Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Lengkingan Terompet dalam Kesunyian

Merayakan tahun baru di atas kapal amatlah menyenangkan. Wartawan Tempo Suseno merasakannya dalam pelayaran dari Makassar ke Surabaya.

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Disaput awan putih tipis di sana-sini, siang itu langit tampak cerah. Lautan kelihatan membiru. Angin yang bertiup tidak terlalu kencang membuat gelombang cukup ramah. Ketika jarum jam bergeser sedikit dari angka 1, tiba-tiba peluit melengking tiga kali. Berdiri di atas dek, seorang awak kapal mengingatkan para pengantar untuk turun karena kapal Lambelu akan segera berangkat.

Tak lama kemudian, kapal bergerak. Inilah perjalanan yang langka bagi saya, naik kapal milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) sambil merayakan malam tahun baru. Berangkat dari Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta, Makassar, Sabtu siang akhir Desember 2005, kapal Lambelu akan tiba di Surabaya keesokan harinya, 1 Januari 2006.

Pastilah amat menyenangkan menanti kedatangan tahun baru di atas kapal sambil melihat gemerlap bintang-bintang. Namun, ada rasa cemas yang diam-diam menyelusup ke dalam hati. Pengalaman buruk ketika berlayar di Kepulauan Seribu, membuat hati ciut. Saat itu perahu yang saya tumpangi sempat dipermainkan ombak selama berjam-jam. Lidah ombak sering menjulang melebihi tinggi perahu. Kejadian mengerikan ini masih terbayang di benak saya.

Kecemasan saya baru berkurang setelah mendengar penjelasan Kapten Agus Mulyono, kepala Divisi Nautika PT Pelni. Ia mengatakan, Lambelu yang berbobot mati 3.375 ton merupakan kapal yang tangguh. Kapal sepanjang 146,5 meter ini dibangun pada 1998 di galangan kapal Jos L. Meyer, Papenberg, Jerman. Pelni memiliki 10 kapal sejenis Lambelu. ”Ketangguhannya sudah teruji di perairan Tanjung Harapan yang ombaknya amat ganas,” kata Agus. Jalur ini memang pernah ditempuh Lambelu ketika dibawa dari Jerman.

Sebelum mengaso di Makassar, Lambelu baru saja melakukan perjalanan panjang dari Ternante, Namlea, Ambon, dan Bao-Bao. Di Makassar, kapal bersandar sejenak untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, lalu melanjutkan perjalanan ke Surabaya dan Jakarta.

Ketika sedang asyik mengobrol dengan penumpang lain di pinggir dek, tiba-tiba langit menjadi gelap. Awan tebal di angkasa membuat warna laut berubah hitam. Satu per satu penumpang masuk. Saya pun beranjak ke kamar, menyusuri lorong panjang dengan pintu-pintu kamar di kanan-kiri. Hilang sudah harapan saya melihat matahari 2005 terbenam di perairan Makassar. Saya berharap cuaca berubah pada detik-detik pergantian tahun nanti.

l l l

Kamar yang saya tempati berukuran 3 x 4. Hawa sejuk keluar dari pendingin udara langsung menyergap ketika pintu kamar saya buka. Dua tempat tidur, lemari pakaian, meja, dan televisi memenuhi ruangan. Kamar mandi dilengkapi jamban duduk, wastafel, dan pancuran air panas dan dingin. Ah, serasa di hotel saja.

Hamparan seprai putih di atas kasur menggoda saya untuk merebahkan diri. Nyaman. Saya terlena oleh buaian kapal yang bergoyang saat membelah ombak. Namun ketenangan itu terusik. Mata saya menangkap gerak hewan kecil di dinding. Seekor kepinding.

Bosan di kamar, saya bangkit ke luar lagi menuju anjungan kapal. Di sana panorama laut terlihat lebih jelas. Sayang, hanya ombak dan hamparan air asin yang bisa dilihat. Mendung tebal masih menggantung di angkasa.

Empat lelaki berseragam putih terlihat mengamati monitor-monitor kecil di depannya. Salah satu monitor menunjukkan laju kapal yang mencapai 18,3 knot. Sudah lebih dari 30 menit saya di anjungan, tidak sekalipun terlihat juru mudi menyentuh alat kemudi. ”Kapal ini dikendalikan otomatis,” kata nakhoda Ariffin Manala.

Perangkat navigasi Lambelu sudah modern. Kapal itu dilengkapi Global Positioning System (GPS) dengan bantuan satelit. Alat ini mampu memberikan ketelitian yang sangat tinggi dalam menentukan arah pelayaran.

Selepas dari anjungan, saya kembali menyusuri lorong-lorong menuju dek paling bawah yang dihuni penumpang kelas ekonomi. Di lorong itu, saya hanya berpapasan dengan satu-dua penumpang. Kapal yang memiliki kapasitas lebih dari 2.000 orang itu terlalu lapang untuk 1.414 penumpang.

Kecilnya jumlah penumpang sudah menjadi hal yang biasa untuk perusahaan angkutan massal ini. Selama tiga tahun terakhir, Pelni hampir kehilangan penumpang di kelas-kelas utama. Bahkan untuk trayek jarak jauh, kekosongan juga merambah kelas ekonomi. ”Ini akibat persaingan dengan angkutan udara,” kata Direktur Usaha PT Pelni, Jusabella Sahea.

Pelni pernah mencatat jumlah penumpang tertinggi pada tahun 2000 dengan lebih dari 8,6 juta orang. Tarif pesawat yang kemudian menjadi relatif murah membuat jumlah itu merosot menjadi 7,3 juta orang pada 2001. Penurunan ini semakin parah dan menempati titik terendah pada 2004 dengan jumlah penumpang 4,1 juta orang.

Anjloknya jumlah penumpang bukan saja merugikan badan usaha milik negara itu. Pemasukan ke kas negara pun otomatis berkurang. Sejak 2002, Pelni tidak lagi mampu menyetor laba. Padahal, pada 2001, Pelni masih menyetor dividen Rp 40,02 miliar dan pajak Rp 72,73 miliar. Tahun-tahun berikutnya, BUMN ini hanya bisa menyetor pajak. Bahkan pada 2004 hanya bisa menyetor pajak Rp 37,52 miliar.

Berbagai pembenahan dilakukan untuk meningkatkan jumlah penumpang. Salah satunya adalah meningkatkan pelayanan. ”Menggelar acara tahun baru di kapal salah satunya,” kata Jussabella lagi. Upaya itu tidak sia-sia. Ada peningkatan 2 persen dibanding jumlah penumpang tahun sebelumnya.

Hari semakin gelap. Gerimis yang turun membuat suasana di luar kapal menjadi suram. Sejak petang tadi perut saya terasa mual. Ah, mabuk laut ini memang menyebalkan.

l l l

Inilah saat-saat yang saya tunggu, berpesta tahun baru di atas kapal. Sekitar pukul 10 malam, ruang makan kelas satu dan dua telah penuh sesak. Lebih dari 200 orang berkumpul di sana. Mengenakan topi kertas dan topeng, mereka menunggu detik-detik pergantian tahun. Suara merdu artis Kontes Dangdut Indonesia (KDI), Silvira Citra dan Desy Rahmawati, mengalun merdu.

Lambelu tepat berada di titik 5 derajat Lintang Selatan dan 116 derajat Bujur Timur ketika jarum jam menunjuk angka 12. Bising terompet bersahut-sahutan memecah kesunyian perairan di selatan Pulau Laut. Meriah sekali.

Namun, lama-kelamaan saya tidak betah di ruangan. Jerit terompet membuat telinga saya tidak nyaman. Rupanya bukan saya seorang yang merasakannya. Fuad Alkatiri, pemuda asal Ambon, senasib dengan saya. Ia naik Lambelu dari Ambon. Sejak pecah kerusuhan di kotanya pada 1999, Fuad belum pernah meninggalkan tempat itu. ”Baru hari ini saya meninggalkan Ambon,” kata dia.

Sudah lama Fuad ingin bepergian jauh, namun pekerjaannya terlalu banyak menyita waktu. Beberapa hari sebelum tahun baru, dia mendengar rencana Pelni menggelar acara tahun baru di kapal Lambelu. ”Akhirnya, sekalian saja, tahun baruan sekaligus mengunjungi saudara di Surabaya,” ujarnya.

Setelah berbincang cukup lama dengan Fuad, saya pamit untuk berjalan-jalan di dek bagian luar. Angin cukup kencang menerpa tubuh saya. Langit cerah bertabur kerlap-kerlip bintang. Dari satu sudut kapal yang gelap, muncul dua sejoli jalan bergandengan. Saya hanya tersenyum, lalu pergi mendekati seorang lelaki yang sedang menikmati minuman dalam gelas plastik. Matanya masih merah. ”Saya baru bangun,” kata pria yang belakangan saya ketahui bernama Mustakim.

Mustakim memilih untuk tidur sejak petang tadi. Beberapa saat menjelang pergantian tahun dia bangun. ”Tahun baru di kapal biasanya ada kembang api,” kata dia. Ternyata perkiraannya salah. Acara kembang api ditiadakan akibat maraknya aksi teroris belakangan ini.

Setelah menandaskan isi gelasnya, Mustakim pamit untuk meneruskan tidurnya. Hembusan angin terasa semakin kencang. Saya cukup lama sendirian di tempat itu sambil berkali-kali menatap laut, tapi hanya kegelapan yang saya dapat.

l l l

Pagi harinya, setelah bangun tidur, saya lihat langit tampak cerah. Di sisi timur warna merah sudah mulai terlihat. Inilah pagi pertama di tahun 2006 yang saya saksikan dari buritan kapal Lambelu. Tak lama kemudian, matahari muncul menebar kehangatannya. Suasana laut tampak lebih indah.

Setelah memasuki perairan Madura, telepon genggam saya mulai mendapat sinyal. Sejumlah pesan pendek seolah berebut masuk. Alat komunikasi itu tidak berfungsi semalaman karena tidak ada jaringan di tengah laut. Tak lama kemudian, Pelabuhan Tanjung Perak tampak di kejauhan. Pelayaran yang mengesankan pun segera berakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus