritual manusia. Digebah-gebah seperti apa pun, diiming-imingi dengan berbagai kenikmatan duniawi selezat apa pun, ia tetap bercokol juga.

    William James, psikolog Amerika awal abad ke-20 yang disebut-sebut sebagai penganut ”empirisisme-radikal”, adalah di antara yang mau bersusah-payah memahami dan memverifikasi pengalaman religius demi membuktikan sifat fitri spiritualitas manusia ini. Juga Jung, Maslow, Alport. Yang lain mencari jawab pada ”tirani” individualisme modern, impersonalitas teknologi maju, dan ketergesaan hidup yang diakibatkannya—hal-hal yang, pada gilirannya, mendorong orang mencari kehangatan dalam pengalaman personal keagamaan.

    Ada juga yang mendiagnosisnya sebagai semacam tetirah penuh nostalgia ke masa lampau yang, konon, memang menyusun bahan dasar psikologi manusia. Sedemikian, sehingga, bahkan sosiolog niragama sekelas Peter Berger akhirnya ”dipaksa” menerbitkan The Desecularization of the World untuk merekam dan menjelaskan fenomena paradoksikal ini.

    Kenyataannya, sudah lebih dari seabad lalu di negeri-negeri Barat-modern berkembang apa yang disebut sebagai tradisionalisme. Istilah tradisi yang menyusun kata ini merujuk kepada konsep yang menyatakan bahwa semua agama otentik berasal dari satu tradisi primordial. Maka, tradisionalisme adalah sebuah paham yang berupaya mengungkap prinsip-prinsip pemersatu yang mendasari berbagai tradisi (agama) dunia. Tradisionalisme modern didirikan oleh filsuf Prancis, Rene Guenon (1886-1951). Tradisionalis lain termasuk para pemikir terkemuka seperti Julius Evola, Fritjhof Schuon, Ananda K. Coomaraswamy, Lord Northbourne, Titus Burkhardt, Martin Lings, Seyyed Hossain Nasr, Whitall Perry, Robin Waterfield, Arthur Versluis, R.A. Schwaller deLubicz, dan William Stoddart. Tokoh yang bersimpati kepada paham ini di antaranya adalah Mircea Eliade, Huston Smith, Jacob Needleman, Alain Danielou, dan Joseph Campbell.

    Rene Guenon adalah seorang filsuf Prancis yang sempat bekerja pada institut Katolik di negeri itu, kemudian masuk Islam dan menggunakan nama Syaikh Abdul Wahid Yahya, dan belakangan pindah ke Kairo pada tahun 1930 hingga meninggal di sana 20 tahun kemudian. Paham tradisionalisme itu sendiri berasal dari perenialisme, sebuah aliran keagamaan dan filosofis yang didirikan di Florence pada masa Renaisans. Memang, perenialisme Renaisans meyakini bahwa seluruh agama dunia adalah ekspresi-ekspresi dari satu agama perenial asli, yang telah hilang. Agama perenial inilah yang dirujuk sebagai tradisi dalam tradisionalisme itu.

    Di mata para kritikusnya, problem terbesar tradisionalisme adalah absennya sikap kritis terhadap agama-agama. Sementara tradisionalisme mengkritik dengan keras modernisme, mereka malah memberi kelonggaran nyaris tanpa batas terhadap data agama yang mana pun. Sikap ini membawa sedikitnya tiga konsekuensi-berkaitan yang tidak diharapkan. Pertama, kecenderungan sinkretik. Kedua, adanya pembacaan yang bersifat selektif terhadap agama-agama demi mendapatkan berbagai unsur yang bisa dilihat sebagai sama di dalam semua agama. Dan ketiga, kecenderungan untuk menerima unsur-unsur kultus primitif yang menandai berbagai agama atau kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya mesianisme. Di luar itu, sejalan dengan kritik-kerasnya terhadap modernisme, agama perenial cenderung mempromosikan irasionalitas dan, sebagai gantinya, memujikan perolehan kebenaran lewat semacam ilham, wangsit, atau wahyu.

    Konon, salah satu manifestasi cultic tradisionalisme ini muncul dalam tarekat yang dikembangkan oleh salah seorang murid Guenon, yakni Fritjhof Schuon. Schuon awalnya adalah seorang desainer-tekstil dan visioner keturunan Franco-Swiss yang belakangan tertarik pada perenialisme. Mulai dengan bergabung dalam tarekat Alawiyya yang didirikan oleh Syaikh ’Alawi di Marokko, Fritjhof Schuon mendirikan sebuah tarekat sendiri yang bernama Maryamiyyah di Amerika Serikat setelah kepindahannya ke negeri ini. Meski dibantah oleh para pengikut dan simpatisannya, dikabarkan bahwa tarekat yang berporos pada kepribadian Maryam (ibu Nabi Isa) ini memperkenalkan berbagai ritus yang ”aneh-aneh”, termasuk dansa suku Indian, dan juga upacara yang mengharuskan para pesertanya bertelanjang badan. Akibat tuduhan ini, Schuon sempat digelandang polisi AS.

    Sayangnya, kalaupun berita mengenai Schuon ini ternyata tidak benar, tersedia cukup contoh manifestasi perenialisme yang di dalamnya unsur-unsur kultus primitif ini tampil dominan. Kelompok ”Kerajaan Surga” Lia Aminuddin tampaknya mencocoki penggambaran tentang gerakan agama perenial modern ini. Lepas dari apakah Lia dan kelompoknya mengikuti perkembangan gerakan internasional ini, kenyataannya ia menyebut diri dan pengikutnya sebagai penganut agama perenial. Di dalamnya ada kultus terhadap pemimpin yang dipercayai menerima wahyu dan diselimuti aura mesianisme. Irasionalitas, betapapun atasnya diupayakan penjelasan-penjelasan apologetik, juga amat dominan. Hal ini antara lain tampil dalam bentuk penyandaran bukti kebenaran kepercayaan kelompok ini kepada berbagai keajaiban atau mukjizat yang diklaim telah diproduksi oleh Lia Aminuddin. Yang membedakan kelompok Lia dengan perenialisme ala Guenon atau Schuon adalah absennya wawasan dan elaborasi filosofis. Bahkan kritikus yang amat keras terhadap perenialisme, seperti Legenhausen (Why I am not a Traditionalist), tak urung memuji kecanggihan kritik-kritik mereka terhadap modernisme serta keluasan wawasan mereka mengenai agama dan berbagai aliran filsafat yang terkait dengannya.

    Alhasil, kekuatan apakah yang sesungguhnya bekerja atas Lia Aminuddin? Yang paling mudah adalah mendiagnosis gejala ini sebagai sekadar kesurupan (possessed), produk delusi Freudian, atau penyimpangan kognitif lainnya. Meski kemungkinan seperti ini jelas tak bisa segera disisikan, repotnya hujatan seperti ini selalu bisa ditudingkan kepada semua keyakinan keagamaan yang bersifat suprarasional. Sebab, betapapun, semua keyakinan keagamaan—paling jauh—merupakan produk pengalaman religius yang subyektif. Padahal, (orang cenderung mengira bahwa) tak ada jalan untuk memberlakukan verifikasi publik atasnya.

    Bisa juga gejala ini dinisbahkan kepada kecupetan wadah spiritual untuk menerima pengalaman-pengalaman religius yang meng-”kudeta”. Sehingga, produknya adalah semburan ungkapan-ungkapan yang tak terkontrol (meski mungkin akan banyak orang berkeberatan terhadap penjajaran Lia dengan para tokoh sufi—disebut sebagai sufi ”mabuk” (sakran)—dalam terminologi tasawuf, ungkapan-ungkapan seperti ini disebut sebagai syathahat atau syath-hiyat. Kenyataannya, pengalaman religius bisa, dan telah, terjadi pada banyak orang ”biasa”. Menurut penelitian, pemicunya bisa macam-macam: mulai pengaruh apresiasi karya seni, pemandangan dan keheningan alam, pelaksanaan ritual-ritual agama, hingga sekadar depresi).

    Lalu, apakah menangkap dan mengadili Lia Aminuddin merupakan pemecahan yang bijaksana? Mengadilinya lebih problematik lagi—kecuali jika bisa dibuktikan adanya gangguan konkret yang ditimbulkannya, dan bukan sekadar ketaksepakatan orang banyak terhadap keyakinan kelompok ini. Yang pasti, tindakan seperti ini hanyalah menyentuh puncak dari gunung es irasionalisme modern yang cenderung makin menggejala. Di belakang Lia Aminuddin, masih banyak, dan mungkin bertambah banyak, kelompok kultus semacam ini. Kiranya hanyalah penanaman kemampuan berpikir rasional dan pengembangan penafsiran keagamaan yang mempunyai sifat samalah yang dapat mengurus dan mengatasi gejala ini. Dalam kaitan ini, berbagai acara ”mistik” dan ”takhayul-keagamaan”, serta praktek-praktek penyembuhan sejenis yang dikait-kaitkan dengan agama, sama sekali tak membantu.

    Namun, yang juga harus diingat, hendaknya kebutuhan akan rasionalitas ini tak mendorong kita untuk mencari pemecahan yang mudah dan potong kompas sehingga melucuti agama dari sifat-asasinya sebagai sumber kehangatan dan ketenteraman spiritual. Hal seperti ini pernah dicoba dilakukan, dan gagal, oleh proyek rasionalisme abad pencerahan ataupun modernisme religius yang puritanistik. Kedua-duanya harus hadir bersama-sama dalam manifestasi agama yang sejalan dengan kebutuhan manusia dan peradabannya di masa depan: rasionalitas dan tawaran kehangatan spiritual. Dan bahan-bahannya bukannya sama sekali tak ada. Sekadar contoh, dalam Islam orang bisa belajar banyak dari tasawuf, khususnya yang filosofis (’irfan) ataupun filsafat iluministik (israqiyah atau hikmah). Dalam aliran-aliran mistiko-filosofis seperti ini, produk pengalaman religius didedahkan kepada prinsip verifikasi logis (koherensi).

    Inilah sebuah pemecahan yang tampaknya tak memuaskan kaum ”liberal” yang menghendaki sebuah Islam yang sepenuhnya rasional dan bebas dari misteri-misteri suprarasional. Apa boleh buat, tampaknya manusia—entah karena fitrahnya, atau sekadar kebutuhan-survival-nya—memang memerlukan lebih dari sekadar agama rasional yang kering, yang tak mampu membasuh jiwa. Dan jika keperluan ini tak terpuaskan, maka, persis seperti disinyalir Carl G. Jung, dikhawatirkan yang akan menyeruak dari kehidupan manusia adalah kekosongan makna, atau justru keterpurukan ke dalam irasionalitas religius.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus