Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Vietnam, alarm kematian terus meraung, bergema menerabas batas negara dan benua. Sampai akhir pekan lalu, Vietnam masih menjadi negara tersial di antara negara Asia yang terjangkit flu burung (avian influenza). Catatan resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, dari 18 korban meninggal, 13 orang berasal dari Vietnam. Dua di antara korban tewas diduga tertular dari saudaranya yang telah terjangkit sebelumnya.
Kasus di Vietnam ini tak pelak meniupkan ketakutan yang lebih mencekam. Semula, para ahli yakin virus flu burung sulit menular ke manusia. Tapi kini keyakinan mereka seolah goyah. Meski WHO kembali memastikan kecilnya kemungkinan penularan ke manusia, risiko terburuk tetap ada. Maka WHO, Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), dan Badan Kesehatan Hewan Dunia berkali-kali mengeluarkan imbauan bersama. "Jika tak terkendali, dampak flu burung bisa mengguncang perekonomian dunia dan kesehatan umat manusia," kata Direktur FAO Jacques Diouf.
Alarm bersambut. Negara-negara maju yang belum terjangkit wabah pun terusik. Pusat-pusat penelitian kesehatan di sana sibuk dengan berbagai uji coba. Kanada, misalnya, menyiapkan dana sekitar Rp 2 triliun untuk program vaksinasi warganya. Dalam proposalnya ke parlemen, pemerintah Kanada bahkan telah menyiapkan bangsal-bangsal darurat, berjaga-jaga jika rumah sakit tak cukup merawat pasien.
Kesiagaan juga terasa di Indonesia. Seperti di Kanada, di sini virus flu burung belum sempat menyambar manusia. Tapi deretan unggas yang bergelimpangan akibat keganasan virus itu sungguh tak bisa diremehkan. Sejak flu burung mewabah pertengahan tahun lalu, sekitar 4,7 juta ekor unggas musnah. Kerugian peternak diperkirakan mencapai Rp 7,7 triliun, jumlah yang cukup untuk memberikan makan bagi sejuta anak jalanan selama dua tahun. Maka, meski sangat terlambat, pemerintah telah menyiapkan dana darurat Rp 212 miliar untuk pemusnahan unggas yang terjangkit, vaksinasi, dan bantuan bagi peternak yang merugi.
Untuk pembuatan vaksin secara massal, pemerintah menunjuk tiga perusahaan lokal. Sampai akhir tahun, Pusvetma akan membuat 286,6 juta dosis vaksin, PT Vaksindo Satwa Nusantara 406 juta dosis, dan PT Medion 355 juta dosis. Dari tiga perusahaan itu, diharapkan tercapai target total produksi vaksin setahun 1,05 miliar dosis.
Dalam kondisi normal, jumlah itu sebenarnya sudah melebihi kebutuhan nasional, yang hanya 895 juta dosis. Tapi hantaman gelombang virus begitu besar sehingga vaksin yang tersedia tak mencukupi. Menurut Tri Satya Naipospos, Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian, kebutuhan vaksin pada semester pertama 2004 melonjak, melampaui kemampuan produksi lokal. Untuk periode Januari-Juni, dibutuhkan vaksin lebih dari 700 juta dosis. Padahal kemampuan ketiga perusahaan lokal paling banter hanya 400 juta dosis. Jadi, masih kurang sekitar 300 juta dosis.
Inilah yang membuat impor vaksin tak terhindarkan. Maka pemerintah melirik PT Bio Farma, yang selama ini berpengalaman mengimpor vaksin manusia. Berbekal lisensi impor vaksin hewan, Bio Farma mengincar vaksin buatan Qilu Animal Health Product Factory, Cina. Di pabrik ini, harga vaksin hanya Rp 230 per dosis, lebih murah ketimbang harga pasaran dunia—sekitar Rp 420 per dosis.
Bagaimana dengan keampuhan vaksin Cina itu? "Inilah soalnya," kata Mangku Sitepu, dokter hewan dan dokter umum pensiunan Departemen Pertanian. Ia menilai, vaksin lokal tetap lebih unggul ketimbang vaksin impor. Alasannya, vaksin lokal lebih cocok karena virus bahan bakunya diambil dari tipe yang sama.
Memang, menurut Mangku, jika kebutuhan tak terpenuhi, impor vaksin boleh-boleh saja. "Tapi ini tak bisa asal comot," kata dia. Prosedur normalnya, bahan baku vaksin impor tetap harus virus lokal. Virus harus diambil dari negara yang terkena wabah. Prosedur ini, kata Mangku, sudah baku. "Jadi, untuk impor vaksin, harus kita kirim dulu virusnya," kata dia.
Masalah lain, vaksin dari negara terjangkit wabah juga bisa tercemar. Kerusakan bisa terjadi lantaran kesalahan manusia, tempat yang dipakai tidak steril, atau tercemar vaksin lain. Karena itu, setiap negara biasanya melarang impor hewan hidup dan produk turunannya dari negara terjangkit. "Vaksin itu produk biologis. Mestinya jangan diimpor dari negara terjangkit," kata Mangku.
Prosedur lain yang tak bisa dilewati, sebelum impor besar-besaran, sampel vaksin harus diuji. Marten Malole, Kepala Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, memaparkan bahwa vaksin impor setidaknya harus lolos tiga tahap pengujian. Pertama, vaksin harus berisi virus avian influenza, bukan virus lain. Kedua, vaksin harus aman, tak menyebabkan penyakit baru. Ketiga, vaksin harus menimbulkan kekebalan. Pengujian ini memerlukan waktu sekitar 30 hari sejak vaksin disuntikkan. Di Indonesia, pengujian dilakukan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan.
Tapi, karena kepepet, pemerintah mengakui telah melonggarkan prosedur impor vaksin. Pengujian vaksin, misalnya, baru dilakukan ketika vaksin telanjur diborong dan tiba di Indonesia. Pemerintah juga mengakui, vaksin asal Cina dipesan sebelum pengumuman resmi bahwa virus flu burung di Indonesia bertipe H5N1. Menurut pemerintah, ini bukan langkah gegabah karena pemesanan vaksin didasari penelitian awal yang mengarah pada kesimpulan bahwa virus di Indonesia bertipe H5N1.
Charles Ranga Tabbu, pakar penyakit unggas dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, mengakui bahwa pelonggaran prosedur impor vaksin itu bisa saja dilakukan. Virus yang dipakai sebagai bahan vaksin, misalnya, tidak harus virus lokal. "Memang virus lokal hasilnya akan lebih baik. Tapi itu tidak mutlak," kata dia. Untuk vaksin flu burung, yang tak bisa ditawar, jenis virusnya harus H5—sesuai dengan jenis virus yang berkembang di Asia—sementara unsur N-nya boleh N1 atau N2.
Jika vaksin yang diimpor ternyata tidak cocok tapi tetap diedarkan ke masyarakat, apa yang akan terjadi? "Mubazir," ujar Marten. Vaksin itu tak akan mampu melindungi unggas. Bahkan, jika vaksinnya ternyata tak murni, alias tercemar, tapi digunakan secara meluas, ini akan berakibat buruk. Unggas tidak kebal, menjadi sakit, atau bahkan mati. Vaksin yang tercemar juga bisa menimbulkan penyakit atau virus jenis baru.
Dampaknya bagi manusia? "Selama kemurnian virusnya terjaga, vaksin unggas yang tak cocok sama sekali tidak berbahaya," kata Charles. Itu kalau vaksinnya murni. Kalau tercemar?
Jajang J., Heru C.N. (Yogya), Deffan P. (Bogor)
Jurus Baru Mengakali Flu
Wabah flu burung (avian influenza) yang menyebar cepat menuntut penyediaan vaksin berskala besar dalam tempo sesingkat-singkatnya. Pada saat yang sama, para ahli dipusingkan oleh karakter khusus virus flu burung. Virus jenis ini tidak hanya membunuh unggas, tapi juga mematikan telur yang biasa menjadi media pembuatan vaksin.
Untuk mengatasi kesulitan ini, para ahli tengah mencoba cara baru pembuatan vaksin. Teknik yang disebut metode reverse genetic mengandalkan teknik memanipulasi secara langsung kode genetis virus. Ini adalah perubahan radikal atas cara pembuatan vaksin yang sudah baku selama 40 tahunan. Metode ini diyakini bisa memangkas waktu pembuatan vaksin dari hitungan bulan menjadi hitungan minggu.
Metode Lama
- Sampel virus flu burung dikumpulkan dari pasien yang terinfeksi.
- Sampel virus flu burung "dikawinkan" dengan virus master di dalam telur.
- Gen kedua jenis virus bercampur dan menghasilkan jenis virus baru.
- Virus hasil kombinasi gen ini menjalani serangkaian uji coba untuk menghasilkan vaksin, kemudian dibiakkan di dalam telur.
Metode 'Reverse Genetic'
- Analisis genetis mengidentifikasi gen unik virus flu burung.
- Karena gen pembunuhnya telah dibuang, vaksin ini bisa dibiakkan di dalam telur.
- Virus baru hasil persilangan langsung menjadi vaksin (menghemat waktu pengujian).
- Gen unik (pembunuh) dalam virus dibuang, kemudian dicampur dengan virus master.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo